Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 20 May 2014

Pendeta Jacky Manuputty: Kami Ingin Maluku Damai


foto:hendijo

Bagaimana orang-orang Maluku dari kedua kelompok agama yang dulu larut dalam konflik, kini saling bergerak menuju perdamaian

KETIKA konflik meletus di Maluku 13 tahun lalu, Jacky Manuputty pada mulanya larut dalam insiden kemanusiaan tersebut. Namun lambat laun, ia berpikir bahwa situasi ini sangat bertentangan dengan keyakinannya sebagai seorang Kristen. Bersama seorang ustad bernama Abidin Wakano, pendeta Kristen kelahiran Haruku, pada Juli 1965 itu lantas meretas jalan perdamaian. “Ketika awal-awal konflik sebenarnya kami sudah membangun komunikasi dengan saudara-saudara Muslim untuk mengarah kepada perdamaian, begitu juga sebaliknya,” ujarnya. Sayang, kisah dari upaya-upaya itu kurang diangkat oleh media ke permukaan.

Itulah sebabnya awal Maret lalu, Jacky dan para aktivis perdamaian Maluku dari kalangan Muslim dan Kristen meluncurkan Carita Orang Basudara, sebuah buku yang menceritakan kisah-kisah upaya menciptakan perdamaian yang digagas oleh orang-orang Maluku dari kedua kelompok agama. Lantas bagaimana penilaiannya terhadap situasi perdamaian di Maluku saat ini, dan apa yang menyebabkan ia dan kawan-kawannya bersikeras untuk mengenyahkan semangat konflik dari tanah air mereka, beberapa waktu lalu kepada Hendi Jo dari Islam Indonesia, Pendeta Jacky Manuputty menyampaikan pandangan-pandanagannya. Berikut kutipannya:  

Bulan Maret lalu, anda bersama sejumlah aktivis perdamaian Maluku meluncurkan buku Carita Orang Basudara, bisa diceritakan buku tentang apa itu?

Buku itu berisi tentang  berbagai upaya orang-orang Maluku dalam membangun damai di tanah kelahirannya pasca konflik. Baik dari pihak Muslim maupun dari pihak Kristiani.

Apa yang melatarbelakangi pembuatan buku tersebut?

Sesudah tahun 2000, kita tahu begitu banyaknya karya tulis yang membahas tentang Maluku, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tapi semuanya hanya bertutur sekitar konflik yang pernah terjadi di tanah kelahiran kami tersebut. Tidak ada cerita damai. Nah, kami ingin memberikan versi yang lebih sejuk tentang peristiwa tersebut

Bukankah dalam kenyataannya di sana memang  pernah terjadi konflik antara kelompok Muslim dengan kelompok Kristen?

Memang betul. Tapi harus semua ketahui, di samping konflik, saat itu ada upaya dari kedua belah pihak (Muslim maupun Kristen) untuk mengarahkan Maluku kepada perdamaian, baik secara terbuka maupun bawah tanah. Itu terjadi, bahkan begitu hari pertama konflik meletus di Maluku. Banyak saudara-saudara Muslim dan Kristen terlibat keras dalam upaya tersebut, namun nampaknya itu tidak menjadikan media tertarik untuk mengangkatnya. Jadi  akhirnya kami memutuskan untuk menceritakan sendiri pengalaman berharga kami tersebut lewat sebuah buku.

Banyak anggota masyarakat Maluku yang masih trauma hingga kini dengan konflik yang terjadi kurang lebih 13 tahun lalu itu. Bagaimana meyakinkan kepada mereka bahwa perdamaian adalah suatu keniscayaan?

Tentunya itu  butuh banyak waktu, strategi dan energi. Sebab ini menyangkut soal kepercayaan. Ketika kita mengajak masyarakat untuk percaya kepada perdamaian maka kita harus bisa meyakinkan mereka bahwa kita berkonflik karena diprovokasi. Kita harus bisa meyakinkan bahwa konflik hanya akan menghancurkan diri kita dan masa depan anak cucu kita. Dan kita juga harus bisa mengajak mereka berhitung secara realistis jika konflik terus dikobarkan, terutama untuk generasi mendatang. Saya pikir akan banyak angle yang bisa kita tempati untuk menyerukan perdamaian di bumi Maluku.

Dalam pengamatan anda sendiri, bagaimana kecenderungan  masyarakat Maluku saat ini?

Saya melihat pendulumnya sekarang bergerak ke arah perdamaian. Jelas, kami ingin Maluku damai. Memang tadinya mayoritas pro konflik, tapi saat ini yang pro perdamaian yang  justru menjadi mayoritas. Memang ada kelompok yang masih bersikeras dengan konflik, tapi itu jumlahnya sudah sedikit sekali sekarang.

Ada cara-cara khusus yang dilakukan untuk meyakinkan mereka kepada  jalan damai?

Banyak hal. Diantaranya melalui pembangunan relasi-relasi baru dan mengingatkan kembali mereka kepada “budaya pela gandong”

Budaya apa itu?

Pela gandong itu sejenis pakta persaudaraan antar dua negeri di Maluku. Jadi ini merupakan suatu sebutan yang ditabalkan kepada dua atau lebih negeri yang saling mengangkat saudara satu sama lain. Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata “Pela” dan “Gandong”. Pela adalah suatu ikatan persatuan sedangkan gandong mempunyai arti saudara. Jadi pela gandong merupakan suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara. Pela gandong sendiri sudah lama ada di Maluku, dan biasanya pela gandong itu selalu terjalin antara dua negeri yang berlainan agama (Islam dan Kristen).

Sebelum terjadinya  konflik bagaimana sebetulnya situasi relasi antara masyarakat Maluku yang Kristen dengan masyarakat Maluku yang beragama Islam?

Sebenarnya cukup baik. Namun dalam perkembangan selanjutnya memang ada beberapa provokasi yang membuat pakta persaudaraan itu menjadi rapuh. Tapi yang utama menurut saya, di internal masyarakat Maluku sendiri memang bermasalah. Kalaupun ada provokasi, konflik itu tak akan terjadi kalau secara internal kita kuat. Kelemahan-kelemahan internal itu yang kemudian kita benahi, kita cari penyebabnya apa lalu kita putuskan solusinya secara bersama-sama.

Banyak kalangan yang menyebut konflik Maluku dikipasi oleh Lasykar Jihad dan gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), komentar anda?

Saya pikir itu terlalu menyederhanakan masalah. Provokator itu tidak hanya datang dari kelompok yang menganut ideologi tertentu.  Kebanyakan konflik disebabkan oleh masalah ekonomi, misalnya soal pemblokiran jalan atau semacamnya. Jadi ketika konflik itu semakin meluas maka deretan orang-orang yang terlibat di dalamnya semakin panjang dan kompleks.

Bagaimana dengan pendapat yang menyebut konflik di Maluku sesungguhnya berasal dari soal perebutan sumber daya alam?

Ya. Bisa jadi. Saya termasuk orang yang mempercayai teori tersebut. Jangan Maluku…Aceh, Kalimantan, Papua, Sulawesi itu kan juga pusat mineral yang di dalamnya terdapat potensi konflik yang sangat tinggi.

Anda percaya Konflik Maluku sebagai perang agama?

Saya merupakan orang yang sangat tidak mempercayai bahwa ajaran agama mengajarkan konflik. Tapi saya termasuk orang yang percaya bahwa agama bisa dijadikan instrumen, baik untuk menciptakan konflik atau menciptakan perdamaian. Tergantung  orang-orang di belakangnya.

Anda meyakini semangat yang ada dalam agama sendiri…

Semangat perdamaian! Kalaupun ada konflik atas nama agama, itu karena dalam agama pun menyediakan perangkat nilai-nilai dalam bentuk ayat-ayat Kitab Suci yang bisa ditafsirkan sesuai kepentingan. Kalau penafsirannya salah maka resiko yang akan kita tanggung tentunya adalah kehancuran.

Begitu seringnya kaum beragama menjadikan agamanya masing-masing  sebagai hujah untuk berkonflik?

Karena katup yang lain sudah tertutup. Tempat terakhir orang untuk mengekspresikan identitas dan kepentingannya adalah agama. Ketika orang frustasi di wilayah ekonomi dan politik, ketika orang mendapatkan kenyataan sosial budaya tidak memberikan fasilitas untuk pengembangan identitasnya maka jalan yang paling memungkinkan adalah agama.

Dalam kondisi seperti ini apa yang harus dilakukan?

Saling menciptakan komunikasi. Bagi saya komunikasi itu ibarat jangkar. Begitu ada gejala segregasi (baik secara wacana maupun fisik) kawan-kawan yang aktif dalam penggalangan perdamaian di Maluku segera membangun komunikasi di antara dua komunitas tersebut. Kami juga menciptakan konsep live in, yakni dua komunitas mengirimkan wakilnya masing-masing ke komunitas yang berbeda untuk coba memahami dan mengerti pihak yang selama ini kerap disalahpahami sebagai musuh. Misalnya seorang Kristen datang dan tinggal selama 3 hari di sebuah perkampungan Muslim begitu juga sebaliknya seorang Muslim datang dan tinggal selama 3 hari di perkampungan Kristen.  

Bagaimana respon mereka?

Sangat mengharukan. Orang Kristen yang dulunya takut berkunjung ke kampung Muslim malah menjadi saudara bagi orang Muslim yang rumahnya mereka tempati selama live in, begitu juga sebaliknya. Mereka sadar bahwa yang diperlukan oleh mereka adalah hidup damai dan rukun. Bahkan ada peserta live in ini yang merasa waktu 3 hari sangat singkat untuk bergaul dengan saudara-saudaranya  yang Muslim, mereka minta di masa mendatang waktu kunjungannya ditambah menjadi seminggu atau lebih (tertawa). Pokoknya,  banyak momen mengharukan yang secara lengkapnya bisa dibaca di Carita Orang Basudara.  

Ngomong-ngomong, secara pribadi kenapa anda melakukan gerakan ini?

Ya, dalam rangka membayar utang. Kenapa, karena mau tidak mau dulu kita termasuk orang yang terlibat konflik dan memberikan dampak yang buruk buat anak-anak kita. Makanya saya hari ini banyak bekerja dengan anak-anak muda. Merekalah harapan kami untukmenciptakan perdamaian di Maluku di masa yang akan datang.

Terakhir, bagaimana anda melihat prospek perdamaian di Maluku?

Selalu ada harapan. Kalau ukurannya adalah satu hingga sepuluh, dan ternyata satu sampai delapan isinya gelap, maka saya akan berdiri di dua angka terakhir yang lebih terang. Sekecil apapun harapan harus tetap dinyalakan. Kebaikan apapun akan kita lakukan demi perdamaian. (hj)

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *