Satu Islam Untuk Semua

Monday, 11 May 2015

Kontroversi ‘Sabdaraja’, Sultan: Zaman sudah Berubah


Sejak dinobatkan sebagai Raja Keraton Yogyakarta 26 tahun yang lalu, Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Sabdaraja yang pertama kalinya, sebagai titah raja, pada 30 April 2015.

Isinya memuat pengumuman perubahan nama gelar sultan dan dihapusnya kata khalifatullah. Selain itu, Sabdaraja meniscayakan ikut berubahnya sendi utama kerajaan yang sebelumnya berpijak pada isi perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan.

Belum cukup seminggu kemudian, pada 5 Mei 2015, Sabdaraja II keluar. Isinya menyatakan gelar putri tertuanya, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, berubah menjadi Gusti Kanjeng Ratu Makubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng in Mataram. Nama ini sama dengan Sultan Hamengku Buwono X sebelum dinobatkan sebagai raja.

Prosesi keluarnya Sabdaraja ini dilaksanakan di Sitinggil-Keraton dan hanya dihadiri oleh krabat Keratondan internal Keraton. Dalam proses bersejarah itu, Sultan mengenakan pakaian kebesarannya yang berwarna hitam dan kupluk berwarna biru persis sebagaimana ketika ia diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya.

Meskipun digelar secara tertutup, isi Sabdaraja dengan cepat menyebar ke masyarakat diikuti dengan berita ketidakhadiran adik-adik Sultan yang akhirnya diketahui menolak isi Sabdaraja. Ketika dikonfirmsi oleh wartawan tentang ketidakhadiran adik-adiknya dalam prosesi itu, Sultan mengklaim telah mengundang tapi adik-adiknya juga tidak datang.

“Saya panggil dua kali nggak datang, yo nggak apa-apa” jawab Sultan yang merangkap sebagai Gubernur Yogyakarta.

Polemik internal Keraton ini pun menjadi sorotan masyarakat Yogyakarta secara umum. Meskipun Sultan tidak menjelaskan rincian maksud Sabdaraja, dengan alasan “bukan untuk konsumsi publik”, opini publik cenderung mengarah pada pewarisan kepemimpinan pada perempuan yang tidak pernah terjadi dalam sejarah Keraton. Perempuan yang dimaksud adalah putri tertua Sultan, GKR Pembayun, yang kini bernama GKR Mankubumi.

Keluarnya dua Sabdaraja dinilai membuka peluang bagi putrinya menjadi Ratu yang memimpin Yogyakarta di kemudian hari, sekaligus menjadi pemicu pro dan kontra di internal keranton sendiri karena dianggap mengabaikan tatanan (paugaran) Keraton. “Raja Yogyakarta, sejak awal berdirinya Keraton tidak pernah mengalami perubahan dan telah ditetapkan seperti itu. Yogyakarta punya tatanan dan paugeran seperti yang selama ini berlaku turun temurun. Jika diubah, instiutusinya bukan lagi Yogyakarta tapi ada Keratonbaru yang dipimpin raja baru,” kata GBPH Yudhaningrat, adik Sultan yang menolak Sabdaraja.

Sebagai bagian institusi pemerintahan daerah dan budaya, polemik internal Keraton diharapkan tidak berdampak negatif bagi masyarakat Yogyakarta. Harapan masyarakat menurut Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta, Sugeng Bayu Wahyono, polemik di Keraton segera berakhir karena masyarakat mengharapkan tata titi tentrem. Dampak negatif ini dikhawatirkan karena, menurut Sugeng, tidak setiap masyarakat dapat memahami isi Sabdaraja yang sebenarnya hanya ditujukan untuk internal Keraton. Keraton sebagai institusi yang masih eksis dan aktif hingga kini, bukanlah institusi yang jumud. Meskipun dalam catatan sejarah tidak pernah ada ratu, namun pesan Sabdaraja ialah Keraton tidak tertutup dari perubahan yang terjadi di zamannya.

Sebagaimana dikutip dari KRjogja.com, Sugeng mengatakan “Keraton selalu bersifat terbuka dan dinamis terhadap perkembangan politik, jadi sangat mungkin Keraton dipimpin seorang Ratu”.

Dalam penjelasannya tentang isi Sabdaraja yang menuai banyak tanda tanya dan kontroversi, Sultan menjelaskan perubahan itu sebagai penyesuaian era baru Kerjaan Mataram. Menanggapi berakhirnya perjanjian Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pamenahan sebagai perintis Mataram, Sultan mengatakan dalam bahasa Jawa, “Saya kebagian tidak ingin melanjutkan perjanjian, kira-kira seperti itu. Saya dapat zaman yang baru yang sudah berubah”.

Edy/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *