Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 29 January 2014

Kisah Bijak Para Sufi: Garam dan Telaga


mimpidunia.blogspot.com

Alkisah, hiduplah seorang pemuda yang sedang dirundung banyak masalah. Hari-harinya ia jalani dengan begitu sulit. Kesehatannya pun menurun drastis akibat beratnya derita yang ia tanggung. Ia jelas, jauh dari kata bahagia.

Hingga pada suatu hari, ia teringat dengan Pak Tua bijak yang terdapat di desa tempat tinggalnya. Dengan langkah gontai dan muka kusut, ia pun mendatangi rumah tersebut untuk menemuinya.

Tak berlangsung lama, Pak Tua itu pun muncul dan segera mempersilakan tamunya masuk. Seolah tak ingin menyia-nyiakan waktu, dengan tergopoh-gopoh pemuda tersebut menuruti permintaan Pak Tua.

“Ada apa, Nak?” Pak Tua mengawali pembicaraan.

Pemuda yang gelisah sedari beberapa waktu yang lama, langsung saja menceritakan semua masalahnya.

Sementara itu, Pak Tua yang bijak dengan sabar  mendengarkan segala keluh kesah si pemuda. Setelah itu, keduanya saling diam sejenak.

Lalu, tak lama kemudian, Pak Tua masuk ke dapur untuk mengambil segenggam garam dan segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu di depan tamunya, ia mengaduk campuran garam dan air tersebut.

“Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya,” ujar Pak Tua itu.

Pemuda itu bingung dengan apa yang dilakukan Pak Tua, “Bukankah ia datang ke rumahnya untuk meminta nasehat? Lantas mengapa diberi air garam?,” pikirnya dalam hati.

Tapi, demi menghormati tuan rumah, ia pun menuruti permintaan Pak Tua tersebut.

 “Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah ke samping dan mengernyitkan dahinya.

Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Keduanya berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua lalu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga.

“Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah!,” ucapnya.

Anak muda itu semakin bingung. Namun, lagi-lagi, demi menghormati Pak Tua, ia pun menurutinya.

Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”

“Segar.” sahut tamunya.

“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?” tanya Pak Tua lagi.

“Tidak.” jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga.

“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan ini tak jauh beda dengan segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu sama, dan memang akan tetap sama. Masalah merupakan paket kehidupan, untuk setiap insan. Bahkan, Nabi dan Rasul sekali pun, mereka akan mengalami pasang surutnya kehidupan melalui masalah,” ucapnya.

“Namun, Allah telah berjanji dalam kitab-Nya, bahwa masalah akan disesuaikan dengan kemampuan setiap individu itu sendiri, “La yukalifullah nafsan Illa wus’aha laha maa kasabat wa alaiha mak tasabat. Dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya,” lanjutnya.

“Kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu,” tambahnya.

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasihat, “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan,” tutupnya dengan senyum.

Sang pemuda yang terpaku dengan apa yang diucapkan Pak Tua pun tak mampu berkata-kata lagi. Ia diam, merenungi apa yang dikatakan guru kehidupannya tersebut.

Sejenak, keduanya saling bertatap, lalu beranjak pulang. Hari itu, mereka sama-sama belajar.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *