Satu Islam Untuk Semua

Friday, 07 March 2014

Masjid Pitung Riwayatnya Kini


foto:Eko Yudha

Marunda adalah pertautan legenda dan cerita nyata. Di kawasan yang terbilang tua itu, beberapa situs sejarah berserakan dan seolah menunggu ditata.

 

Siang yang mendung di kawasan paling timur Jakarta Utara. Haji Attid Fawzi (54) termenung di sebuah sofa berwarna jingga. Keningnya berkerut. Tatapannya seolah ingin menembus kaca jendela. Sementara itu di pekarangan, bunyi kecipak air banjir pasang riuh dipermainkan para bocah.Bersanding dengan suara musik dangdut di rumah tetangga.

”Ane kagak paham,dulu memang sering banjir tapi kagak sebanyak dan sejauh ini naiknya,” katanya lirih. Sesekali tangan tua itu mengusap dada yang terbungkus kaos usang bergambar Fawzi Bowo, mantan Gubernur DKI Jakarta.

Sudah beberapa waktu Pantai Marunda disambangi banjir. Air pasang naik menutupi jalan-jalan kecil hingga sebatas lutut orang dewasa. Tak ada penjelasan resmi dari pemerintah daerah soal penyebab air laut hingga ”piknik” ke kawasan padat penduduk.Namun menurut Haji Attid, mereka hanya bisa menerka maraknya pabrik dan diurugnya empang alam untuk pembuatan rumah susun jadi gara-gara utama.

Sebagai salah satu kawasan tua di Jakarta, Marunda memang hampir putus digerus roda zaman. Selain lingkungan alam yang mulai tidak nyaman, tingkat keperdulian sebagian masyarakatnya terhadap aset sejarah juga terhitung kurang.

Lihat saja nasib Masjid Al Alam II.Situs sejarah yang konon dibangun pada 1526 oleh Fatahillah dan balatentara gabungan Demak-Cirebon itu, terkesan kurang terawat.Itu dibuktikan dengan serakan sampah plastik di halaman serta lantai depan masjid yang sedikit dipenuhi butiran pasir laut.

Kendati demikian, bukan berarti Masjid Al Alam II miskin sentuhan perawatan sama sekali.Setidaknya saat saya berkunjung ke sana, beberapa penduduk dan peziarah masih memperlihatkan kepeduliannya. Sebagai contoh M. Sambo Ishak (65) dan Ramli Bancil (52) misalnya. Bersama 6 peziarah dari luar kota, mereka berdua bahu membahu memperbaiki pintu gerbang masjid yang sudah rusak. ”Kite kagak dibayar. Bayarannya nanti langsung dari Allah,”kata Sambo sembari telunjuk tangan kanannya menunjuk langit di atas Marunda.

Sambo mengungkapkan Masjid Al Alam II memang sudah sedikit berubah dibanding aslinya dulu. Itu terjadi dikarenakan masjid bercorak campuran Jawa, Cina, Eropa dan Arab itu sudah mengalami sekitar 7 kali renovasi. Mungkin yang masih dianggap asli adalah 7 lubang angin yang terbuat dari batu giok berwarna hijau kebiruan dan tiang-tiang utama penyangga.”Umurnya sudah rausan tahun,”ujar salah satu pengurus Masjid Al Alam II itu.

Sejak pembangunannya, Al Alam II menjadi tempat yang sarat sejarah. Menurut Dr. F. De Haan dalam Oud Batavia, pada 1628,sebuah ekspedisi militer Kerajaan Mataram di bawah Tumenggung Bahurekso pernah menjadikan Al Alam II sebagai basis awal penyerangan ke Batavia. Pengaturan strategi perang dan penggemblengan para serdadu konon dilakukan di kawasan itu.

Berjarak sekitar 200 meter dari Al Alam II, di kawasan Marunda Pulo, terdapat sebuah rumah panggung yang dikenal sebagai Rumah Si Pitung. Itu adalah nama seorang perampok budiman yang namanya dihormati oleh masyarakat Betawi dan ditakuti oleh Belanda.

Tapi hampir sebagian besar masyarakat Marunda secara diam-diam menolak anggapan itu ”Ini kisah yang salah kaprah, sebenarnya itu rumah sama sekali kagak ada kaitan ape-ape ame Bang Pitung,”kata Sambo. Hal yang sama juga diamini oleh Haji Attid.

Bisa jadi keyakinan Sambo, Attid dan sebagian masyarakat Marunda ada benarnya. Menurut budayawan Betawi, SM.Ardan, rumah panggung itu aslinya kepunyaan Haji Safiuddin,seorang juragan kapal ikan kaya raya yang diperkirakan berasal dari Bugis.”Dihubungkan dengan Si Pitung, karena rumah itu dulu pernah dirampok oleh dia dan kelompoknya,”tulis Ardan dalam sebuah makalah berjudul Tiap Utan Ade Macannye.

Ardan sendiri mengakui pernyataannya itu didasarkan kepada disertasi seorang sejarawan Belanda bernama Margreet van Till, In Search of Si Pitung the History of an Indonesia Legend (1996). Dalam tulisannya, Van Till mengemukakan bahwa cerita tentang Si Pitung bukan sekadar legenda.

Buktinya, sebuah surat kabar Belanda bernama Hindia Olanda dalam rentang Juni 1892- Oktober 1893 pernah memuat tentang sepak terjang jawara Betawi itu. Mulai dari aksi-aksinya hingga sampai tewasnya dia diterjang peluru seorang marsose bernama Van Hinne.

Marunda memang tempat yang sarat akan kisah-kisah tua. Di sana legenda dan kisah nyata berbaur menjadi berbagai cerita. Dan hampir dipastikan semua orang Marunda hapal betul seluk beluk cerita itu, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau mistis. Tapi kalau anda bertanya soal waktu dan tokoh sebuah peristiwa yang pernah terjadi di sana, dijamin yang muncul adalah kening berkerut diiringi gelengan kepala, tanda ketidakpahaman. Ya, seperti ketidakpahahaman Haji Attid pada bajir air pasang yang muncul begitu saja di Marunda.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *