Satu Islam Untuk Semua

Monday, 17 March 2014

Kritik Jakatarub terhadap MUI


beritasumut.com

Pluralisme itu membiarkan kerbau jadi kerbau, sapi jadi sapi. Kalau memaksakan itu, maka singularisme, bukan pluralisme—Emha Ainun Nadjib.

 

Pada tahun 2005 silam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang diharamkannya pluralisme. Sebab, dianggap sebagai penyatuan agama-agama dan menyebabkan iman seseorang menjadi tipis.

Namun, hal ini, menurut ketua umum Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub), Wawan Gunawan, tidak sesuai dengan Indonesia yang sejak dulu sudah tertanam nilai-nilai toleransi dan pluralisme. Sehingga, kedua hal tersebut merupakan suatu keniscayaan dan tidak bisa dipisahkan dari negeri ini.

“Pertama, MUI harus jelas memberikan definisi pluralisme. Justru menurut kami, para aktivis interfaith beragama, seperti apa yang dikatakan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib-red) membiarkan kerbau jadi kerbau, sapi jadi sapi. Kalau memaksakan itu, maka singularisme, bukan pluralisme,” kata Wawan saat ditemui redaksi Islam Indonesia pada Minggu (16/03) di Bandung.

Kedua, lanjut Wawan, MUI harusnya memasukkan para penggiat pluralisme ke dalam epistemologi dalam membangun definisi pluralisme itu. “Haramnya pluralisme, kata MUI karena adanya penyatuan agama-agama. Imannya jadi tipis, tapi kami tidak melakukan itu. Justru pluralisme itu menegaskan perbedaan. Tapi dalam penegasan itu, kami sama-sama melakukan kerja-kerja positif,” ujarnya.

 “MUI itu kan posisinya ormas seperti Muhammadiyah, NU, tapi kenapa bisa mengintervensi negara. Tugas mereka itu fasilitaor, mediator, dan regulator di masyarakat,” tegasnya.

Wawan menilai bahwa Indonesia perlu mengadakan diskusi yang bukan hanya dilakukan secara berdialog, tapi juga dengan saling berinteraksi langsung. Sehingga, salah satu program Jakatarub yaitu dengan mengadakan interfaith.

“Bentuk perluasan itu dilakukan pada nilai-nilai pluralisme, toleransi dan kemanusiaan, visi misi Jakatarub pada saat mereka (anggota interfaith-red) pulang ke daerah bisa juga membuat hal serupa, namanya gak usah Jakatarub, tapi apa saja,” kata Wawan.

“Seperti di Tasik, namanya Kompas Iman (Komunitas Pemuda Lintas Iman), di Garut bermitra dengan Jogja namanya jaringan Gusdurian, di Sukabumi namanya Lensa, di Cirebon namanya Pelita, dan lain-lain,”

Saat ini, menurut Wawan, dilihat dari berbagai pantauan, bahwa Jakarta merupakan rangking pertama sebagai daerah yang memiliki kasus antar umat beragama tertinggi. Sementara Jawa Barat, ada di posisi kedua. 207 Perda di Jawa Barat mendiskriminasikan perempuan.

Sayangnya, lanjut Wawan, isu pluralisme ini belum menarik masyarakat, beda dengan isu seperti lingkungan, gender, dll. “Pluralisme dianggap sangat sensitif, bisa membuat iman seseorang lemah. Padahal, kita merasa menganut agama tertentu setelah kita mengenal agama lain. Sensitifitas masyarakat terhadap agama, bukan isu yang bagus, bukan isu yang baik. Jadi masyarakat masih enggan menanggapi serius perihal pluralisme ini.”

Selain itu, Wawan juga mengatakan bahwa menurut penelitian yang dilakukan oleh Siti Nadroh, konflik agama yang terjadi di muka bumi ini karena diakibatkan oleh dua hal, pertama truth klaim, dan kedua karena masing-masing agama besar punya ajaran misi dakwah.

“Nah, Jakatarub meluruskan versi dakwanya dengan membuat orang beragama masing-masing shaleh dalam agamanya. Islam semakin shaleh dengan islamnya, Kristen semakin shaleh dengan kekristenannya, Hindu shaleh dengan kehinduannya dan sebagainya. Karena setiap agama tidak ada yang mengajarkan keburukan,” katanya.

Sehingga, dasar aktivitas Jakatarub ini, lanjut Wawan adalah agama,  “Tentu orang-orang yang ikut di situ orang-orang beragama. Kami saling menguatkan. Mengenalkan ide-ide, bukan cuma Islam saja, tapi teman-teman agama lain juga ikut serta, karena mereka juga punya ketakutan terhadap agama lain.”

Sebab, “Keyakinan itu urusan paling privasi bagi seseorang. Jadi tidak bisa diawasi. Negara boleh turun tangan jika keyakinan seseorang itu mencelakakan orang lain,”

Saat ditanya tentang bagaimana tanggapan Jakatarub terhadap orang-orang yang mengatakan sesat terhadap kegiatan mereka yang dilakukan di rumah-rumah ibadah, seperti gereja, Wawan menjelaskan,

“Gereja itu kan punya gedung yang banyak, kita diskusi di aulanya. Beberapa kali kita ikut ke gereja pun tidak secara otomatis masuk jadi Kristen. Pindah agama tidak semudah itu. Masuk ke gereja tidak kemudian serta merta mengubah iman. Seperti kita mahasiswa A, masuk ke kampus B tidak secara otomatis kita menjadi mahasiswa B.”

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *