Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 16 November 2014

Mengenang Kiai Abbas Abdul Jamil, Panglima Hizbullah Era Kemerdekaan (Penutup)


Kiai Abbas Abdul Jamil

Ribuan Alu Beterbangan

Abdul Wachid, salah seorang pengawal Kiai Abbas bin Abdul Jamil, masih punya ingatan segar detik-detik menegangkan dalam perjalanan Kiai Abbas bin Abdul Jamil meninggalkan Cirebon menuju Surabaya jelang 10 November. Tulisannya, belakangan beredar di banyak media sosial di hari Pahlawan pekan yang lewat, menjadi catatan di balik layar seputar sosok Kiai Abbas:

Hari itu, kalau tidak salah tanggal 6 November 1945, saya dengan tiga orang, yaitu Usman, Abdullah, dan Sya’rani, mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas bin Abdul Jamil ke front Surabaya.

Pada pukul 06.30, rombongan kami dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII/SGD Divisi I Syarief Hidayat, meninggalkan markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Selain tiga pengawal serta Kiai Abbas bin Abdul Jamil, dalam rombongan kami juga ikut K.H Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik kereta api Express.

Waktu itu Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban, dan beralas kaki terompah (sandal jepit kulit). Beliau menyerahkan sebuah kantung kepada saya. Saya merabanya dan ternyata isinya sandal bakiak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakiak ini? Bukankah Kiai sudah memakai terompah? Atau senjata perang? Masa, senjata kok bakiak?

Sekitar pukul 17.00, kereta api yang kami tunggangi masuk stasiun Rembang, Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang. Malam harinya, bakda salat Isya, para ulama yang jumlahnya kurang lebih 15 orang mengadakan musyawarah untuk menentukan komando atau kepemimpinan di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan, komando pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.

Bakda salat Subuh, Pondok Pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya. Saat itu banyak yang berseragam Hizbullah. Di halaman masjid sudah ada dua mobil sedan kuno berkapasitas empat orang penumpang. Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon dan miminta bingkisan (bakiak) yang dititipkannya kepada saya. Kiai Abbas juga menyuruh kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak kemana-mana sampai kembalinya dari Surabaya.

Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil Kiai Bisri di jok belakang, sementara Kiai Achmad Tamin duduk didepan dengan sopir. Sementara sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Diiringi pekik takbir “Allahu Akbar” dan “Merdeka!!” yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan bergerak meninggalkan Pondok Pesantren Rembang.

Setelah hampir sepekan kami berada di Pondok Pesantren Rembang, beberapa laskar Hizbullah yang merupakan santri Pondok Pesantren Rembang datang. Kedatangannya disambut oleh para santri, termasuk juga kami. Mereka pun langsung diberondong pertanyaan tentang situasi peperangan di Surabaya.

Menurut cerita santri Rembang yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kiai tersebut datang, mereka langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Para kiai langsung masuk ke masjid dan melakukan salat sunah. Usai salat sunah, Kiai Abbas memerintahkan pada laskar dan para pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudu dan meminum air yang telah didoai.

Tak menunggu lama mereka langsung mengambil air wudu di sana. Ada dari mereka yang mungkin merasa kurang dengan hanya berwudu hingga menerjunkan diri masuk dalam kolam. Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan badan Perjuangan Arek-Arek Suroboyo menyerbu Belanda dengan diiringi takbir dan pekik merdeka yang bergemuruh dipenjuru kota Surabaya yang disambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda.

Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, terutama dari pihak kita yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pentungan, atau golok seadanya, yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan. “Kami dengan para kiai berada di tempat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan dibawah sana,” kata salah seorang santri Rembang yang ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang.

Saat itu, santri Rembang itu melanjutkan ceritanya, “Kiai Abbas mengenakan alas kaki bakiak berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Saya melihat dengan kedua mata kepala saya sendiri keajaiban yang luar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu-serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur  ke kapal induk.”

Pesawat Meledak Sebelum Beraksi

Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat bomber Hercules. Tapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum beraksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang akan menjatuhkan bom untuk menghancurkan kota Surabaya. Namun pesawat-pesawat itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum beraksi.

“Di situlah kehebatan Kiai Abbas bin Abdul Jamil yang saya saksikan sendiri,” kata santri Rembang meyakinkan para santri lainnya saat itu. Keesokan harinya, dia melanjutkan kesaksiaanya, “Pihak musuh datang lagi berbondong-bondong. Menggunakan tank dan truk, mereka menyerang kubu-kubu pertahanan laskar kita dengan iringan dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan dari pesawat udara yang banyak jumlahnya. Tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur ke pinggir kota Surabaya. Menjelang malam hari tiba, pertempuran mereda. Hanya beberapa tembakan kecil yang masih terdengar di sana sini.

Kemudian kami diperintahkan pulang oleh Kiai Bisri untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada keluarga dan warga Pondok Pesantren bahwa Pak Kiai (Kiai Bisri) dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat, sehat walafiat. Warga pondok dan masyarakat Rembang diminta untuk berdoa kepada Allah swt atas pelindungan, keselamatan, dan kemenangan bagi para pejuang kita yang sedang berada dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.

Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas bin Abdul Jamil dengan pendampingnya, Kiai Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Dari mereka, kami tidak banyak memperoleh informasi tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh, kami para pengawal dari Cirebon, diperintahkan berkemas untuk pulang kembali ke Cirebon. Menumpangi kereta api Express pukul 06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat sekitar pukul 17.30. Sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan. Tampaknya Kiai Abbas dalam kelelahan dan mengantuk yang sangat teramat. Selama di Surabaya,Kiai Abbas kurang istirahat dan kurang tidur.

Tetapi sesampainya di Cirebon, beliau menceritakan banyak hal tentang perang tersebut; bagaimana serdadu Belanda mundur dan akhirnya perang dimenangkan oleh para kiai dan semua pahlawan dari Surabaya.

(Eja/Islam Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *