Satu Islam Untuk Semua

Friday, 20 December 2019

Menengok Kamp Pelatihan Muslim Uighur di Xinjiang, Kesaksian Delegasi Muhammadiyah


islamindonesia.id – Menengok Kamp Pelatihan Muslim Uighur di Xinjiang, Kesaksian Delegasi Muhammadiyah

Jauh hari sebelum isu tentang Muslim Uighur di Xinjiang kembali mencuat di tanah air, Muhammadiyah melalui delegasinya ternyata pernah mengunjungi kamp pelatihan Muslim Uighur di Urumqi, Ibu Kota Provinsi Xinjiang, Tiongkok, pada Februari lalu.

Selain Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU) juga merupakan organisasi dari Indonesia yang diundang langsung oleh pemerintah China untuk melihat langsung kondisi Muslim Uighur di sana.

Sekretaris PP Muhammadiyah, Agung Danarto, mengungkapkan bahwa PP Muhammadiyah memang mengusulkan ke pemerintah China untuk membuka akses untuk melihat orang-orang Uighur.

“Di samping ini kan juga usulan PP Muhammadiyah, jadi setelah kunjungan ke Tiongkok kemudian mereka datang ke kantor PP Muhammadiyah, untuk membuka akses, dan kita diundang untuk datang ke sana dan menyaksikan langsung,” kata Agung di Graha Suara Muhammadiyah, Senin (4/3), sebagaimana dilansir dari Suara Muhammadiyah.

Selain Agung, Delegasi Muhammadiyah lainnya yang berangkat yaitu Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo, Lembaga Hubungan Luar Negeri Sudibyo Markus, dan Ketua Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah M Ziyad.

Selain mereka, turut berangkat juga Syafiq A Mughni, Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP).

Delegasi Muhammadiyah di Kamp pelatihan Uighhur, Xinjiang, China. Foto: Suara Muhammadiyah

Menurut Agung, Uighur merupakan etnis di Provinsi Xinjiang yang memang penduduknya mayoritas Muslim, dengan total penduduknya sekitar 16 juta jiwa. Namun tidak semua Uighur adalah Muslim, misalnya di kota Hotan yang penduduknya 2 juta orang, etnis Uighurnya mencapai 98% populasi, sementara itu Muslimnya hanya 72 %.

Dan di kota Kashgar, penduduknya 4,5 juta orang, etnis Uighurnya ada 97%, sementara Muslimnya hanya sekitar 52 %.

Agung menyampaikan, kunjungan pada pertengahan Februari tersebut berlangsung selama sepekan. Xinjiang Terletak di ujung barat Tiongkok, sekitar 3.308 km dari Ibu Kota Beijing. Berbatasan dengan Mongolia, Rusia, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India. Para delegasi dipersilahkan mengunjungi kamp yang oleh pemerintah China disebut sekolah vokasi pembinaan untuk deradikalisasi.

“Kalo di kampnya bagus, di kampnya itu pertama mereka diberi keterampilan life skill, macam-macam di situ, ada perternakan, ada pertanian, ada perhotelan, ada restoran, ada masak–memasak, ada otomotif. Ada macam-macam, dilatih seperti itu. Bahkan musik, nyanyi dan lain sebagainya diajarkan di situ,” ungkap Agung.

Xinjiang, lanjutnya, kebetulan merupakan provinsi paling miskin di Tiongkok. Maka dengan adanya kamp tersebut, selain sebagai tempat untuk deradikalisasi, juga sebagai upaya untuk menaikkan kualitas SDM dan daya saingnya.

Para delegasi mengunjugi dua kamp dari tujuh kamp yang ada. “Kira-kira ada 3 ribu orang setiap kamp,” imbuhnya.

Menurutnya, dari segi tempat, kamp, asrama, dan ruang kelasnya, nyaman dan sangat layak sekali, tidak seperti penjara. Para peserta sekolah vokasi tinggal di kamp dari Senin sampai Jumat, dan pada Sabtu dan Minggu mereka boleh pulang. Lamanya mengikuti sekolah vokasi ada yang enam bulan, satu tahun, dan ada yang sampai 1,5 tahun.

Agung mengatakan, dalam konstitusi China warga negara diberi kebebasan untuk beragama atau tidak beragama. “Mau beragama apa saja boleh, mau tidak beragama juga gak apa-apa, tapi fasilitas milik negara tidak boleh digunakan untuk kegiatan keagamaan termasuk beribadah,” kata Agung.

Sementara itu, katanya, di Xinjiang konon terdapat 23.000 masjid. Delegasi sempat melaksanakan salat Jumat di Hotan, di sebuah masjid yang kira-kira jamaahnya ada 500 orang.

Delegasi juga bertemu dengan Asosiasi Muslim Tiongkok, baik ketika di Beijing, Urumqi, Hotan dan Kashgar. Mereka menyampaikan, di Xinjiang ada 27.000 imam yang digaji negara dan bersertifikasi.

“Sebenarnya perhatian pemerintah itu sebenarnya ada, dan kalau kita lihat sikap terhadap Muslim Uighur ini berbeda dengan Tiongkok Timur seperti Guangzhou, Shenzhen, dan lainnya. Kelihatannya Tiongkok di bagian timur situ tidak ada masalah, mahasiswa-mahasiswa kita yang di sana mengatakan ‘kita salat di kampus, kita salat Ashar di kampus tidak ada masalah,’,” urai dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.

Selain itu, delegasi diajak ke museum deradikalisme yang menampilkan foto-foto peristiwa terorisme, radikalisme serta artefak-artefak seperti granat, senapan, termasuk tabung gas yang diledakkan untuk teror.

“Jadi sejak tahun 2000 sampai 2015 itu puluhan kali terjadi terorisme, entah itu meledakkan bom di bis, di pasar, di jalan, dan lain sebagainya,” kata Agung, “sehingga tampaknya Tiongkok itu memiliki trauma tersendiri terhadap terorisme dan separatis itu.”

Agung mengungkapkan radikalisme dan terorisme merugikan dakwah Islam secara keseluruhan, tak terkecuali di beberapa tempat yang Muslimnya minoritas, yang mana membuat mereka menjadi berat dan susah.

Sehingga pendekatan yang dilakukan pemerintah Tiongkok merupakan pendekatan keamanan. “Tiongkok ini kan ada dua daerah otonom yang bermasalah, Xinjiang dan Tibet,” pungkasnya.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Antara/M. Irfan Ilmie

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *