Satu Islam Untuk Semua

Monday, 14 May 2018

Kisah Adik Kelas Dita, Terduga Pelaku Bom Bunuh Diri di Surabaya


Islamindonesia.id – Kisah Adik Kelas Dita, Terduga Pelaku Bom Surabaya

 

DARI ISLAM MURAM DAN SERAM, MENUJU ISLAM CINTA DAN RAMAH

 

Dita Oepriarto adalah kakak kelas saya di SMA 5 Surabaya lulusan 1991 dan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya. Saya tidak pernah kenal langsung sama dia, tapi cukup bisa berempati dan memahami pergolakan batin dan nuansa pemikiran garis kerasnya.

Dia bersama-sama istri dan 4 orang anaknya berbagi tugas meledakkan diri di tiga gereja di Surabaya. Keluarga yang nampak baik-baik dan normal seperti keluarga muslim yang lain, seperti juga keluarga saya dan anda ini ternyata di benaknya telah tertanam paham radikal ekstrim.

Dan akhirnya kekhawatiran saya sejak 25 tahun lalu benar-benar terjadi saat ini.

Saat saya SMA dulu, saya suka belajar dari satu pengajian ke pengajian, mencoba menyelami pemikiran dan suasana batin dari satu kelompok aktivis islam ke kelompok aktivis islam yang lain. Beberapa menentramkan saya, seperti pengajian “Cinta dan Tauhid” Alhikam, beberapa menggerakkan rasa kepedulian sosial seperti pengajian Padhang Mbulan Cak Nun. Yang lain menambah wawasan saya tentang warna warni pola pemahaman Islam dan pergerakannya.

Diantaranya ada juga pengajian yang isinya menyemai benih-benih ekstrimisme radikalisme. Acara rihlah (rekreasinya) saja ada simulasi game perang-perangan. Acara renungan malamnya diisi indoktrinasi Islam garis keras.

Pernah di satu pengajian saat saya kuliah di UNAIR, saya harus ditutup matanya untuk menuju lokasi. Sesampai disana ternyata peserta pengajian di-brainwash tentang pentingnya menegakkan Negara Islam Indonesia. Dan untuk menegakkan ini kita perlu dana besar. Dan untuk itu kalau perlu kita ambil uang (mencuri) dari orang tua kita untuk disetor ke mereka.

Bahkan ketua Rohis saya di buku agendanya menyebut profesi dirinya bukan pelajar SMA, tapi mujahid. Karena memang saat itu majalah Sabili sangat laris di sekolah kami. Isinya banyak menampilkan secara vulgar pembantaian etnis Muslim Bosnia oleh Serbia. Dan ini dijadikan pembakar semangat anak-anak muda jaman saya waktu itu untuk menjadi “mujahid-mujahid pembela Islam”, beberapa akhirnya berangkat beneran ke medan perang.

Dari pengalaman menjelajah berbagai versi pemikiran dan aktivis Islam dari yang paling radikal sampai liberal itu, dari Suni, Sufi, Wahabi, Syiah, NII, dll itu, saya menyadari walaupun Islam ini mestinya satu, tapi ada banyak versi cara orang memahaminya, sehingga melahirkan banyak versi ekspresi keislaman dan pola tindakan.

Dan dari semua versi tadi, yang paling saya khawatirkan adalah versi kakak kelas saya mendiang Dita Supriyanto yang jadi ketua Anshorut Daulah cabang Surabaya ini. Saya sedih sekali akhirnya ini benar-benar terjadi, tapi saya sebenarnya tidak terlalu kaget ketika akhirnya dia meledakkan diri bersama keluarganya sebagai puncak “jihad” dia, karena benih-benih ekstrimisme itu telah ditanam sejak 30 tahun lalu.

Dia mengingatkan saya pada kakak kelas lain, ketua rohis SMA 5 Surabaya waktu itu, yang menolak ikut upacara bendera karena menganggap hormat bendera adalah syirik, ikut bernyanyi lagu kebangsaan adalah bid’ah dan pemerintah Indonesia ini adalah thoghut.

Waktu itu sepertinya pihak sekolah tidak menganggap terlalu serius. Karena memang belum ada bom-bom teroris seperti sekarang. semua sekedar “gerakan pemikiran”. Memang dia dipanggil guru Bimbingan Konseling (BK) unt diajak diskusi, tapi kalau sebuah ideologi sudah tertancap kuat, seribu nasehat ndak akan masuk ke hati. Dan Akhirnya pihak sekolah menyerah, toh dia tidak bertindak anarkis, bahkan terkenal cerdas, lemah lembut dan baik hati.

Akhirnya Ketua rohis saya ini tiap upacara bendera i’tikaf di mushola sekolah. By the way, kadang saya kalau lagi males upacara, ikut menemani dia di mushola dan ikut mendegarkan siraman rohaninya. Dan yang seperti ketua rohis saya ini tidak hanya di SMA 5, tapi yang saya tahu ada di hampir semua SMA dan kampus di surabaya atau bahkan di seluruh Indonesia.

Yang ingin saya katakan, terorisme dan budaya kekerasan yang kita alami saat ini adalah panen raya dari benih-benih ekstrimisme-radikalisme yang telah ditanam sejak 30-an tahun yang lalu di sekolah2 dan kampus-kampus. Saya tidak tahu kondisi sekolah dan kampus saat ini, tapi itulah yang saya rasakan jaman saya SMA dan kuliah dulu.

Mohon jangan salah paham, main stream-nya pergerakan Islam di sekolah dan kampus ini tidak se-ekstrim kakak kelas saya tersebut. Tapi ada cukup banyak yang sifatnya sembunyi-sembunyi dimana saya waktu itu ikut merasakan ngaji bersama mereka.

Serangkaian bom di tanah kelahiran saya dengan tempat-tempat yang sangat akrab di telinga dengan segala kenangan masa kecil, plus pelaku utama yang terasa begitu dekat dengan memori masa2 SMA-Kuliah dulu ini membuat saya tersentak bahwa Ekstrimisme, Radikalisme, bahkan Terorisme ini sudah menjadi “Clear and Present Danger”. Ini tidak lagi sebuah film di bioskop atau berita koran yang terjadi nun jauh di negeri seberang. Ini sudah terjadi disini dan saat ini disekitar kita.

Maka kita harus menetralisir kegilaan ini sampai ke akar-akarnya. Tidak ada gunanya kita melakukan penyangkalan (denial) bahwa ini cuman rekayasa, pelakunya ndak paham Islam, ini bukan bagian dari ajaran Islam, ini pasti cuman adu domba, dll.

Nyatanya pelakunya masih sholat subuh berjamaah di mushola, lalu satu keluarga berpelukan sebelum mereka menyebar ke 3 gereja unt meledakkan diri.

Nyatanya memang ada saudara-saudara kita yang memahami islam versi garis keras yang hobinya mengutip mentah-mentah ayat-ayat perang dan melupakan substansi “cinta dan kasih sayang” sebagai inti ajaran Islam.

Nyatanya memang benih-benih radikalisme, ekstrimisme ini telah ditabur 30 tahun terakhir di pikiran anak2 muda kita, di sekolah2 terbaik dan dikampus2 top di Indonesia. Dan kalau akhirnya mewujud menjadi tindakan nyata terorisme, mestinya tidak mengagetkan kita.

Kalau kita masih saja melakukan penyangkalan, maka kita ndak akan pernah berbenah diri. Tapi kalau kita insyaf bersama, Kalau kita dengan gentle mengakui – bahwa IYA memang kita sedang sakit, bahwa memang ada banyak diantara kita, dan saudara-saudara kita yang memahami Islam versi garis keras, yang merasa bahwa Islam harus diperjuangkan dengan kekerasan – maka kita bisa mulai mengambil langkah-langkah solutif.

Dan langkah-langkah solutif nyata yang bisa kita lakukan di antaranya adalah:

1. Mulai menetralisir alias melunakkan paham Islam garis keras dan mulai menyebar luaskan paham islam moderat (washothiyah).

2. SMA-SMA dan kampus-kampus harus disterilkan dari gerakn2 bawah tanah Islam garis keras, diganti dengan kemeriahan dan kegembiraan aktivitas Islam yang menebarkan “cinta dan welas asih” pada sesama manusia.

3. Sosial media harus dipenuhi kampanye “Islam yang ramah dan penuh kasih sayang”. Bukan Islam yg keras, penuh umpatan, dan kata-kata kasar, apalagi hoax dan berdarah-darah.

4. Pertarungan politik mohon jangan lagi menggunakan isu SARA sebagai komoditas rebutan kekuasaan. Apalagi disertai kampanye hitam saling menghujat yang membuat bahkan setelah selesai Pilkada/Pilpres-nya masyarakat jadi terbelah saling bermusuhan.

5. Mawas diri dan sama-sama menahan diri dalam menyikapi perbedaan2 dalam penafsiran Islam. Islamnya satu dan sumbernya sama, tapi nyatanya cara kita memahaminya bisa macem2. Dan ini fenomena psikologi yang wajar. Ayo tebarkan sikap saling memahami dan berempati, bukannnya saling curiga dan menyalahkan. Islam harus dipulihkan reputasinya dari wajah muram penuh kekerasan menjadi wajah ramah penuh Cinta pada sesama manusia.

Benar kata Muhammad Abduh, cendekiawan Muslim abad 20, “Al-islamu Mahjubun bil muslimin”, Keindahan Islam ini terhijab/tertutupi oleh akhlak buruk sebagian umat Islam sendiri”. Jadi mari kita yang akan bersama2 memulihkan wajah Indah Islam.

Terakhir, mari kita dengar seruan seorang remaja Islam peraih Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai:

“Peluru hanya bisa menewaskan teroris, tapi hanya pendidikan-lah yang bisa melenyapkan paham terorisme (sampai akar-akarnya: radikalisme, ekstrimisme)”

 

 

Saya yang sedang berduka,

Ahmad Faiz Zainuddin
Alumni SMA 5 Surabaya Lulusan 1995
FE UNAIR Angkatan 1995 & Fakultas Psikologi UNAIR Angkatan 1996

 

 

YS/IslamIndonesia/Sumber: Facebook Ahmad Faiz Zainuddin

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *