Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 22 May 2016

Nisfu Sya’ban Bid’ah? Cak Nun: Tidak setiap Ibadah Dasarnya Perintah


IslamIndonesia.id–Nisfu Sya’ban Bid’ah? Cak Nun: Tidak setiap Ibadah Dasarnya Perintah

Seperti kata KH. Mustafa “Gus Mus” Bisri, sekarang ini zamannya minta dalil. Sedikit-sedikit harus ada dalilnya, jika tidak ada, siap-siap dituding bid’ah. Maulid Nabi, Nisfu Sya’ban dan berjabat-tangan (salaman) seusai shalat jama’ah, di antara sekian amalan yang digolongkan bid’ah lantaran dalilnya dipermasalahkan.

“Sesungguhnya, ini adalah tradisi yang tidak ada satu dalil kuat yang membenarkan semua bentuk ritual yang dikaitkan-kaitkan dengan Nisfu Sya’ban,” kata Ustdaz Bakhtiar Nasir seperti dalam video yang tersebar di media sosial akhir-akhir ini.

Dalam video berdurasi singkat ini, Ustad Bakhtiar juga menjelaskan ibadah yang dilakukan tanpa dalil termasuk bid’ah dan pelakunya dimasukkan ke neraka. Intelektual Muslim Emha ‘Cak Nun’ Ainun Nadjib angkat bicara soal mereka yang selalu meminta dalil. “Tidak setiap ibadah itu berdasarkan perintah,” kata Cak Nun di acara Mocopat Syafaat, Bantul, Yogyakarta (17/5).

Kepada ribuan pasang mata yang hadir, Cak Nun lalu menjelaskan dua dimensi ibadah; Mahdhah dan selain Mahdhah, serta pedoman sehingga keduanya terbedakan. “Ibadah mahdhah itu, jangan lakukan apapun kecuali yang diperintahkan, seperti shalat lima waktu. Di luar ibadah mahdhah, biasanya disebut ibadah muamalah, pedomannya terbalik: lakukan apa saja kecuali yang dilarang,” katanya.

Dengan demikian, kata Cak Nun, ada perbuatan berdasarkan perintah yang disebut ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah selain mahdhah dasarnya adalah ada larangannya atau tidak. Jika ada yang bertanya dalil perintah maulid Nabi kepada Anda, Cak Nun menyarankan untuk bertanya balik, “Apakah maulid Nabi ada larangannya?”

“Tidak semua ibadah itu berdasarkan perintah. Ada yang didasarkan pada larangan. Asal tidak ada larangan, tidak ada masalah,” katanya

Dengan canda, Cak Nun lalu memberi contoh. Jika dari alun-alun ada orang ke Malioboro dengan cara merangkak, apa boleh atau tidak? Boleh, sejauh tidak dikategorikan mahdhah dan juga tidak ada larangan.

“Boleh saja orang itu merangkak ke Malioboro, tapi ya gendeng” katanya disambut tawa hadirin.

Jika dikaji lebih jauh lagi, seperti shalat, dalil saja belumlah cukup untuk diterima sebagai ibadah. Karena dalam shalat selain memenuhi rukun fikih, khusyunya hati juga menjadi bagian penting diterimanya shalat atau tidak.

Kembali pada mereka yang suka minta dalil, Pengasuh Ponpes Rohmatul Umam Kretek KH. Ahmad Muzammil yang hadir bersama Cak Nun, membedah Alquran surah adz-Dzariyat: 56, “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu”.

Kiai kelahiran Madura ini mengajak hadirin untuk merenungkan mengapa ayat ini tidak menggunakan lafadz “Aku menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepadaKu.”

“Kalau saya bilang, ‘I love you’ pada Anda, saya masih bisa mengatakan ‘I love you’ pada selain Anda. Berbeda jika  ‘saya tidak mencintai siapapun selain Anda’. Ini yang top.” katanya. Dengan logat Madura, Kiai Muzammil lantas melanjutkan, “makanya jangan langsung senang kalau cowok sampeyan itu mengatakan ‘I love you’,” dan tawa hadirin pun membahana.

Kiai Muzammil lalu mengurai makna di balik kata ‘ wa ma’ (dan tidak) pada awal ayat, demikian juga kata ‘illa’ yang berarti kecuali. Susunan ayat ini menegaskan bahwa tujuan Tuhan menciptakan jin dan manusia hanya untuk ibadah dan bukan yang lain. Sedemikian sehingga main gitar pun, jika setiap petikan itu diniatkan untuk mendekatkan kepada Allah, maka nilainya adalah ibadah.

“Jika ada satu jam saja, perbuatan kalian tidak untuk ibadah, maka kita sesungguhnya tidak patuh pada tujuan kita diciptakan,” katanya.

Kiai Muzammil lalu memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari mulai bangun tidur, masuk kamar mandi, pergi ke kampus dst. “Ketika masuk kamar mandi, memakai kran dan shower ada hadisnya ngga? Ke kampus, naik motor, apakah Nabi juga pernah memerintahkan naik motor? dan demikian setiap langkah diminta dalilnya, apa sampeyan sanggup?” tanyanya retoris sambil menjelaskan bid’ah itu berlaku pada wilayah ibadah mahdhah yang prosedur pelaksanaannya secara detail telah ditetapkan.

Pria yang juga Ketua Lembaga Bahtsul Masail NU DIY ini kembali mempertegas, “jika selama 24 jam hidup ini hanya memang diciptakan untuk beribadah, pada saat yang sama ada orang yang menuntut setiap ibadah itu harus ada dalilnya (dulu), lah bagaimana ini?”

Adapun sebagian orang tidak mau menerima berjabat-tangan dengan seusai menuaikan shalat jama’ah, kata Cak Nun, adalah akibat tidak jelasnya kategori mahdhah dan muamalah. Yang bermasalah, menurut Cak Nun, jika seseorang mengajak berjabat-tangan ketika masih dalam keadaan shalat.

“Jangankan berjabat-tangan,  lari ke toilet ketika selesai shalat saja boleh,” kata Cak Nun sambil menegaskan tidak perlu repot mencari dalil jika sekedar untuk mengetahui aktivitas apa yang dibolehkan seusai melakukan shalat.

Imam Syafi’i sendiri menyatakan keutamaan berdoa di malam Nisfu Sya’ban dibanding malam-malam lainnya. Menurut ulama yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi al-Qurasyi ini, ada lima malam yang di dalamnya mustahab berdoa, yakni malam Jum’at, malam Idul Fitri dan Idul Adha, malam awal Rajab dan malam Nisfu Sya’ban. Namun, menurut sebagian orang, mengikuti ulama yang otoritatif pun tanpa ada dalilnya merupakan pengkultusan individu.

“Kenapa Nisfu Sya’ban ini biasanya beredar, karena yang pertama adalah kultus bukan dalil,” kata ustdaz Bakhtiar. []

(Baca juga: Mustahabnya Doa Nishfu Sya’ban menurut Imam Syafi’i)

YS/ IslamIndonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *