Meneladani Nabi Soal Marah
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabi yang Mulia Muhammad SAW pernah marah kepada salah seorang sahabatnya yang bernama, Muadz bin Jabal RA yang mengimami jamaah dengan bacaan surat yang terlalu panjang, dan Rasul SAW pun berkata : “Pembawa Fitnah.. pembawa fitnah..pembawa fitnah..!” (Shahih Bukhari hadits no.669). Dilain riwayat dikisahkan, datang seseorang kepada Rasul SAW mengadukan bahwa ia tak mau lagi ikut shalat berjamaah karena bacaan shalatnya terlalu lama, maka Rasul SAW naik ke mimbarnya dan belum pernah beliau marah seperti saat itu, seraya berkata : “mana diantara kalian yang membuat orang menjauh dari Islam..??, siapapun diantara kalian mengimami agar meringankannya, karena diantara kalian orang lemah, diantara kalian orang tua, diantara kalian ada yg mempunyai hajat kesibukan lain” (Shahih Bukhari hadits no.670).
Seperti yang kita ketahui, Nabi Muhammad SAW dikenal dengan sifatnya yang sangat sabar. Marahnya nabi pun sangat beralasan dan tergolong manusiawi, karena nabi juga manusia. Namun, sebagai makhluk yang maksum, Allah SWT selalu melindungi nabi dari sifat marah yang berlebihan. Dan sifat keilahian kepada seorang nabi juga menjadi pengawal perilaku Muhammad SAW menjadi manusia mulia dan suri teladan bagi umat manusia.
Maka, marah bukan merupakan sifat yang bisa dihindari. Namun, marah yang tidak beralasan haruslah sebisa mungkin kita hindari. Karena ketika seseorang yang sedang marah akan hilang kewarasan fikirannya. Pertimbangan atas akibat yang ditimbulkan tidak difikirkan lagi. Kadang sikap pemarah bukan hanya bisa menimbulkan permusuhan, namun bisa membuat seseorang terjerembab dalam stigma negatif dilingkungannya.
Seorang pemimpin yang pemarah, bukan hanya membuat rakyatnya takut, menjauh dan tidak menaruh kepercayaannya lagi, namun juga bisa membuat lahirnya bibit-bibit perpecahan dan radikalisasi. Seorang ulama, kyai, ustad yang pemarah, bisa membuat jamaahnya kabur dan umat tidak percaya lagi. Tidak hanya itu, yang tidak kalah penting, adalah munculnya sikap antipasti terhadap pesan Islam yang dibawanya.
Perasaan marah dapat diatasi dengan mengikuti beberapa panduan yang ditunjukkan oleh Islam, yaitu; per tama, hendaklah melatih diri dengan akhlak yang mulia seperti sabar, lemah lembut, berhati-hati dalam membuat keputusan. Sifat ini hendaklah mengambil contoh yang paling baik dan pernah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW terutama contoh yang terdapat dalam Sunahnya yang bersifat amali. Saat muncul rasa marah hendaklah mengawali dengan berusaha menguasai diri dan ingat akibat buruk yang akan menimpa, ingat pula kelebihan pahala orang yang menahan marah serta memaafkan, firman Allah S.W.T: “Dan orang yang menahan kemarahan-nya, dan orang-orang yang memaafkan kesalahan orang. Dan (ingatlah) Allah mengasihi orang-orang yang berbuat perkara-perkara yang baik.” (Ali Imran (3):134).
Cara menghadapi rasa marah selanjutnya adalah dengan memohon kepada Allah supaya menjauhkannya daripada syaitan yang dilaknat. Dalam Al-Quran disebut kan: “Dan jika engkau dihasut oleh sesuatu hasutan daripada syaitan, maka mintalah perlindungan kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat Mendengar lagi Amat Mengetahui.” (al-A’raf :200).
Kemudian, tinggalkanlah tempat yang menyebabkan seseorang itu marah. Sabda Baginda Rasulullah: “Apabila seseorang kamu marah, sedang dia berdiri, maka duduklah, jika marahnya berhenti (maka baiklah) jika belum, maka hendaklah dia berbaring.” (HR Abu Daud). Dan cara terakhir adalah dengan mengambil wudhu, sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya marah itu dari syaitan. Syaitan itu dijadikan daripada api,apabila kamu marah, maka hendaklah dia mengambil wuduk.” (HR: Abu Daud)
Sejatinya, sebagai umat Muhammad SAW, kita diwajibkan untuk mencontoh dan meneladani sifat-sifat Beliau. Kita, seperti yang disebutkan oleh Nabi, adalah pendidik bagi generasi setelahnya. Artinya kita harus bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita untuk menjadi pribadi yang sabar dan tidak pemarah.
Leave a Reply