Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 13 May 2014

Muslim Sebagai Pelanggar atau Korban HAM?


Islam Indonesia

Demokrasi bukanlah pemaksaan kehendak mayoritas terhadap minoritas, tapi agar setiap orang didengar dan bisa mengekspresikan dirinya—Ahmad Najib Burhani.

 

Jelang Pemilihan presiden 2014, umat Muslim memiliki peran cukup penting untuk mendongkrak suara. Meski begitu, umat Muslim memiliki masa lalu kelam terkait penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)—yang hingga kini, belum terselesaikan dengan tuntas.

“Masyarakat Islam Indonesia memiliki pengalaman pahit di masa Orde Baru,” kata Wahyudi Akmaliah, peneliti senior Maarif Institute dalam diskusi bertajuk “Islam sebagai Subyek/Objek Kekerasan” di gedung PP Muhammadiyah, Senin, (12/05).

Menurutnya, pada masa Orde Baru umat Islam dianggap sebagai ancaman, dan kemudian menjadi objek kekerasan—dengan berbagai kebijakan yang tidak pro-Islam seperti pelarangan jilbab, hingga pemberangusan gerakan dan politik yang mengatasnamakan Islam dan mengakibatkan terbunuhnya 200-500 orang dalam peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Talang Sari (1989).

Sayangnya, “Islam sebagai objek kekerasan yang terjadi di Indonesia ini tidak menjadi ingatan bersama sebagian masyarakat Islam,” lanjut Wahyudi.

Ini terlihat beberapa waktu belakangan ini, yang menghadirkan Islam—dengan organsisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan Islam—sebagai tirani mayoritas atas minoritas, yang melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah dan Syiah.

Munculnya Muslim sebagai aktor kekerasan ini diduga merupakan reaksi atas ketakutannya di masa lalu sebagai kaum minoritas atas mayoritas yang dijalankan Orde Baru.

Dalam diskusi tersebut, hadir pula pembicara lainnya seperti Muhammad Daud Beureuh dari KontraS, dan Ahmad Najib Burhani, peneliti PMB LIPI.

Daud, yang juga anak korban peristiwa Priok mengatakan, “Kekerasan yang terjadi di masa lalu tidak pernah diselesaikan, sehingga berakibat munculnya repetisi kekerasan saat ini yang dilakukan oleh kelompok Islam sendiri.”

Penegakan hukum dengan membawa mereka yang tertuduh dalam kekerasan, lanjut Daud, baik di masa lalu maupun Orde Baru setidaknya dapat meminimalisir kekerasan yang terjadi di masyarakat.

Sementara itu, Ahmad Najid Burhani mengatakan bahwa di masa Orde Baru, negara menjadi tirani minoritas yang melakukan kekerasan. Sedangkan pasca Orde Baru justru mayoritas Islam menjadi tirani yang melakukan kekerasan terhadap komunitas Islam yang selama ini dianggap lain, seperti Ahmadiyah dan Syiah.

Ia juga mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini bertumpu pada suara mayoritas. Karenanya, suara mayoritas sudah dapat dipastikan menang dan kemudian memunculkan tekanan-tekanan kepada kaum minoritas.

Padahal, lanjut Najib, demokrasi bukanlah pemaksaan kehendak mayoritas terhadap minoritas, melainkan agar setiap orang didengar dan bisa mengekspresikan dirinya.

“Substansi demokrasi bukan dengan menghitung angka-angka atau jumlah, tapi agar setiap orang memiliki haknya,” kata Najib.

Untuk menyikapi itu, Najib menilai, “Perlu adanya kebijakan negara yang berpihak kepada hak-hak mereka (kelompok minoritas). Jangan sampai hanya karena adanya suara mayoritas, hak-hak mereka dapat direnggut begitu saja.”

 

Sumber: Islam Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *