Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 05 March 2014

Musuh VOC dari Tjiandjoer (1): Kelahiran Menak Pemberontak


foto:cianjur.com

Seratus tahun lebih sebelum Pangeran Diponegoro  mengobarkan Perang Jawa, di tatar Pasundan seorang menak (bangsawan) bernama Haji Prawatasari telah memimpin sebuah pemberontakan besar terhadap kompeni (VOC). Bagaimana perlawanan itu berlangsung? Hendi Jo dari Islam Indonesia coba menyajikan hasil penelusurannya terhadap sepak terjang  pejuang yang namanya hampir tak dikenal oleh generasi sekarang tersebut

 

Kendati sudah ditabalkan menjadi nama sebuah lapangan kota, sejarah Haji Prawatasari sesungguhnya masih gelap bagi orang-orang Cianjur. Ketika suatu pagi, Islam Indonesia berkesempatan mengunjungi lapangan itu dan menanyakan ikhwal nama tersebut ke beberapa orang yang tengah berolahraga, mereka rata-rata menggelengkan kepala. Seorang perempuan setengah baya malah mengira sosok Haji Prawatasari adalah nama putri salah seorang dalem (istilah bupati di Jawa Barat di era dahulu) yang memiliki jasa besar terhadap pembangunan di Cianjur.  

“Saya pikir tadinya beliau seorang perempuan, karena ada kata “sari”-nya sih,”ujar perempuan bernama Santi itu.

Ketidaktahuan warga Cianjur terhadap hikayat pahlwan itu mereka memang seolah hal yang mustahil namun itu terjadi. Alih-alih warga biasa, seorang Tjetjep Muchtar Soleh yang Bupati Cianjur saja pada mulanya tidak tahu menahu pada nama itu. ¨Hampir setiap minggu, saya berolahraga di Lapang Prawatasari, tapi saya sendiri tidak tahu siapa itu Prawatasari¨ katanya kepada para wartawan beberapa waktu yang lalu.

Lantas siapa sebenarnya Haji Prawatasari? Menurut salah seorang sesepuh Cianjur Aki Dadan, Prawata lahir pada sekitar tahun 1679. Ia merupakan putra tunggal bupati pertama Cianjur yakni Raden Aria Wiratanu I dengani isteri keduanya Dewi Amriti, putri Patih Kerajaan Jampang Manggung (sebuah kerajaan kecil yang letaknya di kaki Gunung Mananggel, Cianjur).

Kendati dilahirkan di keraton Jampang Manggung, sampai umur 8 tahun Haji Prawata dibesarkan bersama dua kakaknya se-ayah (Raden Aria Wiramanggala dan Raden Aria Cikondang) di Kadaleman Cianjur. Dari keduanya, Prawata belajar ilmu kanuragaan dan kenegaraan. “ Namun ada kecenderungan, Prawata lebih mengidolakan Raden Aria Cikondang, yang seorang perwira tulen, dibanding mengidolakan Raden Aria Wiramanggala yang seorang negarawan,” ujar lelaki yang mengaku masih keturunan salah seorang pengikut setia Haji Prawata tersebut.

Bahkan karena kedekatannya itu, Raden Aria Cikondang  sempat mewariskan 12 strategi militer dari Jagabaya (pasukan khusus Kerajaan Pajajaran). Inilah salah satunya yang menjadi modal Haji Prawatasari saat melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda.  

Berbeda dengan putera-putera menak pada umumnya, Haji Prawatasari dikenal memiliki pergaulan yang sangat luas di kalangan rakyat. Begitu akrabnya, sehingga waktu masih bocah Prawatasari lebih sering dipanggil rakyat sebagai Raden Alit. Bisa jadi istilah alit (dalam bahasa Sunda berarti kecil) mengacu kepada 2 arti: ia merupakan anak paling kecil (bungsu) dalam struktur keluarganya atau karena sifatnya yang selalu bergaul dengan para “kawula alit” (rakyat kecil). Sebuah kondisi yang memberinya pengaruh besar untuk menjadi seorang pemberontak terhadap segala bentuk kezaliman.

 

Bunuh Diri Kelas Seorang Menak

Pada masa pemerintahan Dalem Aria Wiratanu II (1686-1707) secara resmi Cianjur mengakui kekuasaan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie atau Maskapai Dagang Hindia Timur). Pengakuan tersebut otomatis membuat posisi tawar Cianjur secara politik jatuh di mata VOC. Sebagai organisasi kapitalis pertama dan terbesar pada zamannya, VOC sebisa mungkin mengeksploitasi daerah taklukan mereka secara maksimal. Salah satunya dengan cara memberlakukan kerja paksa (rodi) pembangunan sarana infrastruktur seperti jalan dan gedung dagang, memonopoli perdagangan kopi sekaligus memberlakukan tanam paksa untuk tumbuhan jenis tersebut kepada rakyat.

Demi menghadapi situasi itu, para menak lokal di bawah Aria Witatanu II tidak bisa berbuat apa-apa. Alih-alih menjadi pembela kepentingan rakyat, para penguasa feodal itu malah ada yang ‘menikmati’ posisi mereka sebagai kaki tangan VOC. Tapi tidak serta merta semua menak lokal membebek kepada kepentingan para kapitalis bule tersebut. Selalu ada kekecualian dalam hidup. Salah satu kekecualian itu adalah Raden Alit alias Haji Prawatasari.

Seperti halnya Raden Aria Cikondang, Haji Prawatasari menentang keras kebijakan sang kakak Aria Wiramanggala alias Aria Wiratanu II yang menurutnya sama sekali tidak pro rakyat dan tidak memiliki wibawa di hadapan VOC. Tidak cukup hanya menentang dengan kata-kata, ia juga  pernah memimpin sebuah pembangkangan massal rakyat untuk menolak program penanaman kopi secara paksa. Rupanya situasi yang penuh dengan ketidakadilan menjadikan seorang menak seperti Haji Prawata menjalankan aksi ‘bunuh diri kelas’ (istilah para Marxian untuk para borjuis yang menggabungkan dirinya dalam perlawanan kaum proletar). Persis seperti yang dilakukan oleh Robin Hood di Nottingham,Inggris beberapa abad sebelumnya.

 

Memimpin Pemberontakan Rakyat

Maret 1703, sementara kekurangajaran VOC semakin menggila, Aria Wiratanu II seolah tak bisa berbuat banyak untuk menolong rakyatnya. Demi melihat kondisi tersebut, Haji Prawatasari lantas memaklumkan suatu revolusi  sekaligus memobilisasi rakyat Cianjur dan sekitarnya untuk memicu pemberontakan. Menurut Gunawan Yusuf, sekitar 3000 massa yang terdiri dari sebagian kecil menak, petani dan jawara berhasil direkrut oleh Haji Prawatasari untuk menjadi gerilyawan. Mereka lantas menyerang tangsi-tangsi tentara kompeni di pusat kota Cianjur untuk kemudian menjalankan aksi hit and run. “Dalam berbagai aksi penyerangannya, Haji Prawatasari selalu mengacu kepada 12 taktik tempur prajurit Pajajaran yang terkenal itu,” tulis sejarawan Sunda tersebut dalam Mencari Pahlawan Lokal.

Setelah  melalui berbagai bentrokan-bentrokan kecil dengan pasukan kompeni, awal Maret 1704, bataliyon-bataliyon (satu bataliyon=700-1000 prajurit)  pasukan Haji Prawatasari bergerak menyerang titik-titik kepentingan militer VOC di Bogor, Tangerang dan beberapa kawasan Priangan Timur seperti Galuh, Imbanagara, Kawasen dan daerah muara Sungai Citanduy.Sesekali mereka juga meneruskan aksi hit and run mereka di sekitar Batavia.

Kenyataan itu membuat VOC sama sekali tidak nyaman. Mereka lantas membentuk sebuah ekspedisi militer dengan kekuatan 2 bataliyon (terdiri dari serdadu lokal dan sebagian kecil bule) pimpinan Pieter Scorpoi untuk menyerang kedudukan pasukan Haji Prawatasari yang memilih bukit-bukit berhutan sekitar Jampang Manggung (diperkirakan sekarang ada di sekitar Cikalong dan Jonggol). Namun baru sampai kota Cianjur, konvoi para serdadu  dari Batavia tersebut dicegat sekaligus “dihabisi” oleh para gerilyawan Haji Prawatasari. “ Dari 1354 serdadu, yang disisakan oleh pasukan Haji Prawata hanya 582 orang,”ungkap Gunawan Yusuf.

Akhir Maret 1704, para gerilyawan Haji Prawatasari mengepung Sumedang dan nyaris mengahancurkannya. Hingga Agustus 1705, tercatat 3 kali pasukan musuh nomor satu VOC dari Tjiandjoer itu itu berhasil mengalahkan pasukan kompeni.(Bersambung)

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *