Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 05 February 2014

Musdah Mulia Apresiasi Keberanian Tunisia Usung Islam yang Akomodatif


icrp-online.org

Siti Musdah Mulia mengapresiasi keberanian Tunisia mengusung Islam yang akomodatif terhadap kebebasan manusia dalam menentukan pilihan hidupnya.

Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini mengatakan bahwa keterbukaan atas kepercayaan apa pun adalah hal yang hakiki dalam Islam.

Tunisia, dalam salah satu pasal konstitusinya yang baru telah menjamin kebebasan beragama dan hati nurani, yang memungkinkan praktik ateisme dan praktik agama-agama non-Ibrahimi. Konstitusi ini juga melarang tindak kekerasan dan menyatakan seorang Muslim sebagai murtad karena pindah agama sehingga diancam dengan hukuman mati.

 “Sebab, dalam Islam diajarkan, tidak ada paksaan dalam beragama. Mau beragama atau tidak beragama (ateis) adalah pilihan bebas manusia. Manusia hanya diingatkan bahwa ada akibat dari pilihan bebas itu. Pahala untuk yang sejalan dengan perintah Tuhan, sebaliknya ada siksaan untuk yang bertentangan,” ujarnya seperti dikutip dari satuharapan.com pada Rabu (5/1).

Namun, Musdah menambahkan, pahala dan siksaan diberikan ketika di akhirat, bukan di dunia. Sehingga selama seseorang tersebut tidak melakukan kekerasan atau tindak kriminal, mereka yang dianggap murtad atau ateis pun tidak boleh dihukum oleh sesama manusia.

“Kita tidak boleh mengadili keyakinan seseorang karena itu adalah hak yang paling asasi dalam hidup manusia,” tambahnya tegas.

Tunisia Bukan Negara Islam

Musdah menganggap reformasi Tunisia yang berakhir dengan pilihan untuk tidak menjadi Negara Islam adalah langkah yang tepat. Menurutnya, hukum rajam dan jilbab adalah interpretasi, bukan substansi dalam Islam.

“Yang esensial dalam Islam adalah menegakkan keadilan bagi semua manusia, tanpa pemaksaan dalam bentuk apapun,” tegasnya.

Dalam bukunya, “Negara Islam”, ia menilai bahwa Islam yang diterapkan dalam negara sejatinya merupakan Islam yang tidak kritis dan tidak rasional.

Tunisia untuk Keadilan Perempuan

Melihat adanya pasal 45 dalam konstitusi Tunisia, Musdah optimis bahwa negara dengan 98 persen penduduk Islam ini mampu mewujudkan keadilan bagi perempuan.

Menurutnya, Tunisia memiliki sejumlah ulama progresif yang mendukung pengembangan Islam yang pluralis dan demokratis. Ia juga menilai bahwa Tunisia cukup akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal seperti dalam deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM).

“Tunisia adalah negara yang paling menjamin kesetaraan gender dan memenuhi hak-hak perempuan sebagai warga negara. Tunisia juga memiliki UU Keluarga (Perkawinan) yang progresif,” ujarnya.

Pasal tersebut berbunyi, “Negara menjamin kesetaraan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam jabatan publik. Negara berupaya menjamin kesamaan jumlah laki-laki dan perempuan dalam badan-badan terpilih.”

Pekerjaan Rumah bagi Tunisia

Musdah mengaku prihatin atas jalan penuh konflik yang harus dilalui Tunisia untuk tiba pada tujuan negara demokratis.

“Sejak awal, pemerintah dan masyarakat lebih terbuka untuk menjelaskan kepada semua pihak bahwa pilihan demokratis adalah sebuah keniscayaan di era globalisasi ini.” 

Meski demikian, Musdah menyanjung konstitusi Tunisia yang berhasil mewujudkan negara yang mampu mengakomodasi semua pilihan warganya. Hanya saja, ia menilai bahwa, Tunisia masih memiliki tugas yang harus diselesaikan.

Menurutnya, Tunisia harus berbenah serius untuk peningkatan pendidikan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat, “Ada dua syarat penting bagi bangunan negara demokrasi, yaitu kemajuan pendidikan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat,” imbuhnya.

 

Sumber: satuharapan.com      

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *