Satu Islam Untuk Semua

Monday, 20 January 2014

Lesbumi, Jembatan Ulama-Seniman


Foto:buku Lesbumi, Strategi Politik Kebudayaan

Bagaimana para seniman berkiprah di lingkaran kaum nahdliyin

 

“Sejarah itu seperti spiral, selalu berulang dan selalu maju ke depan”, kata sejarahwan Kuntowijoyo.  Ia benar, khususnya dalam konteks  kaitan film dan seni budaya pada umumnya dengan umat Islam di Indonesia.  Hingga kini, masih banyak isu-isu seputar sinema dan umat Islam yang sebenarnya sudah terjadi di–  dan sekadar pengulangan dari– masa lalu.

Dan contoh paling tepat untuk mengilustrasikannya adalah sepak terjang  Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) milik Nahdhatul Ulama (NU).  Organisasi yang kurang didalami pengkaji film dan keislaman ini memulai wacana seputar Islam dan seni-budaya. Salah satu akademisi yang menulis hal ini adalah Choirotun Chisaan, misalnya  dalam kumpulan tulisan Heirs to the World :Being Indonesian 1950-1965 suntingan Jennifer Lindsey dan Maya H.T. Liem(yang bisa diunduh gratis di sini: http://www.kitlv.nl/book/show/1307) dan  buku Lesbumi, Strategi Politik Kebudayaan. Tulisan ini berhutang pada kedua tulisan itu.

Lesbumi didirikan di Bandung pada 28 Maret 1962 dengan ketua umum pertama Jamaludin Malik, orang nomor satu Persari (Perseroan Artis Indonesia) yang acap disebut “Bapak Industri Film Indonesia”. Di sana berkumpul  para tokoh film: Usmar Ismail (“Bapak Film Indonesia”), Asrul Sani (pemikir kebudayaan kelas wahid), hingga  Misbach Yusa Biran (sejarahwan, penulis, filmmaker) yang menjabat sebagai Ketua Komda Jakarta, salah satu cabang Lesbumi paling aktf saat itu.

Mengapa  tokoh besar seperti Usmar Ismail dan   Asrul Sani, yang dari tulisan-tulisannya tidak terlalu “Nahdiyyin”,  mau bergabung dan bekerja dalam naungan Lesbumi? Pak Misbach, saat saya silaturahmi ke rumahnya, menyatakan bahwa organisasi kebudayaan ini adalah yang terbesar yang mampu menandingi kiprah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyar) dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional),serta PKI secara umum. Saat itu,  gerakan kiri dengan slogan “politik adalah panglima” menghantam siapa saja yang tidak sehaluan dengannya  dengan cap “anti-revolusi” dan semacamnya, termasuk pemboikotan film-film Hollywood. Dan mereka sangat merajalela khususnya setelah Masyumi, partai Islam terbesar, dan Partai Sosialis Indonesia, dibubarkan pada Agustus 1960.  “Saya bukan orang NU, tapi karena saya anti komunis, saya bergabung ke Lesbumi”, jelas Pak Misbach kepada saya.

Intinya, Lesbumi yang kental dengan spirit humanisme religius  menolak semangat   “seni untuk seni”, dan “politik sebagai panglima”. Alih-alih berkiblat pada isme tertentu, mereka menyatakan  ”agama sebagai kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan..”. Ia berhasil membendung pengaruh komunisme.

Tapi ada lagi yang tak kalah penting: Lesbumi menjadi jembatan antara seniman (yang curiga bahwa agama akan membatasi, menghambat, dan menghakimi karya-karya mereka) dan ulama (yang resah atas  kebebasan para seniman yang, ditakutkan, akan kebablasan).Lesbumi lahir saat fiqh seni belum diformulakan pada kaum nahdiyyin. Ia adalah ‘penanda kemodernan penting’ di tubuh NU sekaligus dianggap sebagai ‘kurang menjaga martabat NU’.

Kala itu, seni budaya adalah ranah baru dalam tubuh Islam tradisional, dan Islam secara umum.  Usaha menjadi jembatan ini adalah jalan bagi terwujudnya misi  terpenting Lesbumi:  pendefinisan ‘agama’ sebagai unsur mutlak dalam nation-building yang sedang dijalankan Pemerintahan waktu itu, khususnya di bidang kebudayaan. Karena itulah, dalam Musyawarah Besar I Lesbumi pada 1962, mereka perlu  menggarisbawahi  “demi kepentingan bangsa dan agama, para ulama, seniman, dan budayawan muslimin Indonesia memelihara hubungan yang sebaik-baiknya”. Usmar Ismail, dalam ajang itu, menegaskan bahwa kewajiban pertama mereka adalah ”…mengkikis habis syak-wasangka dan prasangka antara kaum alim ulama dan kaum seniman muslimin,” seraya mengingatkan peserta muktabar bahwa   kegairahan daya cipta seniman harus disalurkan dengan jalan yang sesuai dengan ajaran Islam “dengan tiada memaksakan suatu kehendak terhadap mereka atau pun memperkosa perasaan kebebasan yang mutlak mereka rasakan untuk mencari kebenaran hakiki”. 

Sementara itu, di acara yang sama, Asrul Sani menggarisbawahi bahwa  kaum Nahdiyyin harus mempelajari bahasa kaum seniman, yaitu bahasa kebudayaan. Lebih dari itu, Asrul juga mengajak anggotanya untuk  “menciptakan karyawan-karyawan teater dan film yang berjiwa Islam.” Artinya, bisa dua hal: “sekali pun kami seniman, kami Muslim!” dan “mari, para seniman, miliki jiwa Islam” .

Lesbumi, sebagai gerakan politik budaya, telah memulai diskursus-diskursus penting ini, dari urusan halal-haram hingga pandangan-dunia. Di awal 1960an, ia juga sudah  menegaskan bahwa kaum seniman dan budayawan seharusnya bisa lebih berperan pentingdalam pembangunan bangsa dan agama.Dan  para tokoh pentingnya berasal dari dunia perfilman.  Mari kita lihat dan renungkan kondisi hari ini: berapa sering wacana (juga praktik kreativitas) film dan budaya pop dianggap penting di kalangan agamawan, atau sebaliknya? berapa banyak diskusi soal film dan budaya  dan agama melewati perihal fiqih-syariat, atau topik-topik kontroversial? 

 

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri  sekaligus redaktur rumahfilm.org  itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris Raya.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *