Satu Islam Untuk Semua

Friday, 09 May 2014

Pastor dan Masyarakat Atambua Protes Perusahaan Tambang


foto:UCA News

Dibanding sisi positifnya, perusahaan tambang di wilayah tersebut lebih banyak menimbulkan dampak negatif

 

TERKAIT penyakit kulit akibat limbah pertambangan yang melanda masyarakat Atambua, sekelompok pastor dan suster dari Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) serta masyakat di Atambua, Kabupaten Belu, mendesak pemerintah setempat melakukan moratorium izin perusahan Tambang Mangan PT Nusa Lontar Resources. Demikian berita yang dilansir oleh UCA News pada Rabu (7/5).

Kelompok  yang terdiri dari JPIC Keuskupan Atambua, JPIC SVD, JPIC SSpS, JPIC Ursulin, JPIC FSGM dan JPIC OFM Indonesia menamakan diri Gerakan Pro Kehidupan (G-Prok) secara tegas memprotes dampak limbah yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut.

“Kami minta Pemerintah Kabupaten Belu segera melakukan moratorium terhadap segala aktivitas pertambangan biji mangan PT Nusa Lontar Resources di dusun Aitameak, Desa Nualain Kecamatan Lamaknen Selatan,” demikian pernyatan kelompok ini.

Menurut Romo Gregorius Sainudin Dudy, koordinator JPIC Keuskupan Belu, pernyataan sikap tersebut ini disampaikan setelah tim G-Prok  melakukan investigasi lapangan dan menemukan sekitar 100 orang di Desa Leowalu dan Fulur yang berada di pinggiran sungai mengalami luka di sekujur tubuh. Itu terjadi sejak 6 bulan yang lalu.

Limbah mencemari hulu sungai yang tepat berada di dalam lokasi tambang. Itu menyebabkan limbah pencucian mangan mengalir langsung ke sungai yang airnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat seperti minum, mencuci, mandi, keperluan pengairan untuk pertanian dan lain-lain.

“Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka kuat dugaan kami sungai tersebut telah tercemar limbah mangan dan zat kimia lainnya yang menyebabkan munculnya penyakit kulit yang mewabah di tiga desa,” ujar Romo Gregorius.

Dengan latarbelakang kondisi tersebut, gabungan kelompok masyarakat itu meminta Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup dalam waktu 3 x 24 jam segera melakukan pengobatan terhadap masyarakat lingkar tambang yang terkena penyakit sekaligus meneliti sampel air sungai.

Pihak pemerintah Kabupaten Belu sendiri belum merespon secara baik desakan masyarakat tersebut. Menurut Etha Mesakh Letto, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Belu mereka belum memiliki rencana akan segera melakukan investigasi.

“Tapi kami sudah sepakat membentuk tim terpadu yang terdiri dari pemerintah dan perwakilan masyarakat sipil. Tim ini akan turun ke lokasi dalam waktu dekat,” katanya.

Sementara itu, Theresia Saik, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu menyatakan pihaknya sudah berusaha menanggapi secara positif desakan G-Prok dengan segera menurunkan Tim Kesehatan pada Selasa (6/5).

“Kami melayani tuntutan warga. Tenaga medis sudah kami serahkan mulai kemarin. Sampai tadi malam sudah 3 orang yang kami rawat. Proses pengobatan akan dilanjutkan hingga semua masyarakat mendapat pelayanan,” ujarnya.

Kendati mengakui ada gejala penyakit yang dikatakan oleh pihak G-Prok, Theresia belum berani memastikan apakah itu akibat terkontaminasi limbah mangan atau tidak. “Masih harus menanti hasil penelitian terkait itu.”

PT Nusa Lontar Resources mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) 2011, namun baru mulai beroperasi pada 2012 di atas lahan konsesi 1.300 hektar.

Menurut Pastor Yohanes Kristoforus Tara OFM dari JPIC-OFM, selama ini keberadaan tambang di Belu yang terletak di pulau kecil itu telah menyebabkan berbagai dampak negatif untuk masyarakat dan lingkungan sekitar.

“Tambang adalah industri yang rakus lahan dan air. Karena itu pemerintah mesti berhenti berpikir soal menghadirkan tambang. Berpikirlah untuk memberi ruang hidup yang nyaman bagi masyarakat kecil,” ujar Yohanes.

 

Sumber: UCA News

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *