Satu Islam Untuk Semua

Friday, 07 March 2014

Musuh VOC dari Tjiandjoer (3): Akhir Perlawanan Haji Prawatasari


foto: repro lukisan karya Soni Ahmad Soleh

Seratus tahun lebih sebelum Pangeran Diponegoro  mengobarkan Perang Jawa, di tatar Pasundan seorang menak (bangsawan) bernama Haji Prawatasari telah memimpin sebuah pemberontakan besar terhadap kompeni (VOC). Bagaimana perlawanan itu berlangsung? Hendi Jo dari Islam Indonesia coba menyajikan  dalam tiga bagian tulisan. Ini adalah bagian terakhir dari hasil penelusuran tersebut.

 

PASCA penangkapan Ki Mas Tanu, VOC melancarkan secara gencar operasi kontra intelijen terhadap posisi Haji Prawatasari. Melalui taktik “pecah belah dan menguasai” VOC mengadakan sayembara, yang menghargai kepala Haji Prawatasari dengan uang 300 ringgit. Namun tak seorang pun tertarik dengan tawaran tersebut.

Sementara itu, aksi-aksi terus dilancarkan para gerilyawan Haji Prawatasari dan semakin membuat VOC kewalahan serta sangat menyita energi mereka. Untuk lebih terkonsentrasi pada politik eksploitasi rempah-rempah di wilayah Nusantara, tentunya kepentingan bagi VOC  harus secepatnya mengakhiri perang yang banyak disebut-sebut telah menguras pundi-pundi keuangan mereka.

VOC lantas mengundang Haji Prawatasari untuk ‘berunding” dan langsung direspon positif oleh menak pemberontak itu. Lantas ditentukanlah tempat netral untuk perundingan tersebut yakni di Bagelen, suatu wilayahyang terletak di Purworejo, Jawa Tengah. Dengan kekuatan hanya beberapa regu pengawal, pada 1707  Haji Prawatasari pun berangkat ke Bagelen.

Ternyata  ajakan berdamai itu, hanya “tipu-tipu gaya VOC’ semata. Begitu sampai di tempat perundingan, alih-alih disambut sebagai mitra berunding, rombongan kecil Haji Prawatasari justru langsung ditangkap. Tentu saja Haji Prawata marah dan melakukan perlawanan. Terjadilah pertempuran seru yang tak seimbang dengan akhir tertangkapnya musuh VOC dari Tjiandjoer itu. Tentara kompeni kemudian membawa Haji Prawatasari ke Kartasura dan memenjarakannya di sana hingga ia meninggal.

Namun sebagian besar sesepuh Cianjur menyebut versi kisah ini sebagai omong kosong. Menurut Aki Dadan, sesungguhnya Haji Prawatasari tak pernah berpikir untuk melakukan perundingan diplomasi dengan VOC. Inilah justru yang menjadikan pihak VOC kalap dan melakukan penangkapan besar-besaran terhadap para pengikut Haji Prawatasari (termasuk anggota keluarga mereka) sebagai bentuk operasi kontra gerilya.

Pasca penangkapan besar-besaran itu sendiri, Haji Prawatasari memilih untuk melakukan perlawanan secara berpindah-pindah bahkan sampai jauh melewati perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Hingga pada 12 Juli 1707 yang naas itu, saat bersama 12 pengawalnya, ia melintas di wilayah Bagelen, telik sandi VOC mencium keberadaannya. Mereka lantas mengirim satu kompi tentara kompeni dan langsung menggempur pasukan kecil tersebut tanpa ampun. Pertempuran seru pun berlangsung. Dalam kondisi terdesak, Haji Prawata memerintahkan para pengikutnya untuk menyelamatkan diri dan tak usah membela dirinya sampai titik darah penghabisan.

“ Haji Prawata sadar, saat itu ajal sudah datang menjemputnya dan menginginkan agar para pengikutnya selamat untuk meneruskan perlawanan terhadap VOC,” ujar Aki Dadan.

Dalam kenyataannya, hanya 11 pengawal yang menuruti perintah  sang haji. Sedang salah seorang dari mereka memilih untuk mendampingi Haji Prawatasari. Sepeninggal 11 pengawal tersebut, pertempuran pun terus berlangsung. Bumi Bagelen menjadi saksi bagaimana “dua maung (macan) dari Cianjur” mengamuk. Tanpa menghiraukan luka-luka yang memenuhi tubuh mereka, Haji Prawata dan sang pengawal terus melawan hingga mereka tumbang dan gugur dalam posisi saling melindungi di sebuah batu besar.

“ Menak yang masih membujang itu akhirnya perlaya (gugur)  dalam usia 28 tahun,”kata Aki Dadan.

Selanjutnya tak ada kejelasan, kemana pihak  tentara VOC membawa kedua jasad pejuang tersebut. Yang jelas, hari ini di  Desa Bingkeng masuk dalam wilayah Kecamatan Dayeuh Luhur, Cilacap ada dua makam yang dianggap  keramat dan diyakini sebagai tempat peristirahat terakhir “dua maung” itu.

“ Salah satu makam yang paling besar dikenal orang-orang sana sebagai makamnya Raden Aria Salingsingan,” ujar sastrawan Cianjur yang pernah diberitahu oleh kakeknya bahwa nama “Prawatasari” sendiri sesungguhnya bukan nama asli dari Raden Alit.

Kendati memiliki riwayat yang mungkin lebih herois dibanding Diponegoro, tetap saja hingga kini nama Prawatasari tak banyak dikenal. Alih-alih dimengerti, orang-orang Cianjur sendiri hanya mengenalnya sebatas nama sebuah lapangan semata. Rupanya, kita memang belum waktunya menjadi suatu bangsa yang besar karena pengetahuan kita yang miskin terhadap para pahlawan kita sendiri.  Jangankan menghargai, mengenalpun tidak…

 

Sumber: Islam Indonesia

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *