Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 25 July 2019

Kisah Gus Mus; Sukses Santri, NKRI dan Berkah Doa Kiai


islamindonesia.id – Kisah Gus Mus; Sukses Santri, NKRI dan Berkah Doa Kiai

Pola Pendidikan ulama atau para kiai di Nusantara jaman dahulu menarik untuk disimak. Layak  ditelaah kembai oleh kita saat ini. Pola asuh dengan cara memberi contoh dan bukan perintah adalah pokok pendidikan para kiai di pesantren-pesantren kala itu.

Yang tidak kalah penting tentunya peran doa para kiai kepada para santri. Untuk itu para kiai senantiasa mendoakan para santri di tengah malam saat salat tahajud mereka. Apalagi santri-santri yang nakal dan susah diatur, merupakan urutan teratas dalam doa-doa mereka.

Pola seperti inilah yang saat ini jarang ditemui di institusi Pendidikan modern. Sekarang jika ada murid nakal biasanya harus dikeluarkan dari lingkungan pendidikan. Pola lama justru sebaliknya, karena mereka nakal lah maka mereka nyantri untuk membenahi diri, jika sudah saleh untuk apa mondok.

Inilah pola Pendidikan para kiai yang diungkap Kiai Ahmad Mustofa Bisri ‘Gus Mus’ di salah satu ceramahnya di kanal  youtube GusMus Chanell.

Gus Mus menceritakan kisah ayahnya sendiri Kiai Bisri Mustofa, pengarang kitab tafsir Alibriz. Judul lengkap tafsir itu Alibrîz li Ma’rifah Tafsîr AlQuran Alaziz.

“Cung…nanti kalau kamu punya anak, syukur punya santri, didiklah anakmu jangan cuma luarnya, tapi didik juga luar dan dalam,” ungkap Gus Mus dalam ceramah berbahasa Jawa saat mengisahkan pesan ayahnya itu.

Waktu itu, kata Gus Mus dalam ceramah yang di posting bulan Januri 2019 lalu, dirinya tidak menanyakan maksudnya perkataan ayahnya itu, akan tetapi memberikan contoh dalam keseharian ketika megurus para santri dan tamu-tamu yang datang.

Pengasuh Pesantren Raudhatuth Thalibin Leteh Rembang itu bertutur, bahwa ayahnya kedatangan orang tua dari santri-santri dan menitipkan anak-anak mereka di pesantren untuk dididik agama. Banyak yang datang dari luar kota Rembang, kadang ada yang datang dari Pekalongan, Cirebon, Kediri. Pada saat mereka datang itulah, mereka juga minta agar Kiai Bisri Mustofa juga mau mengisi pengajian di daerah mereka masing-masing.

“Bayangkan jika tiap malam gantian mengisi di berbagai tempat yang berbeda, kapan waktunya bisa ngajari para santri? Sebab libur ngajar para santri hanya hari Jumat,” tegasnya.

Menurut Gus Mus, ayahnya sebelum naik mimbar pasti ‘wadul’ atau bicara terlebih dahulu dengan Allah SWT. “ Ya Allah, saya ini menyampaikan dawuh-dawuhMu dan dawuh utusanMu, maka aku meninggalkan santri-satriku. Andai aku dapat pahala maka berikanlah ke santri-santri yang sedang belajar ini,” Gus Mus pun menimpali dalam hati, “Masa ada pahala diijol-ijolno (ditukar-tukar),” disambur geer para hadirin.

Ayah Gus Mus beralasan, kalau ayahnya banyak ngisi di berbagai tempat otomatis tidak bisa mengajarkanyang lain-lain, tapi para santri-santri  tugasnya hanya belajar. Maka ayah saya minta agar pahala dakwahnya untuk para santri yang belajar itu.

“Maka santri-santri abah itulah yang sekarang menjadi kiai-kiai besar di berbagai tempat. Padahal dahulu waktu di pondok itu kerjanya cuma tidur,” katanya.

Saya kira cuma abah saya yang demikian, lanjut ulama yang juga sastrawan itu, ternyata para kiai juga banyak yang melakukan demikian.

Gus Mus mengisahkan Kiai Umar Mangkuyudan, seorang kiai yang terkenal dengan julukan hamilul Quran, ulama yang selalu menyesuaikan tingkah lakunya dengan Alquran. Lengkapnya KH Umar Abdul Mannan, pengasuh Pesantren Al Muayyad, Mangkuyudan Solo.

Gus Mus bertutur, pada suatu masa ulama besar itu minta lurah santri untuk mendata santri-santri dimulai yang paling nakal, nakal sekali, nakal dan sedikit nakal. Lurah santri pun penasaran dan menunggu apa yang akan dilakukan kiai ke santri-santri yang bermasalah itu. Setelah dia setor nama, ditungulah seminggu, dua minggu hingga tiga minggu, namun santri-santri ‘kurang ajar’ itu tidak kunjung dipanggil, apalagi diusir. Santri-santri itu juga masih sama nakalnya di pesantren.

Akhirnya tidak sabar menunggu, lurah santri pun memberanikan diri bertanya ke Kiai Umar.”Kiai, kenapa kok santri-santri nakal yang kemarin saya berikan nama-namanya, tidak jenengan usir?”. “Loh kenapa diusir?” tanya Kiai Umar. “Justru karena mereka nakal makanya dipondokan oleh orang tuanya. Jika sudah saleh tentu tidak usah mondok,” tegas Kiai Umar.

Gus Mus melanjutkan, bahwa kata Kiai Umar, nama-nama santri nakal itu setiap malam didoakan, secara khusus agar Allah memprioritaskan nama-nama santri itu. Meminta agar Allah merubah pribadi mereka menjadi lebih baik.

“Suatu hari di Jawa Tengah saya ceramah tentang kisah ini, di sebuah pesantren besar pimpinan kiai muda, saya tidak akan sebutkan nama. Setelah saya turun dari mimbar, saya dirangkul kiai itu. Ternyata dia adalah santri ternakal dari santrinya Kiai Umar Mangkuyudan. Dia pun berterima kasih karena tidak menyebutkan namanya di tengah santri-santrinya,” kata Gus Mus disambut riuh hadirin.

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengisahkan kisah lain di pengajian tengah malam itu. Saat ini ada program kerjasama perguruan tinggi dengan pesantren. Perguruan tinggi menerima santri-santri pesantren dan bisa kuliah jika lulus ujian, jika tidak lulus akan ada pendidikan khusus sebagai persiapan.

“Yang daftar 11 orang dan yang lulus 10. Rektornya kaget, sebab pelajaran yang diujikan tidak  dipelajari oleh santri-santri di pesantren,” kata Gus Mus.

Kemudian Gus Mus melanjutkan, bahwa setelah dilakukan penelitian, para santri melakukan tiga hal ini. Pertama, santri ketika mau menghadapi ujian, mesti baca bismillah terlebih dahulu. Kedua, sebelum pergi ujian pasti sowan ke kiainya terlebih dahulu. Dan yang ketiga setiap santri selalu sinau atau belajar setiap hari, bukan hanya untuk ujian saja.

Kesimpulannya, kata ‘Kiai Merah Putih’ itu, karena doa para kiai maka santri menjadi pewaris negeri saat ini, dan negara Indonesia masih kokoh berdiri hingga saat ini. “Mergo negara ini didungakno kiai pesantren-pesantren niku. Kiai pesantren juga santri-santrinya,” kata Gus Mus.

NKRI masih berdiri karena doa mereka, lanjutnya, sebab logika kiai jaman dulu itu logika yang sederhana. Mereka tidak mengenal kata liberalisme, kapitalisme, nasionalisme, atau apa pun itu mereka tidak mengerti. “Ngertine Indonesia iku omahku, jadi siapa saja yang merusak dan menjajah rumahku akan aku lawan,”.

Maka santri-santri pesantren dan para kiai itu jika diajak membahas kebangsaan, pasti ga akan mengerti. Mereka hanya tahu bahwa Indonesia itu rumahnya sendiri.

“Apakah kalian jika rumah sendiri di rusak orang, akan diam saja?” pertanyaan itu sekaligus menutup paparan Kiai jago lukis itu.

MUH/IslamIndonesia/Foto Fitur: NU Online

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *