Satu Islam Untuk Semua

Friday, 04 May 2018

Syeikh Ath-Thayyeb dan Pandangannya Soal Beda Mazhab dalam Islam


islamindonesia.id – Syeikh Ath-Thayyeb dan Pandangannya Soal Beda Mazhab dalam Islam

 

 

 

Indonesia dan khususnya Muslimin patut berbangga. Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendikiawan Muslim se Dunia Wasathiyah Islam yang dilaksanakan di Bogor sejak 1 Mei lalu, berhasil menyepakati “Bogor Message” atau Risalah Bogor.

Pimpinan Dewan Masyarakat Muslim Dunia, Prof. Mustafa Cheric menanggapi isi Risalah sangat penting dan berharga. Ia menyatakan,  KTT adalah investasi penting para ulama. Demikian seperti dikutip dari laman antaranews.com

Tetapi di sela-sela pertemuan bersejarah tersebut, ada satu sosok yang menjadi pusat perhatian selama acara tersebut berlangsung. Beliau adalah Grand Shaikh Al-Azhar, Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb. Berdasarkan Riset The 500 Most Influential Muslim tahun 2018, beliau menduduki peringkat pertama dari 500 Muslim yang paling berpengaruh di seluruh dunia.

The Royal Islamic Strategic Studies Centre yang berkedudukan di Amman Jordania, sebuah lembaga penelitian yang menggagas riset tentang Muslim paling berpengaruh di dunia, menempatkan Ath-Thayyeb sebagai Muslim paling berpengaruh karena kedudukannya sebagai pemegang ‘otoritas tertinggi’ bagi Muslim Suni. Selain itu, dia juga memimpin Universitas Islam Suni terkemuka dan terbesar (Al-Azhar).

Tapi yang jauh lebih penting dari itu, beliau adalah sosok yang akseptabilitasnya paling tinggi di kalangan ulama Islam. Pemikiran beliau yang moderat dan progresif, mampu menjahit perbedaan berbagai kelompok dalam dunia Islam. Inilah salah satu kompetensi yang cukup langka dimiliki para tokoh Islam hari ini.

Salah satu isu krusial dalam dunia Islam yang sudah berlangsung sangat lama, adalah soal perbedaan paham kelompok Suni dengan Syiah. Tekait masalah ini, Grand Shaikh Al-Azhar pernah menyampaikan pandangannya ketika menjawab pertanyaan dalam sebuah wawancara eksklusif dengan wartawan Channel Nil Mesir.

Intinya beliau menyampaikan dengan tegas pentingnya persaudaraan sejati termasuk dengan Muslim Syiah. Mazhab Suni tidak boleh mengkafirkan kelompok Syiah karena perbedaan pendapat. Karena menurut beliau, mereka (mahzab Syiah) adalah saudara muslim. Hasil wawancara ini kembali diunggah oleh situs resmi Kementerian Agama RI, bimasislam.kemenag.go.id. Berikut ini kutipan hasil wawancaranya:

Bagaimana ajaran Syiah menurut Anda?

Tidak ada masalah dengan ajaran Syiah. 50 tahun lalu, Syaikh Syaltut berfatwa bahwa Syiah adalah mazhab kelima dalam Islam dan sama seperti mazhab-madzab Islam yang lain.

Anak-anak kita akan menjadi Syiah. Apa tindakan kita?

Biar saja mereka menjadi Syiah. Apakah kita akan menyalahkan orang yang berpindah mazhab dari Hanafi ke Maliki? Mereka (yang menjadi Syiah) hanya berpindah dari mazhab keempat ke mazhab kelima.

Orang Syiah menjadi kerabat kita. Mereka menikah dengan anak-anak kita.

Apa masalahnya? Pernikahan antar mazhab itu dibolehkan.

Kabarnya Alquran mereka berbeda dengan Alquran kita.

Itu omong kosong. Tidak ada perbedaan antara Alquran kita dan mereka. Bahkan rasmul khat mereka sama dengan Alquran kita.

23 ulama dari sebuah negara (Saudi) berfatwa bahwa Syiah adalah kafir dan rafidhi.

Hanya Al-Azhar yang bisa berfatwa untuk muslimin. Fatwa mereka (ulama Saudi) tidak kredibel.

Lalu bagaimana dengan perselisihan Syiah-Suni yang dikemukakan mereka?

Perselisihan itu adalah politik luar negeri yang ingin memecah belah Syiah dan Suni.

Saya punya pertanyaan serius. Syiah tidak menerima Abu Bakar dan Umar. Bagaimana bisa Anda menyebut mereka muslim?

emang mereka tidak menerima. Tapi apakah meyakini Abu Bakar dan Umar termasuk prinsip agama Islam? Kisah tentang mereka berdua adalah kisah sejarah. Sejarah tidak berkaitan dgn prinsip akidah.

Ada satu kritikan terhadap Syiah. Mereka berkata bahwa imam zaman mereka masih hidup semenjak 1000 tahun lalu.

Mungkin saja,kenapa tidak mungkin? Tapi tak ada alasan kita mesti berkeyakinan sama seperti mereka.

Mungkinkah bocah berusia 8 tahun menjadi imam? Syiah meyakini bahwa bocah berusia 8 tahun menjadi imam.

Kalau bayi dalam buaian bisa menjadi nabi (Nabi Isa as-red) ,tidak mengherankan bocah usia 8 tahun menjadi imam. Meski kita sebagai AhlusSunah tidak meyakini hal ini. Tapi keyakinan ini tidak merusak keislaman mereka. Mereka tetap orang muslim.

Setelah mendengar wawancara di atas, Dr. Shojaei Fard, dosen ilmu mekanik di Universitas Elm va Shanat, berkata: “Wawancara ini sangat menarik untuk saya. Saya berusaha menghubungi Syaikh Thayyeb untuk berterima kasih kepadanya. Melalui telpon saya berkata kepada beliau, “Anda membela Syiah dengan sangat baik. Bahkan seorang ulama Syiah pun mungkin tidak akan melakukan pembelaan serupa. Minimal dia akan bersikap hati-hati. Tapi Anda berani mengatakan bahwa keyakinan kepada Abu Bakar dan Umar bukan bagian dari prinsip Islam”.

Syaikh Thayyeb berkata, “Saat Ayatullah Khamenei menghadapi Amerika dengan teguh dan membuat mereka bertekuk lutut dalam masalah nuklir, dan di sisi lain, Sayyid Hasan Nasrullah melawan Zionis dengan berani dan mengalahkan mereka dalam perang 33 hari, saya melihat mereka sebagai kebanggaan Islam. Amerika dan kawan-kawan nya berniat mencitrakan mereka sebagai Syiah radikal dan menyebut Syiah sebagai rafidhi dan non-muslim demi mengambil kebanggaan ini dari Dunia Islam.

“Supaya para pemuda kita merasa bahwa kebanggaan ini milik Islam, saya telah mengadakan 8 acara televisi untuk mengatakan bahwa Syiah adalah muslim, Syiah tidak berbeda dengan kita, dan Syiah adalah salah satu mazhab Islam.”

Bila melihat jejak hidupnya, tampaknya pemikiran moderat yang dimiliki oleh Mufti Negara Mesir (2002-2003) ini bersifat genetis dan sudah terbina sejak kecil. Seperti dikutip dari laman nu.or.id, “Ath-Thayyeb memiliki garis nasab yang baik. Bahkan jika dirunut, nasab Ath-Thayyeb bersambung kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Ayahnya Syekh Muhammad Thayyeb dan kakeknya Syekh Ahmad Thayyeb adalah seorang ‘aktivis.’ Mereka kerap kali mengadakan majelis perdamaian antar-suku di daerahnya. Sejak kecil hingga menjadi Grand Syekh Al-Azhar,Syekh Ath-Thayyeb sering menghadiri majelis yang digagas orang tuanya itu.”

Potensi yang luar biasanya ini kemudian diasah melalui serangkain pendidikan yang bermutu. Syekh Ath-Thayyeb mendapatkan gelar Sarjana (1969), Master (1971), dan Doktor (1977) dari Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Program studi yang diambilnya pun linier yaitu Akidah dan Filsafat.

Kemudian beliau melanjutkan studi ke Universitas Sorbonne Paris dan mendapatkan gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam bidang Filsafat Islam (1977-1988).

Selepas menyandang gelar doktor, Syekh Ath-Thayyeb diangkat menjadi dosen tetap di Universitas Al-Azhar. Sejak saat itu, Syekh Ath-Thayyeb tidak hanya mengajar di Al-Azhar saja, tapi juga di kampus-kampus luar Mesir seperti Universitas Islam Internasional di Islamabad Pakistan, Universitas Emirat, Universitas Qatar, dan Universitas Imam Muhammad bin Sa`ud di Riyadh.

Ketekunan, kiprah, dedikasi, dan sumbangsih Syekh Ath-Thayyeb dalam dunia akademis dan Islam menghantarkannya menduduki posisi penting, baik di kampusnya Al-Azhar atau pun di negaranya Mesir. Tercatat, Syekh Ath-Thayyeb menduduki posisi Mufti Negara Mesir (2002-2003), Rektor Universitas Al-Azhar (2003-2010), dan pada tahun 2010, beliau diangkat menjadi Grand Syekh Al-Azhar ke-48 hingga sekarang.

Sebagaimana kita ketahui, Grand Syekh Al-Azhar atau Imam BesarAl-Azhar adalah sebuah gelar bergengsi di dunia Islam Suni dan gelar resmi yang prestisius di negara Mesir. Orang yang menyandang gelar ini dianggap sebagian umat Islam (Suni) sebagai orang yang memiliki otoritas tertinggi dalam pemikiran Islam Suni dan fikih.

Di tengah karut marutnya situasi keamanan di kawasan Timur Tengah dan dunia Islam pada umumnya, kita bersyukur ada sosok seperti Syeik Ath-Thayyeb, yang mampu menjahit tenun keumatan kaum muslimin sedunia. Semoga Allah SWT senantiasa merahmati beliau dan memanjangkan umur beliau.

 

 

 

 

AL/Islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *