Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 10 April 2014

Mimpi di Tepi Danau Michigan


foto: tommy satria/ tempo.co

Sejak muda, keinginanya adalah memang menjadi seorang penyair

 

 

APA yang dibayangkan oleh seorang anak muda Melayu penggila karya-karya sastra ketika melihat pemandangan menguning puluhan ribu hektar ladang gandum, ribuan ternak dan kehidupan damai para petani di tepian Danau Michigan? Ia berkhayal memiliki semua yang dilihatnya dan berharap mengalami masa-masa indah  seperti para petani tersebut. “Terbayangkan oleh saya, saat istirahat makan siang tiba, seusai bekerja di ladang, saya bisa menulis banyak puisi,”pikir sang anak muda tersebut.

Mimpi indah 57 tahun lalu itu memang tak pernah terjadi dalam hidup Taufiq Ismail. Kendati sempat kuliah di fakultas kedokteran hewan dan peternakan Universitas Indonesia, menjadi petani dan peternak ternyata bukan jalan hidup lelaki Minang tersebut.  Namun mimpi yang dibangun di tepian danau Michigan itu tak sepenuhnya raib. Setidaknya ia kini dikenal sebagai penyair yang telah membuat banyak puisi indah dan membacakannya di hadapan khalayak yang mencintai karya-karyanya. “Bagi saya ternyata tidak bisa dua, harus memilih salah satu. Dan saya memilih jadi penyair,”ujar sastrawan kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935 itu.

Sejak duduk di bangku SMA Pekalongan, Taufiq memang telah memendam hasrat besar untuk menjadi seorang penyair. Sebuah cita-cita yang menggiringnya ke berbagai aktivitas sastra terutama menulis dan membacakan puisi. Sudah banyak karya lahir dari tangan salah seorang pendiri Majalah Sastra Horison ini. Diantaranya, kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng,Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.

Begitu indahnya puisi karya Taufiq hingga kelompok musik ternama dari Bandung, Bimbo menjadikan puisi-puisinya sebagai lirik-lirik lagu. Selain Bimbo, ia juga pernah menulis lirik buat Chrisye, Ian Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Taufiq memang sangat antusias menjadikan puisi-puisinya sebagai lagu karena ia percaya jangkauan puisi akan menjadi lebih luas di masyarakat saat menjadi lagu.

Tidak sekadar menulis, Taufiq pun  sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia,Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar.

Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.

Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia (Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004.)

Kecintaan Taufiq kepada sastra tidak hanya terpusat kepada dirinya sendiri.  Di tengah kelesuan kehidupan sastra karena miskinnya tradisi  membaca dan menulis, pada 1996,  Taufiq bersama sastrawan-sastrawan Indonesia lainnya mengadakan sekaligus menjalankan program yang disebut Gerakan Membawa Sastra ke Sekolah meliputi ratusan SMA dan puluhan perguruan tinggi di Indonesia. Gerakan ini terpaku pada 3 hal:  meningkatkan minat membaca buku, kemampuan menulis dan memunculkan sikap apreasiatif kepada sastra. Hingga kini, program tersebut masih berlangsung dan mendapat sambutan yang sangat antusias dari para guru, sisiwa, mahasiswa dan dosen. Dalam program ini, alih-alih berpangku tangan, para sastrawan malah langsung terjun ke lapangan guna memberikan pengajaran langsung kepada para siswa, mahasiswa dan guru pengetahuan sastra yang mereka miliki. “Lewat gerakan ini  para siswa bisa secara langsung mendengar Rendra membacakan puisinya atau Ahmad Tohari membacakan novelnya,”ungkap peraih Mizan Award 2013 itu.

Taufiq sangan meyakini bahwa sebuah bangsa yang gandrung akan sastra akan lebih mudah melalui perjalanan hidupnya secara lebih beradab. Ia tak menafikan kemungkinan jatuhnya Indonesia hingga titik nadir pada hari ini terkait dengan miskinnya hasrat manusianya (terutama anak muda) terhadap tradisi membaca dan menulis serta mengapreasiasi sastra. “Karena itu, hari ini kita harus memberikan pengetahuan sastra sebagai sesuatu yang mengasyikan sehingga orang-orang gandrung mendalaminya. Mimpi itulah yang kini tengah kami upayakan ,” ujarnya. Dan Taufiq percaya mimpi itu akan segera terjadi di Indonesia. 

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *