Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 23 June 2019

NU dan Muhammadiyah Dinominasikan untuk Mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian


islamindonesia.id – NU dan Muhammadiyah Dinominasikan untuk Mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian

Para cendekiawan terkemuka Indonesia mendukung pencalonan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, untuk mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian. Mereka mengatakan kedua organisasi ini telah memainkan peran kunci dalam mempromosikan toleransi beragama di Indonesia.

Pastor Katolik dan filsuf ternama Franz Magnis-Suseno memuji kedua organisasi itu karena telah membantu membentuk wajah Islam Indonesia.

NU dan Muhammadiyah menghadirkan wajah Islam yang sama sekali berbeda dari apa yang telah dicoba digambarkan oleh para ekstremis, katanya.

“Peran mereka sangat penting. Saya dan teman-teman Indonesia saya yang lain mencalonkan NU dan Muhammadiyah untuk Penghargaan Nobel,” kata Franz dalam sebuah seminar yang berjudul Challenging Islamic Extremism in Indonesia (Menghadapi Ekstremisme Islam di Indonesia), yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Oslo dan Peace Research Institute Oslo (PRIO) pada hari Kamis (20/6).

Dia menambahkan, bahwa kedua organisasi ini, yang telah berdiri dari sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, telah berperan dalam pembangunan bangsa.

“Karena sikap mereka maka Islam Indonesia tetap moderat, orang Indonesia menikmati kedamaian internal dan Indonesia adalah faktor penstabil yang penting di Asia Tenggara dan secara global,” kata Franz.

Franz Magnis-Suseno. Foto: The Jakarta Post/Nezar Patria

Para peserta seminar terdiri dari para akademisi, duta besar, pejabat pemerintah, perwakilan organisasi sipil Norwegia, serta ketua dewan eksekutif NU Marsudi Syuhud dan sekretaris jenderal Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Acara ini didukung oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Jakarta dan Wahid Institute.

Duta Besar Indonesia untuk Norwegia, Todung Mulya Lubis, mengatakan, Indonesia saat ini sedang menyaksikan kemunculan ekstremisme agama. Ekstremisme semacam itu, katanya, datang dari luar negeri dan menyebar sebagai akibat dari globalisasi.

Begitu ide-ide mereka mengakar di antara orang-orang Indonesia, konflik-konflik agama akan pecah dan Indonesia praktis akan hilang dari dunia, kata Todung.

“Indonesia akan hancur, sama seperti Suriah,” tambahnya.

Todung berpendapat bahwa NU dan Muhammadiyah, sebagai “tulang punggung” Islam moderat di Indonesia, sangat penting untuk membendung gelombang ekstrimisme agama.

Cendekiawan Islam terkemuka Azyumardi Azra mengakui kontribusi kedua organisasi tersebut dalam pembentukan Islam khas Indonesia.

“Islam Indonesia, tidak diragukan lagi, adalah Islam wasatiyyah (Islam yang adil atau moderat), yang pada umumnya, Islam yang inklusif dan akomodatif, dan Islam yang paling tidak ter-Arabisasi,” kata Azyumardi.

Azyumardi yang juga seorang sejarawan, yang memiliki karya di antaranya Islam Reformis, Renaisans Islam di Asia Tenggara, dan Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, menguraikan tiga poin yang menjelaskan mengapa NU dan Muhammadiyah penting bagi Indonesia.

Azyumardi Azra. Foto: The Jakarta Post/Nezar Patria

Pertama, keduanya memperkuat kohesi sosial setelah transisi demokrasi pada tahun 1998.

“Ketika Indonesia disapu oleh gelombang demokrasi, kedua organisasi ini memainkan peran penting untuk menjaga persatuan bangsa,” kata Azyumardi.

Kedua, Pancasila sebagai ideologi negara adaptif terhadap konsep Islam jalan tengah yang dipromosikan oleh NU dan Muhammadiyah.

Azyumardi mengatakan, “Bagi Muslim kebanyakan, Pancasila sudah cukup islami. Semua pilar Pancasila pada dasarnya sesuai dengan ajaran fundamental Islam.”

Ketiga, Muslim Indonesia sebagian besar selalu memilih jalan tengah. Terlepas dari kenyataan bahwa 87 persen populasi Indonesia adalah Muslim, partai-partai Islam tidak pernah memenangkan pemilu.

“(Muslim Indonesia) memilih partai politik sekuler. Mereka percaya bahwa jalan tengah adalah yang terbaik untuk Indonesia,” kata Azyumardi.

Dia berpendapat, selama NU dan Muhammadiyah mendukung jalan tengah dan Pancasila, kelompok-kelompok ekstremis tidak akan pernah menang.

“NU dan Muhammadiyah terlalu besar untuk gagal,” pungkasnya.

Direktur Wahid Institute, Yenny Wahid, mengatakan, bahwa para pendukung Islam moderat telah berjuang keras untuk membendung ekstremisme dan radikalisme agama.

“Ada peningkatan intoleransi, tetapi itu bukan berarti bahwa ekstremisme dan radikalisme juga meningkat,” katanya.

Lebih lanjut Yenny berpendapat bahwa keterlibatan beberapa orang Indonesia dalam jaringan terorisme global tidak serta merta mencerminkan kecenderungan umum di Indonesia.

Wahid Institute didirikan pada tahun 2004 untuk melestarikan ide-ide dan visi intelektual almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden Indonesia ke-4, yang juga merupakan tokoh utama di NU.

Menurut Yenny, NU dan Muhammadiyah telah memberikan kontra-narasi terhadap politik identitas yang sangat memecah belah.

Dua peneliti dari PRIO, Marte Nilsen dan Trond Bakkevig, mengatakan, peran organisasi Islam moderat di Indonesia sangat penting bagi munculnya kekuatan Islam baru di luar Timur Tengah.

“Indonesia dapat menjadi contoh Islam moderat bagi masyarakat global,” kata Nilsen.

Secara terpisah, Todung mengatakan bahwa dukungan publik baik dari institusi lokal maupun internasional untuk pencalonan NU dan Muhammadiyah untuk Penghargaan Nobel Perdamaian terus meningkat. Mantan presiden Timor Leste, Jose Ramos-Horta, yang pernah memenangkan Penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 1996, adalah termasuk di antara yang mendukung.

Todung mengatakan, “Kami berterima kasih kepada semua orang di seluruh dunia yang mendukung NU dan Muhammadiyah. Mulai sekarang, kami akan menyerahkan kepada Komite Penghargaan Nobel untuk melakukan tugasnya.”

PH/IslamIndonesia/Sumber: The Jakarta Post/Nezar Patria

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *