Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 03 December 2014

Minyak, Angola dan Sentimen Anti-Islam: Bisakah Presiden Joko Widodo Menjelaskannya?


Cadangan minyak di benua Afrika meningkat pesat dalam 30 tahun terakhir. Ditaksir 57 miliar barel pada 1980-an, kini angkanya sudah menembus level 124 miliar barel. Itu belum menghitung 100 miliar barel yang diperkirakan ngendong di lepas pantai Afrika.

Nah, mayoritas cadangan dan produksi minyak Afrika ada di tangan enam negara. Angola, salah satunya, termasuk yang belakangan bergabung ke OPEC, organisasi negara pengekspor minyak dunia, pada tahun 2007.

Negara terbesar ketujuh di Afrika itu berada di bagian barat daya benua. Sejak merdeka dari Portugal pada tahun 1975, ideologi partai politik yang berkuasa adalah Marxisme-Leninisme.

Berbagai laporan media mencatat tahun itu masa suram umat beragama di Angola. Sebab ideologi politik yang berkuasa memandang agama barang kuno dan tak pas dalam membangun sebuah masyarakat.  

Nah, pada 1990, pendulum ideologi partai berkuasa — Gerakan Rakyat untuk Pembebasan Angola – mengayun ke Sosial-Demokrat. Bagi umat beragama di Angola, perubahan ini mengharuskan mereka berhadapan dengan rezim yang tetap phobia pada agama.

Begini ceritanya: secara umum, undang-undang di Angola menjamin kebebasan bagi setiap warga untuk memeluk dan menjalankan ritual agama yang diakui negara. Nah, persoalan mulai rumit di sini.

Supaya bisa diakui,  negawara mewajibkan setiap kelompok agama harus punya sedikitnya 100.000 penganut dan tersebar di 67% provinsi.

Seperti syarat masuk partai dalam pemilu di Indonesia, bukan?

Suka atau tidak, tapi itulah faktanya. Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam dua dekade terakhir, umat beragama di Angola harus berjuang mendapatkan status hukum. Sebab hanya dengan itulah mereka bisa dapat izin mendirikan sekolah dan tempat ibadah, entah itu mesjid atau gereja.

Tapi di Angola, regulasi dan realitas selalu punya cerita berbeda. Di sana, peraturan seputar pengakuan agama, justru sangat ketat. Menurut sebuah statistic, ada 900 lebih kelompok agama yang kena penolakan pengakuan dari negara sejak 1991. Sebab yang sama pula, kini tercatat 2.000 kelompok agama yang aktif di Angola — tanpa izin resmi.

Ironisnya, Islam adalah salah satunya.

Di Angola, umat Islam bergabung di bawah panji Islamic Community of Angola. Organisasi mengklaim jumlah muslim di seantero negara sudah tembus 500 ribu jiwa alias lima kali di atas ambang minimum pengakuan sbagai agama yang sah oleh negara. Kebanyakan Muslim di sana berasal dari Afrika Barat dan Timur Tengah, khususnya Lebanon, yang kembali ke Angola seiring bangkitnya industri minyak.

Pahitnya, entah bagaimana, data resmi pemerintah Angola mengklaim jumlah Muslim baru mencapai 90.000 orang, alias kurang 10 ribu jiwa untuk dapat pengakuan.

Pada akhir 2013, sejumlah media memberitakan Angola sebagai “negara pertama yang melarang Islam”. Sejumlah laporan bahkan menyebutkan orang-orang pemerintah turun tangan langsung menghancurkan masjid illegal.

Seorang peneliti ilmu politik, Abdelrahman Rashdan, menilai larangan itu bukan karena kebencian agama tapi lebih pada persoalan legalitas.

Manuel Fernando, salah seorang pejabat senior di Kementerian Kebudayaan Angola, menggaungkan pandangan senada. Dia bilang, “Ddi Angola tidak ada perang melawan Islam atau agama apapun. Tidak ada sikap resmi yang menargetkan penghancuran atau penutupan tempat ibadah, apapun.”

Silat lidah? Rezim di Luanda bisa jadi punya argumennya sendiri. Namun faktanya, penutupan dan penghancuran masjid, pembakaran kitab suci termasuk Al Qur’an, dan pelarangan jilbab bagi wanita Muslim, seperti yang ramai diberitakan media lokal dalam beberapa tahun terakhir, merupakan kelanjutan rezim melegalisasi agama. Inilah kebijakan tangan besi yang memicu solidaritas di berbagai belahan dunia.

Di London, Inggris, dalam sebuah demonstrasi sekelompok Muslim membentangkan spanduk “Angola Regime Enemy of Islam” dan “Khilafah for Angola” di depan Kedutaan Angola. Bendera Angola, bersimbolkan parang dan mahkota berbintang, juga pernah dibakar di Palestina.

Datanglah Makelar Suci

Di Indonesia? Cerita sedikit berbelok. Dalam satu dua bulan terakhir, Angola justru jadi negara Afrika yang paling popular di media massa Indonesia. Duduk perkaranya terkait keputusan Presiden Joko Widodo membeli 100 ribu barel minyak langsung dari Angola.

Digambarkan sebagai manuver cantik yang berujung penghematan masif anggaran negara, Istana Negara meneken perjanjian itu di hari kesebelas usia pemerintahan Presiden Widodo. Dari Angola, Luanda mengirim Manuel Vicente, wakil presiden Republik Angola, anggota partai berkuasa Gerakan Rakyat untuk Pembebasan Angola, sepupu dari presiden Angola saat ini.

Vincente juga tercatat sebagai eks bos besar Sonangol, perusahaan minyak plat merah, seperti Pertamina, yang menjadi mitra utama Jakarta dalam pembelian minyak besar-besaran itu.

Sejumlah statistik menyebutkan produksi minyak Sonangol rata-rata 1,7 juta barel per hari dan diperkirakan tembus 2 juta barel pada 2017. Angka yang besar bila mengingat konsumsi harian di sana sekitar 74 ribu barel sehari.

Sejak booming minyak di Angola, Luanda menjadi pemasok minyak negara-negara industry, utamanya China dan Amerika Serikat.

Tapi bagaimana ceritanya presiden baru bisa membenton mega transaksi dengan Angola kurang dari dua pekan sejak berkuasa? Laporan sejumlah media Jakarta menyebut keterlibatan dan peran besar Surya Paloh, bos besar Partai Nasdem, konglomerat media, hotel dan pertambangan.

Percisnya, Surya lah yang memakelari deal bisnis antara Jakarta dan Luanda. Surya menggunakan tangan patron bisnisnya dari China, Sam Pa, untuk meyakinkan Luanda seputar minat Jakarta membeli minyak dalam jumlah massif.

Sam Pa menguasai 70% saham China Sonangol, perusahaan yang memakelari ekspor minyak Sonangol EP.

Islam Indonesia mengatahui Sam Pa bukan nama asing dalam dunia bisnis di Indonesia. Namanya jadi bisik-bisik di kalangan politisi setelah dia, kabarnya, manjadi penyangga sekaligus benteng keuangan Nasdem. Kabarnya, dia masuk ke Nasdem sesaat setelah konglomerat media Hary Tanoesoedibjo angkat kaki dan bergabung ke Partai Hanura.

Sejumlah sumber menggambarkan Sam Pa punya cengkraman bisnis yang mumpuni di Indonesia. Dia disebut-sebut menguasai saham Jakarta Intercontinental Hotel di Bali. Selain itu, dia juga dikabarkan jadi pemilik sah Sampoerna Strategis Square dan FX Mall di Jakarta.

Dalam wawancara dengan majalah Tempo beberapa pekan silam, Paloh menggambarkan dirinya bukan makelar biasa. Dia bilang dia bahkan tidak memimpikan komisi. Menurutnya, manuver itu justru bagian dari pengabdian agar negara bisa berhemat Rp 15 triliun per tahun.

Transaksi minyak Jakarta-Luanda mengadopsi model pembelian langsung, dimana Pertamina berurusan dengan Senagol via perusahaan marketing minyak masing-masing di luar negeri. 

Detil bisnis mega transaksi minyak Jakarta-Luanda masih jauh dari terang. Ada banyak pertanyaan yang mengantung, termasuk bisakah Presiden Joko Widodo menjelaskan kenapa mega transaksi minyak itu justru melibatkan rezim yang selama beberapa dekade mengepalkan tinju besi pada umat Islam di Angola?

 

(EA/Islam Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *