Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 08 May 2014

Pelajaran Terbaik dari Mandela


foto:cartoonmovement.com

Dia memaafkan bangsa kulit putih yang pernah menzaliminya.

 

MANDELA dan Mugabe adalah dua orang pemimpin Afrika yang berjuang membebaskan rakyatnya dari penjajahan. Tapi puluhan tahun setelah perjuangan mereka hasilnya sungguh berbeda. Di tangan Mandela, rakyat Afrika Selatan merayakan kemerdekaan serta kemajuan. Sejak kepemimpinan hingga wafatnya Mandela GDP Afrika selatan naik sekitar tiga kali lipat. Sebaliknya, Zimbabwe mengalami nasib yang suram. Dolar Zimbabwe mencetak rekor sebagai mata uang paling tidak berharga di dunia. Saking rendahnya, bank di negara itu mencetak uang pecahan seratus juta dolar Zimbabwe dengan delapan angka nol berjejer! Apa penyebabnya?

Rahasianya cukup sederhana. Setelah disakiti, dan dipenjara selama 27 tahun, Mandela memimpin Afrika selatan tanpa membawa dendam. Dia memaafkan bangsa kulit putih yang pernah menzaliminya. “Saya tidak anti kulit putih, tapi saya menolak supremasi kulit putih, saya menolak rasialism, siapa pun yang melakukannya” kata Mandela. Perjuangan mandela bukan hanya unutk masa lalu kulit hitam, tapi masa depan untuk Afrika Selatan dan kemanusiaan. Kebesaran jiwa Mandela menjadi ikatan yang kuat bagi kulit hitam dan putih bekerja sama membangun Afrika Selatan.

Lain halnya dengan Mugabe. Ia memimpin rakyat Zimbabwe melawan imperialisme kulit putih dengan membawa dendam. Mugabe menyebut dirinya seperti Hitler yang memperjuangkan rakyatnya, “Saya adalah Hitler masa kini, Hitler punya satu tujuan, membebaskan rakyatnya, mendapat pengakuan kemerdekaan, serta akses terhadap sumberdaya.” Kepada setiap orang yang menentang kepemimpinanya, Mugabe menuduh mereka sebagai antek kulit putih. Yang seharusnya menjadi mitra membangun masa depan Zimbabwe, orang kulit putih malah lari karena disakiti.

Mandela bukan saja memaafkan kesalahan tapi juga menjaga harga diri orang yang menyakitinya. Warga kulit putih bukan hanya merasa diampuni dosanya, tapi diakui harga dirinya. Mereka tak dikutuk karena kesalahannya. Karenanya warga kulit putih rela bergandengan tangan dengan kulit hitam untuk membangun bangsanya. Sementara Mugabe bukan hanya tak memaafkan, tapi telah meruntuhkan harga diri lawannya. Ketika harga diri diruntuhkan genderang perang baru ditabuh.

Tak sedikit orang yang urung mengakui kesalahan atau memperbaiki diri karena terlanjur dicap bersalah dan jahat. Bagi mereka tak ada gunanya lagi mengakui kesalahan karena harga diri mereka telah hilang. Donna Hicks penulis buku Dignity: Its esential in Resolving Conflict, menemukan bahwa inti dari lingkaran dendam dan kekerasan adalah hancurnya dignity, harga diri. 

Karenanya, dalam banyak hadis dan ayat, umat Islam diseru untuk menjaga kehormatan orang lain serta dilarang untuk mengeskpos membalas, mengutuk kesalahan orang lain. Karena hal itu akan meruntuhkan harga diri orang yang melakukan kesalahan, akibatnya mempersempit ruang baginya untuk bertaubat. 

Dalam sebuah patrol, Umar bin Khathab mendengar kegaduhan dari sebuah rumah. Setelah mengintip Umar melihat penghuni rumah itu tengah melakukan maksiat, Umar memanjat melalui jendela dan langsung menghardik, “Hai Hamba Allah! Apakah kamu kira Allah akan menutup aib perbuatan maksiatmu ini?”

Orang itu menjawab tenang, “Jangan terburu-buru Umar, saya boleh jadi melakukan satu kesalahan, tapi Anda melakukan tiga kesalahan. Pertama, Allah berfirman, “Wala tajassassuu” (janganlah mencari-cari kesalahan orang lain (QS. Al Hujurat: 12); kedua, “Masuklah ke rumah dari pintunya (QS. Al-Baqarah: 189); ketiga, “Janganlah masuk kerumah yang bukan rumahmu sebelum kamu minta izin”

Setelah menyadari kesalahannya, Umar meminta maaf dan berjanji tidak akan membicarakan kejadian malam itu kepada siapa pun. Hingga suatu ketika, si laki-laki itu datang dan menyatakan bahwa dia telah bertaubat. Jika saja umar mengekspos kesalahan si lelaki itu, mungkin saja si lelaki itu akan merasa dipermalukan dan tak akan bertaubat. 

Di lain kesempatan seorang laki-laki datang mengadukan kesalahannya kepada Abu Bakar. Setelah mendengarkan pengakuan itu, Abu Bakar meminta orang itu untuk tidak membicarakan hal itu pada siapapun. Karena tak puas, lelaki itu datang kepada Umar dan menceritakan perbuatan dosanya. Mengetahui orang itu telah datang ke Abu Bakar, Umar bertanya, “Apa kata Abu bakar?” orang itu menjawab, “Abu bakar berkata agar aku tidak membicarakan kepada siapapun” lalu Umar berkata, “lalu mengapa kamu ceritakan padaku?”

Abu Bakar dan Umar meminta orang yang melakukan dosa untuk menjaga rahasianya. Dengan harapan agar dia tak merasa dipermalukan. Sehingga dia masih punya peluang yang luas untuk bertobat. 

Fathu makkah adalah contoh lain yang paling nyata. Nabi Muhammad datang ke Makkah bersama ribuan umat Islam. Dengan kekuatan sebesar itu bisa saja Nabi Muhammad meluluhlantakkan Abu Sufyan beserta kroninya yang dulu menyiksa dan mengusir Nabi dari Makkah. Tapi Nabi Muhamamad memaafkan Abu Sufyan, bahkan mengangkat harga dirinya dengan mengatakan, “Barang siapa yang masuk ke masjid dia aman, barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka dia aman.” Tak ada balas dendam atau musuh yang dipermalukan. 

Jika melihat kemuliaan Nabi ini, maka seharusnya umat Islam punya seribu Mandela, sosok yang berani memafkan serta menjaga harga diri orang yang menyakitinya.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *