Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 30 August 2016

Kisah Imam Shamsi Ali: Jeritan di Balik Gedung Pencakar Langit New York


IslamIndonesia.id – Kisah Imam Shamsi Ali: Jeritan di Balik Gedung Pencakar Langit New York

 

Bebeda dengan orang yang berpandangan rasis, Imam Masjid New York Amerika Serikat, Shamsi Ali, mengatakan sangat naif jika warna kulit menjadikan ukuran martabat manusia. Karena jika setiap kulit dikelupas saja, baik putih maupun hitam, akan ditemukan daging dan tulang yang relatif sama.  Itupun, daging dan tulang juga ditemukan dalam hampir setiap hewan.

“Jadi kalau kita membangun kehormatan atau martabat kita berdasarkan jasad, sungguh sangat naif,” katanya di depan jamaah Masjid Syuhada Yogyakarta dalam acara bertajuk ‘Cahaya Islam dari New York”, 9/8.

Jebolan Universitas Islam Internasional Islamabad ini lalu berbicara tentang pemikiran (intelektual) dan ruhani (spiritual), selain jasad (materi) yang telah dimiliki manusia sejak lahir.  Manusia, kata Shamsi Ali, harus memiliki keseimbangan dengan ketiga unsur itu.  Namun, yang paling fundamental dari semua itu adalah ruhani seorang manusia.

“Pijakan keseimbangan bukan materi, tapi spiritual,” kata pria yang telah bertemu sejumlah orang kaya Amerika sekaliber William Henry “Bill” Gates hingga Donald Trump ini.

Ketidakseimbangan, apalagi disebabkan  rapuhnya pijakan ruhani dapat menyebabkan keguncangan. Tak terkecuali di dunia Barat dimana sains dan teknologinya berkembang sangat pesat.  Pria 48 tahun ini lalu memberikan contoh fenomena di balik kota dimana Wall Street yang disebut jantung kapitalisme dunia berada.

“Kalau kita berjalan di kota Manhattan, New York, yang terlihat adalah gedung-gedung pencakar langit. Tapi yang aneh adalah betapa banyak manusia yang menjerit mencari sesuatu,” katanya mengawali berbagi pengalaman di negeri Paman Sam itu.

Pasca tragedi ‘Black September’,  Shamsi Ali diminta menjadi Imam di Islamic Center New York, masjid terbesar yang dibangun negara-negara yang tergabung dalam organisasi Konferensi Islam. Tak lupa Shamsi Ali menggambarkan betapa sebagian Muslim di Amerika saat itu benar-benar ‘menyembunyikan’ identitas agamanya. Demi keamanan,  sebagian Muslim bahkan mengganti namanya menjadi nama yang ‘kebarat-baratan’. Di sisi lain, informasi media mainstream Barat yang memojokkan Islam sebagai ajaran identik teroris tak terbendung. Dalam suasana inilah, Shasmi Ali mulai menjalankan tugasnya sebagai Imam di Islamic Center New York.

Pria kelahiran Sulawesi Selatan ini pun membuat program, salah satunya kelas Islam untuk Non-Muslim. Dalam program ini, Shamsi Ali berdialog dan ‘menantang’ peserta untuk bertanya atau bahkan menantang untuk  menantang kembali secara argumentatif.

“Sebab Islam itu tidak takut ditantang. Kita tidak akan pernah melarikan diri dari tantangan dan kita ada di sini (dunia) untuk menghadapi tantangan,” katanya sembari mengutip ayat Al-Qur’an.

Hingga suatu ketika, tidak ada dari peserta yang mengacungkan tangan kecuali seorang anak muda yang rambutnya tampak berantarkan dan bajunya terlihat tidak terurus. Ternyata ia tidak bertanya dan juga tidak membantah.  “Saya tidak ada pertanyaan tapi saya ingin meminta sedikit waktu Anda setelah kelas,” kata Shamsi Ali mengutip permintaan pemuda itu.

Setelah kelas selesai, mereka bertemu empat mata. “Saya sangat marah,” kata pemuda itu yang membuat Ali cukup waspada.

Pemuda itu pun langsung menumpahkan kemarahannya bahwa hampir setiap pagi ia keluar dari rumahnya dan kembali lagi ke rumahnya setiap malam. Lalu, “Setiap akhir pekan saya pergi ke klub malam hanya untuk menghabiskan uang saya.”

Rutinitas pemuda itu, kata Shamsi Ali, dihabiskan hanya untuk mencari uang lalu berpoya-poya untuk menghabiskan uangnya lagi. Tapi, dengan semua rutinas yang ia lakukan itu, ia tidak tahu untuk apa sebenarnya ia hidup.  “Maka ia pun marah para dirinya sendiri.”

Pria yang juga aktivis dialog lintas iman ini lalu memperkenalkan Islam sebagai agama yang memberikan keterangan yang sangat jelas,  apa, dan bagaimana kita hidup. Tentang darimana manusia, sedang berada di mana, dan akan kemana.  Namun baru sekitar 30 menit, pemuda itu  pamit untuk pergi. “Ternyata ia adalah orang sibuk.”

Imam masjid New York itu lalu memberikan Al-Qur’an dan terjemahannya serta sejumlah buku saku mengenai Muhammad Saw dan Islam. Singkat cerita, pemuda itu di kemudian hari menghubungi Shamsi Ali untuk bertanya bagaimana cara menjadi Muslim. Meski belum pernah membaca sedikit pun dari buku-buku yang diberikan itu, tapi penjelasan imam masjid itu sudah cukup sebagai modal, katanya.  “Saya ingin kejelasan, dimana saya sekarang, darimana, dan akan kemana  saya dalam hidup ini”

Demikian salah satu contoh, betapa banyak orang seperti  di dunia Barat, yang hidup bergelimang dengan harta, popularitas yang menjulang tinggi, namun tidak menemukan kepastian apa yang sejatinya ia cari dalam hidup ini. Sebagai pria yang telah bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang, Shamsi Ali mengaku  banyak memahami orang-orang kaya di Amerika Serikat, khususnya di kota tempat Wall Street itu berada.

“Saya tidak punya duit, tapi minimal saya tahu, kalau orang yang hanya sekedar cari duit, itu tak akan memberikan kebahagiaan,” katanya kembali menyinggung keseimbangan dalam hidup manusia.

Semua orang  miskin, kaya, popular, tidak popular, kuat, lemah dst yang dicari hanya satu; kebahagiaan. Itulah yang menjadikan orang-orang seperti di Barat merena. Karena mereka punya banyak hal yang sebatas materi tapi tidak punya  kebahagiaan. []

 

YS/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *