Satu Islam Untuk Semua

Monday, 25 December 2017

Nilai Hidup Toleran Warga Maros, Tak Pernah Konflik SARA Meski Beda Keyakinan


islamindonesia.id – Nilai Hidup Toleran Warga Maros, Tak Pernah Konflik SARA Meski Beda Keyakinan

 

Selama berpuluh-puluh tahun, umat Nasrani di Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Maros, hidup rukun dan harmonis di tengah masyarakat mayoritas Muslim. Meski ada perbedaan keyakinan, tidak pernah ada konflik SARA yang terjadi di wilayah ini.

Saat perayaan Natal di Gereja Pammai Sitappa Kappang, Senin (25/12/2017), terlihat jemaat menjalankan ibadah penuh khidmat dan ketenangan, tanpa ada rasa takut dan khawatir. Mereka pun hanya dijaga beberapa petugas kepolisian yang menjalankan pengamanan Natal.

Selepas ibadah, jemaat ini berkeliling kampung dari rumah ke rumah. Tidak hanya rumah umat Kristiani, beberapa rumah warga Muslim juga dikunjungi dengan saling berucap selamat. Mereka hidup seolah tidak ada sekat keyakinan.

Bicara soal toleransi antarumat beragama, warga desa yang terletak 50 km dari utara Kota Maros ini memang sudah mempraktikkannya secara turun-temurun. Malah, hampir di semua rumah tangga, perbedaan keyakinan sudah menjadi hal yang lumrah.

Seperti keluarga Andarias Tangke (65) dan Hamsiah (60). Pasangan yang sudah menikah selama 36 tahun ini hidup rukun dalam satu keluarga meski berbeda keyakinan. Mereka pun sudah dikaruniai tiga anak.

Mereka tidak pernah memaksakan agama mana yang akan dipilih anak-anaknya. Anak pertama mereka memeluk agama Islam, sedangkan dua anak lainnya memeluk agama Kristen. Di dalam rumah mereka pun terpampang dua simbol agama, Kristen dan Islam.

“Bapaknya orang Toraja, saya sendiri orang asli sini. Kami bisa menikah dengan keyakinan yang berbeda karena dulu belum ketat pencatatannya. Begitu pun pasangan beda agama lainnya,” kata Hamsiah di rumahnya, Senin (25/12/2017).

Saat Natal, kata Hamsinah, ia bersama saudaranya yang Muslim ikut membantu membuat dan menyajikan makanan. Begitu pun saat Lebaran atau Maulid, keluarganya yang Kristen juga ikut membantu mereka.

“Selalu seperti ini. Kita saling membatu setiap ada perayaan keagamaan. Tidak ada perbedaan antara Islam dengan Kristen, kita saling bahu-membahu,” akunya.

Menurut ketua RT setempat, Martius Baram, keberadaan umat Kristiani di wilayah ini dimulai pada 1930-an saat masa penjajahan Belanda, yang mempekerjakan secara paksa warga Toraja dan Polewali Mandar di wilayah itu.

“Kakek buyut kami itu asalnya dari Toraja dan Polewali Mandar. Saat kerja paksa zaman penjajahan, mereka akhirnya menetap di sini dan berkeluarga di sini hingga akhirnya terus berkembang sampai saat ini,” terangnya.

Saat ini, sudah ada 31 keluarga atau sekitar 150 orang dari keturunan itu. Mereka awalnya beribadat hanya dari rumah ke rumah. Namun, pada 1960-an, mereka membangun sebuah gereja kecil hingga saat ini mereka gunakan.

“Gereja ini dibangun 1960-an dan menjadi satu-satunya gereja di wilayah timur Kota Maros. Ini pun sudah mengalami perubahan tiga kali hingga jadi seperti sekarang. Bangunan awalnya terbuat dari kayu sederhana,” sebutnya.

Kerukunan umat beragama itu diakui oleh Pendeta Jemaat Protestan, Gideon Runtuwene, yang baru 7 bulan ditugasi di gereja itu. Menurutnya, praktik kerukunan umat beragama di desa ini tidak ia temukan di tempat lain.

“Sungguh luar biasa. Mereka hidup sangat rukun dan damai satu sama lain. Hal ini saya tidak pernah temukan di wilayah lain. Saya berharap ini bisa kita contohi bersama,” ujarnya.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *