Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 10 May 2017

Peneliti UGM: Pasal Penodaan Agama Tak Punya Karir Gemilang dalam Sejarah


Islamindonesia.id – Peneliti UGM: Pasal Penodaan Agama Tak Punya Karir Gemilang dalam Sejarah

 

Pasal Penistaan atau Penodaan Agama kembali menjadi sorotan menyusul Pengadilan menghukum Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama dua tahun penjara dengan Pasal 156A KUHP. Jauh sebelum vonis dijatuhkan, Peneliti UGM Dr. Zainal Abidin Bagir berpendapat penyelesaian masalah melalui jalur hukum memang harus dipuji, jika alternatifnya adalah respon kekerasan.

Namun, dalam kasus “penistaan agama”, bagi Zainal, ada banyak alasan untuk meragukan bahwa seruan “supremasi hukum” adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah.

“Dan mungkin justru tak menjanjikan keadilan,” kata dosen Studi Lintas Agama dan Budaya UGM ini sebagaimana yang ia tulis di rubrik Kolom IslamIndonesia.id beberapa waktu lalu.

Pasal 156A KUHP, menurut Zainal, tidak memiliki karir gemilang dalam sejarah Indonesia. Ini adalah bagian dari pasal-pasal karet “kejahatan terhadap ketertiban umum” dalam KUHP.

“Pasal yang ditambahkan pada tahun 1969 atas perintah UU 1/PNPS/1965 ini memiliki nilai politis yang amat kuat,” katanya.

Target awalnya, lanjut jebolan Filsafat Islam ISTAC Kuala Lumpur ini, adalah untuk membatasi aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang terutama bersaing dengan kekuatan politik Islam pada tahun 1950 dan 1960an. Setelah tahun 1998, target itu bergeser.

“Target lama tetap ada, meskipun bukan mengenai aliran-aliran kebatinan lama, tapi gerakan-gerakan baru seperti Salamullah yang dipimpin Lia Eden, atau Millah Abraham,” jelasnya.

Di mata Zainal, tak ada isu politik penting dalam mengejar kelompok-kelompok itu, namun alasan utamanya adalah “pemurnian” Islam (dan mungkin alasan sosial-ekonomi-politik lain). Selain itu, tujuan baru penggunaan pasal ini adalah sebagai upaya peminggiran intra-agama, yaitu kelompok-kelompok dalam komunitas Muslim sendiri, seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang sebetulnya sudah eksis di Indonesia sejak jauh sebelumnya. Dalam Kristen, ada beberapa kasus serupa.

“Pasal penodaan agama jarang digunakan sebagai ekspresi perselisihan antaragama, kecuali dalam beberapa kasus,” katanya.

Melihat rentang wilayah penggunaan pasal  KUHP itu, Zainal mengatakan, kita bisa segera mencurigai efektifitasnya. Bagaimana mungkin keyakinan, – misalnya bahwa Nabi Muhammad bukan Rasul terakhir dalam Islam – dijegal dengan pasal yang sama yang memenjarakan orang selama 5 bulan karena memprotes speaker masjid yang terlalu keras (seperti di Lombok pada 2010); seorang perempuan Kristen yang mengomentari sesajen Hindu (seperti di Bali pada 2013); atau seorang “Presiden” Negara Islam Indonesia yang mengubah arah kiblat dan syahadat Islam, namun kemudian pada 2012 hakim memberi hukuman setahun, untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa.

“Itu hanyalah beberapa contoh yang bisa diperbanyak dengan mudah,” katanya.

Selain rentang implementasi yang demikian luas, persoalan lain adalah amat kaburnya standar pembuktian kasus-kasus semacam itu. Kasus-kasus yang diadili dengan Pasal 156A tersebut biasanya menggunakan cara pembuktian serampangan, dengan pemilihan saksi ahli yang tak jelas standarnya pula. Zainal memberi contoh, dalam satu kasus pada tahun 2012, seorang yang diajukan sebagai saksi ahli agama bahkan tidak lulus sekolah.

Lulusan Indiana University ini menjelaskan, penistaan atau penodaan bukan sekadar pernyataan yang berbeda, tapi—seperti dinyatakan Pasal 156A itu—mesti bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan, bahkan mesti ada maksud supaya orang tidak menganut agama apapun.

“Apakah Ahok, yang membutuhkan suara mayoritas Muslim Jakarta, berpikir untuk memusuhi mereka?”

Selain itu, lanjut Zainal, apakah ia dianggap menghina Islam, atau ulama? Yang dikritiknya adalah Muslim yang disebutnya membohongi pemilih DKI dengan menggunakan ayat 51 surat Al-Maidah. “Apakah muslim seperti itu identik dengan Islam, sementara banyak ulama dan terjemahan Al-Qur’an memberikan tafsir berbeda?”

Zainal tak lupa menekankan pentingnya melihat bahwa dalam kenyataannya, Pasal 156A dipakai hanya selama sekitar 10 kali sejak tahun 1965 hingga 2000. Dan tiba-tiba dalam 15 tahun terakhir demikian populer, telah digunakan sekitar 50 kali!

“Apakah setelah Reformasi ada makin banyak para penoda agama atau orang-orang yang sesat? Atau ada penjelasan lain dengan melihat transisi politik pada 1998?”

Pada tahun 2010, UU ini dan Pasal 156A diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Benar MK mempertahankan pasal ini, namun perlu dilihat juga catatan panjang yang diberikan para hakim MK tentang kelemahan-kelemahannya.

“Dan (juga) saran agar pasal ini direvisi supaya tidak diskriminatif serta mendukung pluralisme Indonesia. Bahwa ada unsur politik, bukan semata-mata pidana, dalam pasal ini, tampak dalam pertimbangan MK yang panjang, hingga mengelaborasi persoalan filosofis mengenai hubungan agama dan negara, dan sejarah Indonesia sebagai negara berketuhanan,” katanya.

Seperti diketahui, oleh majelis hakim, Ahok dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP. Yakni, secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama.

“Menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penodaan agama,” kata hakim ketua Dwiarso Budi Santiarto dalam pertimbangan hukum dalam sidang Ahok di auditorium Kementan, Jakarta Selatan, seperti dilansir detik.com, 9/5.

Menurut Hakim dari ucapan Ahok di kepulauan Seribu, terdakwa telah menganggap Surat Al-Maidah 51 adalah alat untuk membohongi umat atau masyarakat.

“Atau Surat Al-Maidah 51 sebagai sumber kebohongan dan dengan adanya anggapan demikian, maka menurut pengadilan, terdakwa telah merendahkan dan menghina Surat Al-Maidah ayat 51,” jelasnya. []

 

YS/ islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *