Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 30 January 2020

Kisah Perempuan Kristen di Ambon Merindukan Tetangganya yang Muslim


islamindonesia.id – Kisah Perempuan Kristen di Ambon Merindukan Tetangganya yang Muslim

Othe Patty, seorang umat Kristen, sangat rindu pada tetangga Muslimnya yang tinggal di Batu Merah, kampung tempat terjadinya tragedi berdarah di Ambon, yang meletus pada 19 Januari 1999. Othe, 58 tahun, merupakan satu di antara perempuan yang mengingat kepedihan konflik Ambon itu.

Konflik tersebut disulut oleh sentimen agama yang bermula dari cekcok uang pungutan antara pemuda Batu Merah dan sopir angkutan umum asal Mardika. Jumlah korban tewas mencapai 5.000 jiwa sejak 1999 hingga 2002. Setengah juta warga lainnya mengungsi.

Othe ikut mengungsi dan tinggal di daerah relokasi Kayu Tiga, Kota Ambon. Trauma akibat konflik itu tak mudah hilang. Tapi Othe tak menyerah. Dengan segala daya, dia memberanikan diri untuk merajut perdamaian pasca-konflik.

Melalui pengeras suara, Othe mengajak komunitasnya yang beragama Kristen untuk berkumpul mengunjungi tetangga Muslim di Batu Merah. “Selamat sore basudara sekalian yang ada di sektor Maranatha RT 04 RW 08 Soya. For ibu-ibu basudara yang tergabung di dalam komunitas centre Betabhara. Kalau boleh, sekarang dong berkumpul,” kata Othe.

Dia berjalan mengumpulkan ibu-ibu untuk untuk diajak ke Batu Merah. Kepada Othe, sebagian ibu-ibu itu menyatakan rasa takutnya. Tapi Othe berhasil meyakinkan mereka. Keinginan Othe dan ibu-ibu itu pun terwujud.

Suatu hari mereka berkunjung ke Batu Merah dan berangkulan dengan saudara mereka yang Muslim. Kebahagiaan yang dirasakan Othe makin lengkap ketika berjumpa dengan Maimuna Palupessy, Muslim di Batu Merah Dalam.

Mereka awalnya bertetangga dan tak pernah ada masalah. Konflik Ambon memisahkan mereka. Maimuna pun menguatkan upaya rekonsiliasi itu. Dia melakukan kunjungan balasan ke tempat Othe saat ada orang yang meninggal. “Waktu pergi dengan ibu-ibu itu kami keringat dingin. Tangan kami keringatan. Doa mulai dari rumah sampai sana tidak putus,” ujar Maimuna.

Aksi Othe dan Maimuna dalam menggerakkan perempuan-perempuan Ambon untuk saling mengunjungi sebagai upaya rekonsiliasi pasca-konflik itu tergambar dalam film dokumenter berjudul Beta Mau Jumpa.

Film ini digarap oleh WatchdoC Documentary bekerja sama dengan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, The Pardee School of Global Studies Boston University, dan Henry Luce Foundation New York.

UGM memutar film itu dan menggelar diskusi secara terbatas di kantor Humas dan Protokol UGM pada 24 Januari lalu. Film berdurasi 30 menit ini merupakan karya kedua dari seri Indonesian Pluralities yang mengangkat beragam kisah tentang Indonesia.

Film pertama berjudul Atas Nama Percaya, yang berkisah tentang dua komunitas penghayat kepercayaan dan pengalaman diskriminasi yang mereka alami. Atas Nama Percaya dirilis tahun lalu, diputar di komunitas-komunitas di seluruh Indonesia, dan bisa disaksikan di Youtube.

Beta Mau Jumpa memotret gerakan solidaritas perempuan dan anak-anak muda melakukan rekonsiliasi pasca-konflik Ambon. Kalangan muda menyemai perdamaian melalui musik, perayaan hari keagamaan, dan dongeng menolak kekerasan untuk anak-anak di pengungsian. Kalangan akar rumput ini punya peran penting dalam merajut perdamaian.

WatchdoC Documentary mengeksplorasi aksi atau cara-cara masyarakat sipil mengatasi segregasi antarwarga yang muncul gara-gara konflik tersebut. Mereka mengangkat kisah yang tidak banyak ditulis media arus utama.

Produser WatchdoC Documentary sekaligus sutradara Beta Mau Jumpa, Ari Trismana, mengatakan gerakan perempuan di Ambon punya peran penting dalam memulai perdamaian setelah terjadi konflik selama bertahun-tahun. “Perempuan dan anak-anak adalah kalangan yang paling merasakan dampak dari konflik itu,” tutur Ari.

Saat menggarap film tersebut pada akhir 2018, Ari mendengar banyak cerita bahwa pada masa konflik para lelaki Ambon sibuk berperang. Sementara itu, para perempuan cemas terhadap keselamatan semua anggota keluarganya. Perempuan-perempuan Ambon juga harus memikirkan apa yang harus dimakan dan bagaimana mendapatkannya.

Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM, Diah Kusumaningrum, menyebutkan rekonsiliasi konflik Ambon berlangsung dengan baik karena warga Ambon punya memori perdamaian yang kuat. Mereka percaya bahwa orang-orang antar desa di Ambon saling bersaudara dan terhubung.

Mereka juga percaya bahwa mereka lahir dari satu kandungan dan bersaudara meski berpencar ke mana-mana. Ada yang tinggal di desa yang dihuni Muslim, ada yang tinggal di permukiman Kristen. Pernikahan pasangan berbeda agama juga sudah ada di Ambon jauh-jauh hari sebelum konflik.

“Memori perdamaian itu terus dijalin dengan cerita-cerita. Mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama, meski berbeda agama,” kata Diah, yang menjadi narasumber diskusi seusai pemutaran film.

Memori perdamaian itu muncul dalam keseharian, misalnya saling mengunjungi saat mereka merayakan Idul Fitri maupun Natal. Mereka juga saling menitipkan anak-anak ke tetangga saat harus bekerja. Ingatan-ingatan akan kebaikan antarumat berbeda agama ini tejadi secara natural. Situasi itu membantu masyarakat sipil menjalankan resolusi konflik.

Peneliti CRCS UGM, Marthen Tahun, narasumber lain diskusi itu, mengatakan penderitaan menyatukan perempuan untuk bersolidaritas. Saat konflik Ambon meletus, perempuan memikul tanggung jawab ganda sebagai ibu, istri, dan mencari tambahan penghasilan untuk menopang hidup keluarga. “Mereka punya jaringan yang kuat, bersolidaritas menebarkan perdamaian.”

*Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Tempo pada tanggal 30 Januari 2020 dengan judul Perempuan Penebar Damai.

Malik/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *