Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 04 February 2014

MENGAJI TANDA, MENGKAJI BENCANA


Nastco/Photos.com

AYAT pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad S.a.w. adalah: “Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS 96:1). Dalam bahasa Indonesia modern, kata imperatif “bacalah” itu memecah menjadi dua jenis: “mengaji” dan “mengkaji”.

Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko menempatkan kedua kata kerja itu di bawah kata dasar “kaji”. Dari kata dasar itu terbentuklah “mengaji” yang berarti “membaca, mendaras” (tentu yang dibaca/didaras adalah Al Qur’an) dan “mengkaji” yang bermakna “membahas, mempelajari, menelaah, menganalisis, menyigi”.

Perbedaan lain dari “mengkaji” dan “mengaji” adalah jika dari kegiatan pertama hasilnya berupa “kajian”, maka dari kegiatan “mengaji” hasilnya tidak menjadi “ajian”. Sebab “ajian” umumnya diasosiasikan dengan satu bentuk mantra, atau rapalan, yang berkaitan dengan satu kesaktian bela diri tertentu seperti ajian welut putih yang konon dimiliki Sultan Agung Tirtayasa, atau ajian lembu sekilan yang dimiliki anak buah Patih Gajah Mada. Ringkasnya, kosa kata “ajian” lebih mudah ditemukan di halaman cerita silat dibandingkan di halaman Al Qur’an.

Persoalan menjadi agak lebih pelik, ketika kita masih mudah menduga bahwa “pengkajian” pastilah berasal dari “kajian”.  Namun apakah “pengajian”, dengan logika yang sama, pasti berasal dari “ajian”? Padahal makna kata terakhir itu seperti terlihat di atas tak eksklusif terpaut pada ayat-ayat kitab suci? Maka, biarkanlah pertanyaan ini menjadi urusan para ahli bahasa sementara kita mengancik pada tema yang lebih menukik pada kaitan antara “tanda” dan “bencana”.

Al Qur’an menyebut satuan kalimat terkecil yang menyampaikan pengertian tertentu sebagai “ayat” (??????) dengan bentuk jamaknya “ayah” (?????). Dari beberapa arti yang dikandungnya seperti “mukjizat (mu’jizah)”, “pelajaran (‘ibrah)”, “sesuatu yang menakjubkan (al amrul ‘ajib), atau “tanda (‘alamah)” yang merupakan makna paling populer. Sehingga, frasa “mendaras ayat” memiliki maksud serupa dengan “mengaji tanda”.

Teori Semiotika yang dikembangkan C.S. Peirce mengembangkan teori Segitiga Makna (Triangle Meaning) yang terdiri dari tanda (sign), acuan tanda (object) dan pengguna tanda (interpretant) dalam memahami sebuah pesan. Jadi, seandainya seorang perempuan yang mengenakan jilbab lewat di depan sekelompok orang, maka mereka akan memahami “pesan yang disampaikan” sang perempuan bahwa dia adalah seorang muslimah.

Dalam Al Qur’an, salah satu tema “pesan yang ingin disampaikan” Allah agar dipahami manusia adalah menyangkut kisah-kisah kaum terdahulu.  Khususnya lagi, kisah kehancuran mereka.

Kaum Tsamud – kaum Nabi Shaleh a.s. — musnah setelah mendengar suara yang sangat keras dari langit (petir dan guntur yang sambar menyambar), sedangkan kaum ‘Ad – kaum Nabi Hud a.s. — binasa setelah dirajam angin dingin selama delapan hari tujuh malam tanpa henti, sehingga mereka mati bergelimpangan seperti batang kurma lapuk. Allah mengabadikan kehancuran kedua kaum itu dalam QS 69:4-7. Kaum Nabi Nuh lenyap dengan sapuan air bah yang menenggelamkan mereka satu per satu, tak ada yang tersisa, kecuali yang mengikuti anjuran Nabi Nuh a.s. untuk naik ke atas bahtera.

Apa kesamaan dari ketiga kaum yang mengalami “bencana ekologis” ini? Apakah karena mereka merupakan orang-orang yang tak bisa menjaga kelestarian alam, atau gagal menata lingkungan? Ternyata pandangan environmentalism tak menemukan landasan yang kuat dalam Al Qur’an.  

Sebab mustahil menjelaskan penyebab banjir besar di masa Nuh a.s. – yang disebut Ibnu Katsir sebagai “rasul pertama bagi penduduk bumi” — adalah karena adanya mismanajemen pengelolaan sampah, gagalnya pembuatan waduk sebagai pengontrol debit air, atau hal-hal teknis lain yang terkait dengan tidak lancarnya arus air menuju muara terakhirnya: laut. Apalagi mengingat jumlah penduduk bumi yang waktu itu masih sedikit. Karena itu dibutuhkan sebuah “tanda” lain untuk membuat kita, sebagai pembaca tanda-tanda, agar paham mengapa kehancuran kaum Nuh terjadi.

Al Qur’an menjelaskan bahwa penyebab datangnya air bah yang mendadak itu (kira-kira seperti pengertian “banjir bandang” sekarang, namun dalam skala yang lebih mengerikan dari yang bisa dibayangkan), terkait dengan keyakinan mereka yang mulai mencampuradukkan kepercayaan terhadap Tuhan dengan kepercayaan terhadap  lima orang saleh seperti Wadd, Suwa’a, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr, yang mereka buatkan patungnya dan mereka sembah, setelah kelimanya meninggal. Tersebab kesalahan itulah mereka ditenggelamkan (QS 71:23-25), bukan karena faktor-faktor kegagalan mengelola alam dan lingkungan.  

Begitu juga dengan kejadian yang menerpa kaum ‘Ad yang hidup di zaman Nabi Hud. Mereka adalah generasi  pertama yang menyembah berhala setelah kejadian banjir besar. Pengajaran Hud agar mereka menghentikan penyembahan terhadap tiga berhala utama: Sadd, Samud, dan Hera, dan kembali menyembah Allah pencipta alam semesta, sama sekali tak diindahkan kaum ‘Ad. Mereka bahkan balik menuduh Hud a.s. sebagai “orang yang kurang waras dan pendusta” (QS: 7:66). Sikap kaum ‘Ad seperti itulah — bukan akibat kecerobohan mereka menjaga lingkungan — yang menyebabkan Allah membuat “anomali cuaca” dengan datangnya angin dingin yang sangat menyiksa selama sepekan tanpa henti.

Sementara kaum Tsamud yang mahir memahat gunung-gunung batu sebagai rumah-rumah tempat tinggal mereka yang indah, tangguh, dan mencengangkan, mengulangi apa sikap kaum ‘Ad yang hidup sebelum mereka dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menantang Nabi Shaleh yang mereka cap “… salah seorang dari orang-orang yang kena sihir.” (QS 26:153) untuk membuktikan kerasulannya dengan meminta agar dari sebuah batu besar dikeluarkan seekor unta betina bunting dengan ciri-ciri fisik yang mereka persulit. Semua itu dilakukan untuk mempermalukan Nabi Shaleh. Namun ketika atas izin Allah, Shaleh a.s. bisa membuktikan apa yang mereka minta, kaum itu lantas menganiaya unta betina itu.

Jadi, bukan perilaku kaum Tsamud yang gemar memahat gunung-gunung batu sebagai tempat tinggal itu yang mendatangkan “kemarahan alam” dalam bentuk rantai petir dan guntur sambar menyambar sehingga membuat kaum itu tewas dalam wajah pucat akibat ketakutan yang sangat, melainkan karena sikap melampaui batas yang mereka tunjukkan dalam menanggapi risalah ilahiah yang disampaikan Shaleh a.s. itulah yang mendatangkan murka Allah.

Tiga “tanda” yang disampaikan Al Qur’an lewat kisah-kisah di atas mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam menafsirkan bencana alam yang terjadi susul menyusul, termasuk seperti yang belakangan terjadi di tanah air. Karena itu, mengkaji bencana hanya dari perspektif environmentalisme — yang seakan-akan ingin membebaskan diri dari adanya campur tangan Allah — adalah sebuah penjelasan ahistoris bagi mereka yang cermat membaca “tanda-tanda”.

Dalam konteks ini, “mengkaji bencana” dan “mengaji tanda” menjadi satu kesatuan yang mutlak dilakukan. Yang satu memperkuat yang lain. Dari masa ke masa. Dari saat dunia hanya dihuni oleh segelintir kepala, sampai kini disesaki milyaran jiwa.

Sebab bencana adalah salah satu tanda yang ditunjukkan Allah dengan penuh cinta kepada manusia, untuk selalu menakar kadar ketaatan terhadap risalah-Nya. Untuk selalu tunduk tulus menjaga diri agar tak melewati batas.  

 

*Akmal Nasery Basral, novelis, cerpenis, kolumnis, pengajar mata kuliah Penulisan Fiksi di Akademi Literasi dan Penerbitan Indonesia (ALINEA), Ikapi Pusat. Akun Twitter: @akmal_n_basral

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *