Satu Islam Untuk Semua

Friday, 10 January 2014

Mereka yang Insyaf


intisari-online.com

Teroris pun manusia. Mereka punya hati, punya perasaan, punya cinta, punya amarah, dan punya segala hal lainnya yang menjadi sifat alamiah manusia.

 

Apa yang pertama kali terbayang dalam pikiran Anda jika mendengar kata teroris? Kekerasan, permusuhan, bom, kebencian? Atau bahkan kematian? Tidak salah memang, karena itulah yang kerap kita dengar dari akibat tindakan para teroris. Alhasil, tidak sedikit masyarakat dunia yang mengecam aksinya tersebut. Bahkan lebih dari itu, keluarga teroris pun ikut menerima dampak sosialnya. Diacuhkan, dicap sebagai biang kekerasan, dicibir, dan diberikan embel-embel beban lainnya, dengan tanpa ampun–yang belum tentu dilakukan pihak keluarga sang terduga teroris.

Padahal, teroris pun manusia. Mereka punya hati, punya perasaan, punya cinta, punya amarah, dan punya segala hal lainnya yang menjadi sifat alamiah manusia. Dengan kesamaan sifat inilah, tidak menutup kemungkinan teroris pun berubah menjadi manusia yang lebih santun, atau dalam istilah lainnya insyaf.

Adalah Noor Huda Ismail, yang terketuk hatinya untuk secara serius merangkul para alumni “sekolah teroris” ini. Berbekal dari informasi yang ia dapatkan pada saat mewawancarai para narapidana teroris ketika menjadi wartawan Washington Post, ia pun mendirikan sebuah “rumah” baru bagi mereka dengan nama Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP).

Yayasan ini  berdiri pada 2008 dengan kegiatan yang dikhususkan dalam bidang rekonsiliasi. Yakni, merekonsiliasi para eks napi teroris dengan masyarakat agar bisa hidup normal, dan dengan pemerintah agar tak terus-menerus dicurigai.

Melalui yayasan ini, para eks teroris kembali menemukan gairah hidup. Bedanya, kali ini mereka bersemangat mencari nafkah yang halal dengan mengangkat senjata hidup berupa alat-alat masak, alat-alat pertanian, alat-alat nelayan. Dan bahkan ada pula yang dengan keahliannya di bidang seni, ia terjun berwirausaha dengan membuat pigura.

Suatu kebiasaan baru yang tampaknya mudah bagi masyarakat pada umumnya. Tapi hal ini tidak bagi para eks teroris. Betapa tidak, keseharian yang biasanya digunakan untuk mengangkat senjata api, kini ia beralih profesi menjadi koki, nelayan, petani, dan sebagainya. Butuh komitmen yang kuat bagi mereka untuk bisa beralih profesi. Jika tidak, mereka akan kembali menjadi teroris.

Hal ini pula yang membuat santri lulusan pondok pesantren Ngruki, Solo yang juga sebagai Direktur YPP untuk membiarkan para eks teroris datang dengan sendirinya. Huda tidak mencari-cari mereka—tapi mereka lah yang akan menghubungi Huda, jika dirasa siap dan memiliki komitmen untuk berubah.

Berikut beberapa mantan teroris, yang sudah insyaf dan menjalani hari-hari mereka dengan melakukan usaha yang halal.

MACHMUDI HARIONO, pengelola Dapoer Bistik–eks teroris yang berperan sebagai veteran perang dalam Front Pembebasan Islam Moro MILF, yang berbasis di Mindanao, Filipina.

Machmudi Hariono atau yang akrab disapa Yusuf divonis 10 tahun penjara terkait terorisme dan diduga terlibat dalam kasus Bom Bali 1. Namun karena berkelakuan baik, sekitar lima tahun kemudian, Yusuf bebas.

Ia mengaku jera dan tidak akan lagi terlibat aksi terorisme. Kini ia hanya ingin menafkahi keluarga dari usaha yang halal. Dan meluangkan sebagian waktunya untuk membesarkan anaknya dengan cara yang baik.

Kini Yusuf mengelola bisnis makanan ‘Dapoer Bistik’ bersama 10 karyawannya, sejak beberapa tahun silam. Konon, bistik iga bakar sapi ini menjadi menu favorit restoran masyarakat Semarang ini.

HARRY SETIA RAHMADI, pengelola tambak ikan dan udang.

Harry pernah divonis penjara 5 tahun oleh Pengadilan Negeri Semarang akibat dituduh telah menyembunyikan gembong teroris.

Kini, laki-laki lulusan Ekonomi Manajemen dari Undip Semarang ini mengelola tambak ikan dan udang, yang juga dimodali oleh YPP.

Harry setuju mengelola tambak bersama YPP karena ia ingin mengurus anak-istrinya dengan cara yang menenangkan dan halal. Ia juga mengaku punya kesamaan pandangan, seputar pemberdayaan ekonomi bekas teroris yang baru keluar penjara. “Jadi kesepakatan kita dengan Pak Noor Huda adalah kita hanya bersifat ekonomi bisnis.  Soal akidah (urusan) you, masing-masing. Lu, kalau mau “ikut lagi” silakan. Tapi jangan libatkan kami (yang sudah ikut dalam program pemulihan YPP,” tuturnya seperti dikutip dari pinushutan’sblog.

ALI FAUZI, Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah, Lamongan—mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI)

Ali Fauzi, adik kandung Ali Imron, terpidana mati Bom Bali ini memilih untuk meninggalkan aktivitasnya dari dunia terorisme dan beralih proesi menjadi Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah, Lamongan sejak beberapa tahun lalu.

Ia mengaku memilih mundur dan keluar dari anggota Jamaah Islamiyah (JI), lantaran sudah tak sesuai ideologinya. Menurutnya, jihad yang selama ini diajarkan di JI tidak sesuai dengan syariah Islam. Yakni, jihad dengan cara radikal.

Meski selama bergabung di JI, ia mengajari banyak pengikut aliran itu belajar merakit bom, namun pengalamannya itu kini lebih untuk kedamaian, mengajarkan kebaikan bagi semua orang, serta memberantas terorisme.

SURYADI Spd., Sang Pembuat Pigura.

Suryadi divonis penjara selama delapan tahun karena dinilai terlibat aksi Bom Makassar, pelanggaran UU Antiterorisme dan UU darurat beberapa  tahun lalu. Atas dugaan itu, ia pun diganjar di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sulsel sejak tahun 2006 silam.

Namun, itu tidak menyurutkan semangatnya untuk berubah dan menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Dengan bekal rasa cintanya terhadap seni, ia pun rajin menciptakan karya seni, salah satunya adalah pigura.

Kegiatan tersebut, ia lakukan bahkan sejak masih berada dalam tahanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *