Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 08 November 2017

Peneliti LIPI: Sebagian Masyarakat Salah Memahami Ahmadiyah


 

islamindonesia.id – Peneliti LIPI: Sebagian Masyarakat Salah Memahami Ahmadiyah

 

Peneliti kemasyarakatan dan kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ahmad Najib Burhani mengatakan, sebagian masyarakat Muslim salah memahami ajaran Ahmadiyah. Sedemikian, menurut Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah ini, kesalahpahaman ini membuat penganut Ahmadiyah dituding sesat.

“Saya ingin menunjukkan beberapa hal yang kurang pas dalam pandangan kita selama ini terhadap Ahmadiyah, kesalahpahaman saya terutama, sebagai bagian dari umat Islam non-Ahmadiyah,” kata Najib di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, 7 November seperti dilaporkan Kompas.com.

Di Mahkamah Konstitusi, pria yang pernah meneliti bertahun-tahun tentang Ahmadiyah ini memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Najib bilang, warga Ahmadiyah sering dituduh memiliki tempat ibadah haji sendiri yang berbeda dari umat Islam lain, yaitu di Qadian, India. Namun, di sisi lain, ketika orang Ahmadiyah hendak melaksanakan rukun Islam kelima, berhaji ke Baitullah di Makkah, ada pihak-pihak yang justru menghambat pendaftaran mereka.

Menurut Najib, Qadian bukanlah tempat berhaji. Berkunjung ke tempat ini juga tidak dianggap sebagai ibadah pengganti haji.

Terkait kitab suci, Najib mengatakan, sejauh penelitian yang ia lakukan, warga Ahmadiyah menganggap Alquran sebagai kitab suci yang menjadi rujukan. “Saya sudah membaca buku-buku Ahmadiyah, tidak ada yang menyebutkan kitab sucinya adalah Tazkirah,” kata alumni Pesantren Darul Hikmah Blitar ini.

Najib pun menceritakan ketika dirinya datang ke rumah-rumah dan masjid-masjid Ahmadiyah. “Yang saya temukan adalah Alquran, bukan Tazkirah,” ujarnya.

Najib tak lupa menjelaskan tentang keyakinan Ahmadiyah mengenai Mirza Ghulam Ahmad. Menurut dia, sanjungan dan pujian terhadap Ghulam Ahmad tidak lebih tinggi dari Nabi Muhammad.

Penulis buku Muhammadiyah Jawa ini mengungkapkan ziarah warga Ahmadiyah ke makam Ghulam Ahmad sama dengan ziarah yang dilakukan warga NU ke makam presiden keempat RI yang juga tokoh NU, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

“Saya datang ke kamar tempat Ghulam Ahmad dilahirkan, kamar tempat ia sering berdoa, kamar tempatnya sering menghabiskan waktu untuk menulis. Saya ikut shalat di Masjid Mubarak dan Masjid Al Aqsa yang cukup keramat dan bersejarah bagi warga Ahmadiyah. Saya mengamati, apakah orang Ahmadiyah telah menempatkan Ghulam Ahmad lebih tinggi dari Nabi Muhammad? Apakah Ghulam Ahmad disanjung lebih tinggi dari Nabi Muhammad? Setahu saya, itu tidak terjadi. Sanjungan dan pujian yang dilakukan di tempat-tempat itu adalah kepada Nabi Muhammad,” katanya.

Kesalahpahaman inilah, kata Najib, yang sering melahirkan prejudice (prasangka) dan tuduhan terhadap komunitas Ahmadiyah.

Bagi peneliti yang pernah belajar di Universitas Leiden ini, keyakinan yang dijalankan warga Ahmadiyah merupakan bentuk penafsiran terhadap ajaran agama Islam. Upaya penafsiran suatu ajaran, kata Najib, tidak bisa dilihat sebagai bentuk penodaan terhadap agama Islam.

Oleh sebab itu, ia meminta Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran konstitusional bersyarat yang jelas terhadap Pasal 1, 2, dan 3 dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang dijadikan dasar terbitnya SKB Tiga Menteri tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI.

“Perbedaan penafsiran tidak bisa dimaknai sebagai penodaan. Terus terang, jika ternyata Ahmadiyah itu sesat, maka tidak usah dilarang pun mereka akan hancur sendiri. Tanpa SKB atau regulasi lain, Ahmadiyah pasti ditinggalkan orang jika ternyata kelompok ini memang sesat,” katanya.

Sebelumnya, sembilan anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia dari sejumlah daerah mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut mereka, ketentuan berlakunya Pasal 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 1 PNPS (Penetapan Presiden) Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (P3A/Penodaan Agama) telah merugikan hak konstitusional sebagai warga negara.

Mereka berpandangan, pasal-pasal tersebut bisa ditafsirkan sangat luas. Selanjutnya, pasal tersebut menjadi dasar dari pembuatan Surat Keputusan Bersama terkait dengan keberadaan Jamaah Ahmadiyah (SKB Ahmadiyah) dan SKB tersebut menjadi rujukan bagi pemerintah daerah menetapkan aturan.

Untuk diketahui, sebagai organisasi yang berbadan hukum, JAI telah disahkan dengan surat Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 13 Maret1953 Nomor J.A. 5/23/13 dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI Nomor 26 tanggal 31 Maret 1953. Hingga kini Badan hukum tersebut masih diakui dan tidak ada satu pun Putusan Pengadilan yang membatalkan dan/atau mencabut status tersebut.

 

YS/ IslamIndonesia

One response to “Peneliti LIPI: Sebagian Masyarakat Salah Memahami Ahmadiyah”

  1. Maryono says:

    Mohon maaf Sang peneliti juga tiada menyakini Ghulam ahmad sebagai Imam mahdi apalagi sebagai nabi, Sang peniliti juga bukan pengikut agama ahmdaiyya ataupun pernah menjadi anggota agama ahmadiyya sehingga tak melihat bagaimana kitab suci Tadhkirah diperlakukan sebagai kitab suci / syariat baru/ sebagai acuan ibadah para pengikut agama ahmadiyya…
    https://l.facebook.com/l.php?u=https%3A%2F%2Fwww.dropbox.com%2Fs%2Ftuq7svhk7qwtpm4%2FTadkirah%2520%2520Komplit%2520plit%2520plit%2520final.pdf%3Fdl%3D0%26fb%3D1&h=sAQH6wLWy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *