Satu Islam Untuk Semua

Monday, 12 September 2016

NASIHAT – Marilah Beramal dengan Ikhlas


Islamindonesia.id – Marilah Beramal dengan Ikhlas

 

Hai sobat, gosoklah cermin hatimu agar cahaya kebesaran Ilahiah dapat terpantul dan menjadikanmu melupakan dunia ini dan segala isinya, lalu hatimu menyala dengan api cinta-Nya sehingga seluruh keterikatanmu dengan dunia ini terputus habis dan tidak sesaat pun dirimu terikat dengan benda-benda duniawi. Kemudian kau memperoleh kenikmatan yang luar biasa dengan mengingat-Nya sedemikian hingga seluruh kenikmatan hewani di dunia ini tampak bagimu sebagai tipuan dan pulasan.

Kalaupun kau tidak dapat mencapai maqâm tersebut, janganlah kauacuhkan pemberian Allah yang dijanjikan-Nya akan diberikan di dunia nanti, yang disebutkan dalam Al-Quran dan hadis para maksum, demi memperoleh penghormatan yang berumur pendek dari para makhluk lemah. Janganlah menjual kebahagiaan abadi dengan penderitaan abadi.

Ketahuilah bahwa Raja segala raja, Pemberi kebahagiaan yang sejati, telah menganugerahkan seluruh rahmat-Nya kepada kita. Dia ciptakan segala sesuatu ini bagi kita dan bahkan semua itu telah dipersiapkan-Nya sebelum kita datang ke dunia ini. Dia ciptakan bagi kita makanan yang dapat dicerna perut kita yang lemah ini. Dia ciptakan bagi kita udara dan iklim yang cocok. Dia telah menganugerahkan kepada kita seluruh bantuan-Nya, yang gaib ataupun terlihat, di dunia ini dan dunia nanti, dan setelah menghimpun seluruh rahmat-Nya, lalu Dia meminta kita untuk menjaga kesucian hati kita agar dapat menjadi tempat-Nya bersemayam sehingga kita sendiri akan mendapatkan manfaat kehadiran-Nya.

Meskipun kita telah mendengar seluruh peringatan itu, tapi kita masih tetap tidak mematuhi-Nya, tidak memperhatikan firman-firman-Nya, dan tidak berbuat sesuai dengan keinginan-Nya. Apakah ini bukan suatu pembangkangan yang besar? Dengan siapakah kita sedang mengobarkan perang, yang akibat-akibatnya kelak harus kita hadapi?

Kita sama sekali, sekecil apa pun, tidak akan dapat menggoyahkan kerajaan-Nya dan kita tidak akan dapat melepaskan diri dari jangkauan kekuasaan-Nya. Jika kita berbuat seperti kaum musyrik, kita membahayakan diri kita sendiri, karena: … sesungguhnya Allah tidak bergantung pada (seluruh) ciptaan-Nya … (QS Al-Imrân [3]: 97).

Dia tidak membutuhkan pengabdian, penyembahan, atau ketundukan kita. Setiap pembangkangan, kemusyrikan dan kemunafikan yang kita lakukan tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya sama sekali. Namun, mengingat Dia adalah Sang Maha Pengasih, maka rahmat-Nya yang tidak terbatas dan kebijaksanaan-Nya yang sempurna mengharuskan kita untuk mencari jalan yang lurus.

Dan untuk itu, Dia telah membedakan dengan jelas antara kebaikan dan kejahatan, antara yang indah dan yang buruk, dan mengingatkan kita akan ancaman dan bahaya yang akan menghadang di jalan kesempurnaan dan kebahagiaan sejati manusia.

Kita berutang kepada Allah atas petunjuk tersebut dan kita harus menunjukkan, dengan seluruh kerendahan, penghormatan kita yang besar terhadap-Nya dalam segenap ibadah dan doa kita—yang nilai pentingnya tidak dapat kita pahami sebelum memperoleh pandangan akan dunia yang lain.

Selama kita bermukim di dunia lahiriah yang sempit ini, terikat oleh rantai ruang dan waktu, kita tidak dapat memahami ketakberhinggaan hamparan karunia-Nya kepada kita.

Janganlah pernah terpikir oleh kita bahwa dengan melakukan ibadah, kita telah melakukan sesuatu bagi para nabi, para wali dan ulama besar umat. Mereka adalah pembimbing kita menuju kebahagiaan dan keselamatan kita dan pembebas kita dari kegelapan, kebodohan dan kesengsaraan, serta pendorong kita menuju cahaya, kesenangan, keriangan dan keagungan.

Betapa berat tanggung jawab yang mereka emban dan penderitaan yang telah mereka alami demi mendidik dan mengentaskan kita dari semua kegelapan akibat pelbagai pikiran sesat dan kebodohan kita. Mereka ingin menyelamatkan kita dari beragam tekanan dan siksaan yang merupakan bentuk (gaib) dari segenap watak dan akhlak keji kita. Mereka menuntun kita untuk mencapai cahaya, kedamaian dan ketenteraman, yang tidak terjangkau oleh pikiran kita.

Dunia lahiriah ini, meskipun tampak demikian luas, sesungguhnya amat terbatas dan sempit sehingga kita tidak dapat membayangkan kenikmatan surga dengan pandangan duniawi ini. Pandangan kita tidak cukup memiliki kekuatan untuk menatap kebesaran alam itu, yang digambarkan dalam ucapan Rasul Saw., yang telah menyaksikan segenap hakikat itu melalui wahyu Ilahi, melihatnya, mendengarnya, dan lalu meminta kita untuk mencapainya.

Dan kita, anak kecil yang membangkang, tidak mematuhi perintah orang yang telah mengerti, dan bahkan tidak memedulikan tuntunan akal kita, selalu lebih siap untuk menentang orang-orang yang telah dibimbing Allah.

Padahal, mereka yang jiwanya disucikan dengan cinta dan kelembutan kepada makhluk Allah, tidak pernah berputus asa dalam melaksanakan tugas menuntun kita menuju surga dan kebahagiaan. Mereka tak pernah memaksa kita mengikuti ajakan mereka. Mereka juga tidak menuntut balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.

Bahkan, imbalan yang diminta Rasul Saw. dalam ayat Almawaddah (QS 42 [Al-Syura]: 23) sebetulnya bukanlah imbalan atas pengabdian yang telah beliau berikan untuk kita, melainkan dimaksudkan untuk memberi manfaat yang lebih besar lagi bagi kita. Bbentuk kecintaan itu di alam akhirat boleh jadi akan menjadi cahaya dan karunia terbesar bagi kita.

Semua ini agar kita mencapai kebahagian dan rahmat di sisi Allah. Jadi, balasan Rasul Saw bagi penyampaian risalah itu sesungguhnya juga menjadi kebaikan bagi kita agar kita memperoleh lebih banyak manfaat dari mereka.

Bagaimana mungkin mereka memperoleh manfaat dari makhluk malang seperti kita? Dengan cara bagaimanakah keikhlasan dalam beribadah dan cinta kita kepada Allah dapat memberi manfaat buat mereka yang telah berada di maqam yang jauh lebih tinggi?

Bagaimana mungkin kita memandang diri kita yang hina telah berbuat kebaikan bagi para pembimbing umat—mulai dari seorang ahli fikih biasa yang menjelaskan hukum-hukum agama hingga maqam agung Rasulullah Saw.?

Semua telah menjalankan peran masing-masing dalam membimbing dan menunjukkan jalan yang lurus kepada kita, yang karenanya kita berutang besar kepada mereka. Bahkan sebagian terkecil dari utang itu mustahil bisa kita bayar di dunia ini. Dan tentu saja hutang terbesar dan jasa teragung adalah kepada Allah, seperti yang telah difirmankan oleh Allah:

Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya. Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan membimbingmu menuju keimanan, jika kamu adalah orang-orang yang benar.” Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Hujurât [49]: 17-18)

Oleh karena itu, jika kita ikhlas dalam beriman kepada Allah, itu saja sudah merupakan rahmat Allah bagi kita. Allah Maha Melihat dan Mengetahui segala yang tersembunyi. Dia mengetahui esensi bentuk amal-amal kita, bentuk keimanan dan keislaman kita di alam gaib. Adapun kita—makhluk yang tak berdaya, yang tidak mengetahui hakikat—memperoleh pengetahuan dari seorang almi lalu berpikir bahwa kita telah berbuat sesuatu untuknya. Kita melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam lalu kita beranggapan telah berbuat suatu kebaikan baginya.

Padahal, sesungguhnya, kitalah yang berutang kepada mereka. Kita tak menyadari hal ini, dan karenanya, pandangan salah inilah yang menggugurkan segenap perbuatan kita dan menggiring kita menuju sijjîn; menjadikan segala perbuatan kita tidak bermakna.[]

 

AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *