Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 24 May 2016

OPINI–Sertifikat Haram vs Sertifikat Halal. Pilih Mana?


opini-mau-kemana-arah-undang-undang-jaminan-produk-halal

IslamIndonesia.id–Sertifikat Haram vs Sertifikat Halal. Pilih Mana?

Banyak kalangan mulai mempertanyakan UU Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan oleh Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan disetujui oleh DPR saat itu. Apa pasal?

Sederhana: undang-undang ini menjadi beban tersendiri bagi para pelaku usaha yang sudah jelas kehalalan produknya. Lihat saja pasal 1 ayat 1 yang mewajibkan adanya sertifikat halal atas barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Inilah yang kemudian sempat memicu pelaku usaha baru berlomba memperoleh sertifikasi halal untuk menyaingi pelaku usaha lama yang belum memiliki sertifikasi halal. Sebagai contoh yang dilakukan oleh produk jilbab yang konon bahannya sudah bersertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lantas, haramkah produk yang belum bersertifikasi halal?

Pekan lalu, Selasa (17/05), KH. Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus mempersoalkan sertifikasi halal melalui laman Facebooknya,

Berhubung banyaknya ‘laporan’ tentang banyaknya LABEL HALAL mulai dari untuk JILBAB, MAKANAN KUCING, hingga untuk TELUR AYAM; dan mengingat kaidah fikih:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
(Pada dasarnya segala sesuatu itu mubah sampai ada dalil yang mengharamkan), maka rasanya perlu MUI mengeluarkan fatwa tentang:
1. Hukumnya SERTIFIKASI HALAL;
2. Hukumnya UANG HASIL SERTIFIKASI HALAL;
3. Siapa YANG BERWENANG mengeluarkan Sertifikat Halal.

Kegelisahan Gus Mus tersebut wajar adanya, mengingat masyarakat juga gelisah dan ragu dengan berbagai produk yang ingin dikonsumsinya padahal jelas halal. Bukankah kaidah fikih di atas seharusnya melegitimasi adanya sertifikasi haram? Dan bukankah yang produk halal lebih banyak ketimbang yang haram? Lantas mengapa kita disibukkan dengan sertifikasi hal-hal yang sudah jelas halal?

Hal ini mengakibatkan kaidah agama yang terang benderang menjadi pudar dengan adanya Undang-undang Jaminan Produk Halal yang lebih menitikberatkan pada peran MUI di dalamnya.

Lihat saja pasal 1 ayat 10 yang menyebutkan bahwa Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.

Pasal 4 menyebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Bahkan Auditor Halal pun harus mendapatkan sertifikasi dari MUI (Pasal 14 ayat 2).

Lebih aneh lagi adalah apa yang terdapat pada pasal 23. Pelaku Usaha berhak memperoleh, pelayanan untuk mendapatkan Sertifikasi Halal secara cepat, efisien, biaya terjangkau dan tidak diskriminatif, sebagaimana tercantum pada ayat (c).

Bukankah ‘biaya terjangkau’ menjadi multi tafsir dan relatif? Bisa dibayangkan berapa banyak pelaku usaha yang akan dikenakan ‘biaya terjangkau’ tersebut? Belum lagi jika mereka harus memperpanjang setiap 4 (empat) tahun sekali (pasal 42).

Namun demikian, pasal 60 menyebutkan bahwa MUI akan tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk. Lalu pasal 64 menyebutkan BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan.

Sebagai tindak lanjut dari UU no. 33 tahun 2014 di atas, tertanggal 15 Juli 2015, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden no. 83 tahun 2015 tentang Kementerian Agama. Tiga pasal di antaranya menjelaskan tentang BPJPH beserta tugas dan fungsinya, yaitu pasal 45, 46 dan 47.  Jadi, sejatinya pemerintah serius dalam pelembagaan BPJPH ini.

Sementara ini sistem BPJPH belum berjalan, sehingga kendali sertifikasi halal masih di tangan MUI. Andai pun berjalan, konon BPJPH harus berkonsultasi ke MUI untuk mengeluarkan sertifikasi halal. Lantas, jika BPJPH jadi dibentuk, siapakah yang akan menangguk untung dari Undang-Undang Jaminan Produk Halal ini? Ingat bahwa produk halal lebih banyak daripada produk haram, sehingga memungkinkan keuntungan berlipat-lipat dalam proses sertifikasi produk halal.

Mengapa tidak terpikir oleh pemerintah untuk beralih ke sertifikasi haram saja yang produknya lebih sedikit dari produk halal? []

 

Tom/IslamIndonesia

*Sumber foto utama label halal produk makanan di Malaysia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *