Satu Islam Untuk Semua

Monday, 12 October 2015

KISAH – Darwis dan Kepala Ikan


Syahdan, hiduplah seorang darwis, sebut saja bernama Abdulmajid. Ia tinggal di sebuah rumah sederhana di tepi sungai di kaki bukit. Hari-harinya ia habiskan untuk mengajar agama kepada para pemuda yang tinggal di daerahnya. Abdulmajid hidup seadanya. Setiap kali lapar, ia memancing ikan di sungai. Jika seekor ikan memakan umpan pancingnya, ia mengakhiri memancing dan memotong kepala ikan itu. Kepala ikan tersebut ia masak menjadi semangkuk sup, sedangkan badan ikan selalu ia berikan kepada orang lain. Begitulah aktivitasnya sehari-hari.

Suatu pagi, seorang murid yang bernama Karim datang kepadanya dan berkata, “Salam, wahai Guru. Aku minta izin untuk tidak ikut majlismumu beberapa hari. Ibuku sakit, dan tabib bilang, beberapa bahan obat untuknya hanya bisa didapat di ibukota. Aku hendak ke sana hari ini untuk membeli beberapa bahan obat.”

“Salam, wahai Karim,” ujar sang darwis. “Semoga Allah mengangkat penyakit yang diderita ibumu. Hati-hatilah dalam perjalanan. Semoga keselamatan tercurah padamu. Kalau boleh, dapatkah aku meminta tolong?”

“Apa itu, wahai Guru?” tanya sang murid.

“Di ibukota, guruku tinggal. Namanya Haji Ali,” ujar sang darwis sambil menuliskan sesuatu pada selembar kertas. “Datangi dia, dan sampaikan salamku padanya. Lalu katakan bahwa muridnya, Abdulmajid, meminta petuah,” ujarnya sambil menyerahkan selembar kertas berisi alamat kepada sang murid.

Kemudian Karim berangkat menuju ibukota. Setelah menempuh perjalanan selama satu hari, sampailah ia pada tujuan. Ia membeli beberapa ramuan obat buat ibunya. Setelah itu, ia tunaikan amanat sang guru padanya. Karim mencari rumah Haji Ali sesuai alamat yang diberikan oleh gurunya. Dan yang ia dapati adalah sebuah rumah megah.

“Aku pasti salah alamat,” batinnya sambil berdiri di depan gerbang rumah tersebut. Karim lalu bertanya pada beberapa penduduk sekitar mengenai alamat yang tertera dalam kertas. Dan mereka menunjuk pada rumah megah yang tadi didatangi olehnya.

Karim bingung. “Guruku orang yang sangat sederhana. Mana mungkin gurunya kaya raya?”

Kemudian ia bertanya lagi pada penduduk, “Adakah orang lain yang bernama Haji Ali di daerah ini selain orang yang tinggal di rumah megah itu?”

Dan penduduk menjawab tidak ada.

Akhirnya Karim melangkah menuju rumah tersebut dan mengetuk gerbangnya yang kaku. Seorang penjaga membuka pintu dan menanyakan keperluannya.

“Aku ingin bertemu Haji Ali,” ujar Karim.

“Haji Ali masih sibuk. Kau bisa menemuinya satu jam lagi. Sementara, masuklah ke ruang tunggu.,” ujar si penjaga. Kemudian ia membukakan sebuah pintu di rumah itu dan mempersilakan Karim masuk.

Masuklah Karim ke dalam ruang tunggu. Dan yang dilihat oleh matanya sungguh menakjubkan. Ada bentangan meja terhampar panjang, dan di atasnya dapat ditemukan seluruh jenis makanan dan minuman lezat. Karim lemas. “Guruku hanya makan kepala ikan setiap hari. Bagaimana guru dari guruku bisa sekaya ini?”

Satu jam kemudian, sesosok lelaki tua berbadan tegap, dengan rambut beruban yang berkilau karena minyak, serta jambang yang ditata rapi dan mengenakan jubah mahal, muncul dari balik pintu menemui Karim.

Karim menyampaikan salam. Orang tersebut membalas. “Engkau Haji Ali?” tanya Karim.

“Betul,” ujarnya. “Apa yang membawamu menemuiku, Nak?”

“Aku punya seorang guru, dan dia muridmu. Namanya Abdulmajid,” kata Karim

“Oh, ya, aku ingat. Dia termasuk murid yang cerdas. Jadi, kau muridnya?”

“Betul, Tuan,” ujar Karim. “Guruku menyampaikan salam padamu, dan memintamu memberinya petuah.”

“Sampaikan salamku juga padanya, Nak,” ujar Haji Ali, “dan katakan pada gurumu itu, agar jangan terlalu memikirkan dunia.”

Karim kaget. Lelaki kaya raya yang berdiri di hadapannya ini baru saja memberi nasehat kepada gurunya, Abdulmajid—yang tinggal di rumah sederhana dan hanya makan kepada ikan setiap hari, agar tidak memikirkan dunia? Yang benar saja?

Setelah pamit dan mengucapkan terimakasih kepada Haji Ali, Karim pulang. Ia berikan ramuan obat buat ibunya pada tabib, lalu bergegas menemui gurunya.

Sang darwis sedang duduk di tepi sungai, memancing, ketika Karim datang.

“Selamat datang, Karim,” ujarnya tersenyum.

Kemudian Karim menceritakan semuanya. Dan Abdulmajid menangis.

“Nak,” ujar sang darwis, “sungguh benar apa yang dikatakan guruku. Setiap kali aku memakan kepala ikan, yang aku bayangkan rasa dagingnya. Sementara guruku, benar-benar tidak terikat dengan kekayaan yang dimilikinya. Ia tidak merasa memiliki harta itu kecuali sebagai titipan Allah, dan selalu menggunakannya di jalan kebaikan. Jikalau Allah mengambil harta itu darinya, tentu guruku tidak akan merasa kehilangan sedikitpun.”

Dan Karim akhirnya mengerti.

JM/islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *