Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 20 September 2015

KHAS – RESENSI FILM – Dan Akhirnya … Muhammad


Qom, kota pelajar 130 kilometer  di utara Tehran, Iran, suatu sore pekan lalu. Jam menunjuk pukul 16.50. Sepuluh menit lagi film ‘Muhammad Rasulullah‘ tayang di Venous, bioskop yang meraih predikat terbaik sekota Qom tahun lalu. Penonton berjajal di semua sudut, utamanya kafe bioskop. Rasa antusias tertangkap dari beragam wajah. Ada pria-pria berpakaian kasual khas pemuda, wanita-wanita dengan hijab rapi ala cadur (sejenis kain panjang hitam yang menutupi seluruh badan), pelajar agama yang memakai pakaian khusus pelajar, wanita yang rambutnya menyembul dari balik jilbab. Ada juga barisan orang tua, remaja bahkan anak-anak usia 4-5 tahun.

Dalam sejarah bioskop Iran, ini film relijius pertama yang mendapat sambutan begitu luas. Per Kamis silam, penjualan tiket film ini di seluruh Iran sejak 26 Agustus sudah melampaui nilai 55 milyar riyal atau sekitar Rp 22,6 milyar.

Ya. Berbekal penelitian tiga tahun dari literatur yang diakui mazhab Suni dan Syiah , kerja sama dengan awak film asing dan lokal, teknologi canggih, dana puluhan juta dolar, Majid Majidi dengan apik menyajikan informasi visual luar biasa tentang masa kecil sosok paling berpengaruh dalam sejarah manusia lewat film terbarunya ‘Muhammad Rasulullah’.

Sutradara : Majid Majidi

Skenario : Kambuzia Partovi, Majid Majidi, Hamid Amjad.

Pemain : Alireza Syujo’nuri (Abdul Muthalib, kakek Nabi), Mahdi Pokdel (Abu Thalib, paman Nabi) Sore Bayot (Halimah, ibu susu Nabi), Dorius Farhang (Abu Sufyan, paman Nabi), Muhammad Askari (Abu Lahab, paman Nabi), Sodeq Hotefi (Pendeta Buhaira), Muhsin Tobande (Samuel, pedagang Yahudi).

Film dibuka dengan gambaran Makkah di tahun kesepuluh kenabian. Kala itu Nabi Muhammad dengan para pengikutnya terisolasi dari dunia luar di Lembah Abu Thalib, pinggiran Makkah. Abu Sufyan mencoba membujuk Abu Thalib, yang sudah renta, untuk menghentikan dakwah Nabi. Setelah Iming-iming harta dan kedudukan gagal, Abu Sufyan banting setir dengan ancaman akan menyerang kaum Muslimin esok harinya. Dengan penuh rasa khawatir, Abu Thalib kembali ke Lembah. Flashback. Majid membawa penonton pada jejalin peristiwa jelang kelahiran Nabi dan sesudahnya yang kesemuanya masih segar dalm ingatan Abu Thalib.

Satu bulan sebelum kelahiran Nabi, Abrahah, dengan ratusan tentara dan pasukan gajah, datang untuk menghancurkan Kabah. Meski kebanyakan warga lari tunggang langgang menyelamatkan diri begitu kabar serangan bertiup, Abdul Muthalib hanya memasrahkan diri dan nasib Kabah pada Pemilik Sejari, Allah SWT. Aminah juga bertahan di rumah karena tak merasa rasa takut atau cemas sedikitpun. “Lihat, di tengah kekacauan yang memuncak seperti ini, aku merasa tenang dengan kehadiranmu,” kata Aminah sambil mengusap lembut perutnya.

Film ini, seperti film-film Majidi sebelumnya, punya alur cerita yang kuat dengan dialog penuh makna. Para pemain utama, yang merupakan artis-artis ternama Iran, cukup mampu menghayati peran mereka. Yang terasa berbeda di film ini adalah dekor, pencahayaan dan musiknya. Yang terakhir ini sangat memukau hingga film terkesan sempurna. Misalnya, adegan serangan pasukan Abrahah. Di sini, rasa ngeri dan cemas seolah melumat penonton saat ratusan pasukan gajah Abrahah bergerak maju hendak melahap Kabah. Begitu pula kala Aminah berlari mengejar bayi Muhammad bersama rombongan Halimah yang menjauh dari rumah. Meski tak ada dialog saat itu, tapi suasana dan musik sedih yang mengiringi mampu membuat air mata penonton menetes.

Teknologi komputer grafik yang dipakai dalam film ini cukup canggih. Pancaran cahaya dari rumah Nabi dan kilauan cahaya bintang besar di langit, yang dipercaya kaum Yahudi sebagai tanda kelahiran nabi terakhir, di malam kelahiran Nabi, terlihat cukup natural dan indah. Juga ketika jutaan burung Ababil menjatuhkan kerikil panas ke arah bala tentara Abrahah. Animasinya halus hingga penonton tak melihat jejak rekayasa komputer di sana.

Tak seperti film relijius Iran lain, Majidi tak menggunakan efek cahaya untuk menutupi wajah pemeran Nabi. Dia hanya mengambil gambar dari samping atau belakang. Trik menutup wajah pemeran dengan kain putih juga dilakukan dengan pas seperti saat Nabi menunggang kuda di tengah padang tandus. Ini menciptakan asumsi dalam benak penonton bahwa wajah itu ditutup untuk menghindari terpaan angin panas sahara.

Dalam film ini, Majidi berusaha keras menunjukkan bahwa sejak kecil Nabi sudah punya jiwa yang lembut dan penuh cinta kasih. Ada adegan yang menunjukkan bagaimana tubuh Nabi terguncang setiap kali terdengar suara cambukan mendera tubuh para budak di sebuah tempat dalam perjalanan menuju Yastrib (Madinah). Setelah semua orang tidur, Nabi mengambil ghirbah (tempat air minum terbuat dari kulit binatang) dan memberi minum para budak yang kelelahan dan kehausan. Sang ibu yang menyaksikan aksi anaknya hanya tersenyum haru dan bangga. Ada pula adegan Nabi membagi-bagikan kurma pada anak-anak pelaut yang kelaparan karena ayah-ayah mereka sejak lama tak memperoleh apapun saat melaut. Atau bagaimana Nabi datang menemui pamannya, Abu Lahab, agar Suwaibah, budak Abu Lahab yang sempat menyusui Nabi beberapa kali, dibebaskan. Nabi bahkan berjanji akan membayar sejumlah uang untuk pembebasan wanita itu.

Film ‘Muhammad Rasulullah’ juga berhasil menunjukkan bagaimana mencla menclenya segelintir kaum Yahudi. Selama bertahun-tahun mereka memendam rindu menanti kelahiran nabi terakhir. Tapi saat tahu Sang Nabi adalah keturunan Nabi Ismail, bukan garis keturunan Nabi Ishaq, mereka berubah 180 derajat dan berusaha membunuhnya lewat berbagai cara.

Seperti harapan Majidi, tampaknya film ini bisa menjadi titik awal dari penelitian bagi mereka yang belum mengenal Islam. Sajian data sejarah Nabi dalam bentuk visual seperti ini lebih mampu menancap dalam benak dan menggelitik perasaan mereka untuk kemudian mengkaji Islam lebih jauh.

Anisa/Islam Indonesia

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *