Satu Islam Untuk Semua

Friday, 08 July 2016

OPINI–Inikah Ancaman Laten Jamaah Haji pasca Tragedi Madinah?


Setelah tragedi demi tragedi, sedikit dari reputasi Arab Saudi yang tersisa dalam menjaga keamanan Makkah dan Madinah kontan tergerus pasca serangan bom bunuh diri di pelataran Mesjid Nabawi, Madinah. Sedikitnya lima orang tewas, termasuk seorang pelaku, dalam serangan yang kuasa mengalihkan perhatian dunia pada kedurjanaan yang lebih besar di Irak sehari sebelumnya, di mana lebih dari 200 orang tewas dalam sebuah insiden pengeboman paling mematikan di Baghdad. Bagi warga Madina, serangan pertama atas Nabawi, tempat pusara Rasul, kian memunculkan keragukan ihwal keseriusan Riyadh dalam menjaga tanah suci. Bagaimana bila serangan serupa berulang di musim haji dengan skala yang lebih membunuh dan menyasar jamaah haji? Sanggupkah Riyadh menutup seluruh lubang ancaman keamanan yang selama ini mengintai?

Dengan keseriusan dan kemauan yang kuat, Saudi sejatinya masih punya kesempatan dan modal yang cukup untuk membenahi segala rupa ketakbecusan pengelolaan haji, yang dari tahun ke tahun kerap berujung kematian ribuan orang jamaah dari berbagai negara. Tapi sebagian kalangan meragukan sejauh mana Riyadh mampu menghadapi ancaman keamanan yang sifatnya laten, utamanya demam akut pemikiran dan pandangan agama yang ektrim, jumud, serba intoleran dan memuja kekerasan.

Contoh anyar adalah adanya pembenaran kontroversial dari Syaikh Yusuf Al Qardawi, ulama kaliber asal Mesir, pada aksi bom bunuh diri pasca rentetan bom bunuh diri di Turki, Bangladesh, Yaman, Irak dan terkahir di Madinah. Apa yang bisa dilakukan Saudi untuk menepis pandangan beracun seperti itu? Bersediakah Kerajaan mengambil sikap tegas serta tampil ke publik dunia untuk membidas pandangan Qardawi?

Cilakanya, pandangan keagamaan yang ekstrim seperti itu tak hanya datang dari Qardawi seorang. Di Saudi, utamanya pasca kasus dua ramaja kembar usia 20 tahun, Khaled dan Saleh al-Oraini, membantai ibu kandung dan keluarganya sendiri, keresahan publik kian tertuju pada ajaran Ibnu Taimiah, ulama abad ke-13 sekaligus bapak takfirisme, yang dianggap banyak meracuni dan memicu lahirnya demam ekstrimisme di kalangam generasi muda. Mengakar dan menyebar di seluruh penjuru dunia Islam, pemikiran Ibnu Taimiyah kental dengan sikap dan pandangan yang menafikah kelompok tak sepaham. Dalam derajat tertentu, pemikiran ini bahkan memberi legitimasi pengucuran darah Muslim yang dianggap ‘sesat’ ataupun ‘kafir’. Dalam kasus kembar bangis al-Orani, keduanya seperti kerasukan setan dan tega menikam ibu, ayah dan seorang saudara laki-laki semata karena sang ibu menghalangi mereka yang hendak berangkat ‘jihad’ ke Suriah.

Bagi juru bicara kementrian dalam negeri Saudi, Jenderal Mansour al-Turki, kedurjanaan dua saudara kembar itu punya akar ideologis yang jelas.  “Yang bisa kami katakan saat ini adalah keduanya mengikuti ideologi Takfiri,” katanya seperti dilansir Reuters belum lama ini.

Di Saudi, tragedi itu menggenapkan kasus anak yang militan membantai keluarganya sendiri memjadi lima kasus sejak Juli 2015, kata situs berita berbasis Riyadh, akhbaar24. “Andai pelakunya adalah anak muda pecandu narkotika atau memang berandalan, kasus ini tak bakalan menarik perhatian seperti ini,” kata kolumnis Saudi, Mohammad Ali al-Mahmoud, seperti dilansir Reuters. “Yang bikin geger adalah dua saudara kembar itu justru relijius dan bertindak atas nama Islam.”

Dalam konteks yang lebih luas, kelompok militan ISIS juga mengadopsi konsep takfir dan kerap mengutip Ibn Taimiyah untuk membenarkan pembunuhan atas Muslimin yang mereka cap sesat, termasuk keluarga sendiri. Takfir, dalam bahasa Arab, merujuk pada pemgkafiran pihak lain.

Bagi profesor sosilogi di King Saud University, Abdul-Salam al-Wail, pangkal seluruh radikalisme di Saudi ada pada masif dan mengakarnya paham keagamaan Ibn Taimiyah. “Banyak yang marah ke saya karena saya mengungkap warisan kekerasan relijius Ibn Taimiyah yang kini membanjiri masyarakat,” katanya di kanal Twitter.

“Bagi Syeikh al-Islam (Ibnu Taimiyah), nyawa manusia murah,” katanya merujuk pada contoh fatwa anak boleh membunuh ayah yang ‘kafir’, yang menurutnya bertentangan dengan esensi Islam yang mengagungkan penghormatan dan bakti pada orang tua.

Kolumnis ternama Riyadh lainnya, Mohammed al-Sheikh, berpandangan senada. Dia bahkan memdesak kaji ulang atas seluruh Ibnu Taimiyah. “Kaji ulang warisan teologis Ibnu Taimiyah itu untuk mengklarifikasi kalau ia adalah ajaran yang seharusnya ada di waktu dan tempat yang berbeda. Tanpa itu, terorisme tak akan berakhir.”

Menurut al-Sheikh, cara paling jitu memerangi ideologi militan adalah membuka ruang perdebatan atas ajaran Ibnu Taimiyah. “Yang terpenting adalah menyadarkan orang bahwa ajaran ini diimpor dari masa lalu yang jauh.”

Kalangan moderat di Riyadh boleh berpendapat. Tapi bagi sebagian kalangan, semua desakan itu hampir pasti membentur tembok tinggi. Bukan apanya: Ibnu Taimiyah adalah guru sekaligus mata air inspriasi dan rujukan utama Muhummad bin Abdul Wahab, ulama abad 18, yang di kemudiam hari menelorkan Wahabisme, pilar keagamaan penguasa Saudi, Bani Saud. Tumbuh besar sebagaian bagian dari Kerajaan, Wahhabisme menekankan pada penerapan Islam yang dicitrakan ‘murni’, cenderung rigid dan jumut. Ini terlihat misalnya pada keputusan Kerajaan yang hingga kini melarang dan bahkan menghukum wanita yang nekat menyetir mobil. Dalam contoh yang lebih ekstrim, Kerajaan mengadopsi model hukum pemenggalan (pancung) atas narapidana, sebagaimana yang juga diterapkan ISIS.

Tak heran, kuatnya akar sejarah dan pelbagai kesamaan praktik keagaamaan itu, membuat sebagian analis pesimistis Kerajaan bersedia membuka ruang kritik atas pemikiran Ibnu Taimiyah, apalagi sampai membidasnya secara terbuka. Ibarat simalakama, keengganan di sisi itu bisa berujung kian tingginya  demam radikalisme yang, pada gilirannya, menjadi ancaman laten pada keamanan Tanah Suci dan keselamatan darah dan nyawa jutaan jamaah haji di kemudian hari.[]

RQ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *