Satu Islam Untuk Semua

Friday, 20 November 2015

KISAH – Kritik Nasruddin Hoja kepada Para Pakar


Suatu ketika, sufi yang dikenal di masa Dinasti Saljuk, Nasruddin Hoja, diseret ke pengadilan istana atas tuduhan mengganggu ketertiban masyarakat. Dakwaan ini berdasarkan laporan bahwa Nasruddin menyampaikan khotbah di berbagai tempat yang dianggap menyudutkan orang-orang yang terkenal sebagai pakar atau ahli berbagai bidang ilmu.

Dalam khutbahnya, ia menyebut orang-orang yang berkedudukan sebagai ahli politik, ahli hukum, ahli agama dan ahli ilmu lainnya sebagai orang bodoh, kebingungan dan tidak bisa mengambil keputusan.

Akhirnya mereka yang merasa tersinggung bersepakat menyeret Nasruddin ke meja hijau. Sebagai terdakwa tunggal, Nasruddin dikelilingi oleh para pakar selain raja yang menjadi hakim. Setelah pengadilan dibuka, sang raja berkata, “Wahai Nasruddin, giliranmu yang pertama untuk berbicara. Bicaralah…”

Nasruddin meminta agar dibawakan sejumlah pena beserta kertasnya. Setelah itu, Nasruddin berkata, “tolong bagikan pena dan kertas ini kepada masing-masing pakar yang ada di ruangan ini”.

Ketika para pakar telah mendapatkan sebuah pena dan sehelai kertas, Nasruddin melanjutkan, “Saya memohon pada setiap pakar yang terhormat untuk menulis jawaban dari pertanyaan; Apa yang disebut dengan roti?”

Dengan enteng para pakar menuangkan jawabannya di atas kertas itu lalu diberikan kepada raja. Setelah semua terkumpul, sang raja membacanya satu demi satu.

“Roti adalah sebuah makanan,” kata raja membaca lembaran pertama.

“Roti ialah karunia dari Tuhan,” bunyi lembaran kedua.

“Roti merupakan terigu yang telah dimasak,” kata pakar berikutnya.

“Roti adalah makanan bergizi,” jawab pakar lainnya.

Dan demikian seterusnya dengan jawaban yang berbeda-beda. Bahkan ada yang menulis, “tak ada satu pun yang tahu sebenarnya apa itu roti”

Setelah dibaca semuanya, Nasruddin berkata pada sang raja, “ketika mereka dapat menentukan apa yang dimaksud dengan roti, barulah mereka bisa menentukan sesuatu selain roti. Misalnya, menentukan apakah khutbahku benar atau salah.”

Nasruddin melanjutkan, “dapatkah baginda raja memberikan kepercayaan untuk memutuskan suatu perkara pada orang-orang seperti ini? Bukankah aneh jika dalam urusan sepele seperti yang mereka makan setiap hari mereka tidak bersepakat, tetapi untuk memberikan penilaian pada khotbahku mereka bersepakat?”

 
Edy/ ra/ Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *