Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 19 June 2016

KHAS–Peneliti Tasawuf: ‘Wali-Nya Selalu Menyertai-Nya’


Islamindonesia.id — Peneliti Tasawuf: ‘Wali-Nya Selalu Menyertai-Nya’

Di depan civitas akademika UGM, sang penulis buku kontroversial ‘Majapahit Kerajaan Islam’, Ki Herman,  menjelaskan kandungan kitab ‘Atassadhur Adammakna’ karya Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat. Dengan penguasaan bahasa Jawa klasik, Ki Herman menerjemahkan lalu mengurai serat yang memuat ajaran Raja Mataram Sri Sultan Hamengku Buwono V itu.

“Inilah kitab yang paling dikafirkan banyak orang,” katanya sebelum membuka lembaran kitab itu yang disambut tawa hadirin.

Dalam kitab itu diuraikan tentang manusia fana karena mendapat limpahan wujud dari Sang Wujud, Dat kang Esa. Bagi Ki Herman, untuk mengakses alam batin manusia yang biasanya disebut Jagad Alit (mikrokosmos), membutuhkan ‘rasa’. Dengan pendekatan semantik ala ‘jawro-dhosok, Ki Herman lalu menjelaskan bahwa ‘rasa’ berasal dari kata ‘ha-ra-sa’ yang dalam aksara Hanacaraka berarti ‘arsyi’, atau singgasana Hyang Maha Sukma.

Olah rasa, lanjut pria penghayat Islam-Jawa ini, adalah keharusan dalam menyerap pengalaman batin. Hal ini juga mengingatkan kita pada satu ungkapan terkenal dalam tasawuf, “hati orang beriman adalah singgasana Allah.”

Menanggapi operasi semantik dalam Islam-Jawa, peneliti tasawuf Dr. Ammar Fauzi mengatakan bahwa hampir 99 persen apa yang dijelaskan Ki Herman juga dia temukan dalam kitab-kitab Ibn Arabi. Ammar mulai menyinggung tudingan ‘kafir’ yang juga tak jarang dialamatkan pada ajaran Islam-Jawa.

“Menyekutukan Allah itu kan tidak terpuji atau tercela. Tapi dalam penafsiran sufistik, itu justru pujian yang paling tinggi,” katanya sambil mengutip ayat “waman yusyrik billah faqad dhalla dhalalan ba’idan” (siapa menyekutukan Allah maka dia teramat sesat).

Jika membaca hadis qudsi yang berbunyi “Wahai manusia, taatlah kepadaKu, maka akan Aku jadikan kau seperti Aku”, maka kedudukan atau konsekuensi taat pada-Nya ialah Tuhan ‘me-musyrik-kan’ orang itu seperti Dia.

“Jadi yang pertama musyrik itu ialah Tuhan,” kata pria yang juga pengajar di Fakultas Filsafat UGM ini.

Bagi Ammar, Ibn Arabi suka menggunakan pola-pola eksoterik (literal) dalam menafsirkan ayat. Jika merujuk kembali pada ayat di atas maka sesat (dhalal) artinya secara literal adalah kehilangan arah. Orang yang sampai pada kemutlakan, –  dalam istilah Islam-Jawa: rasa (roso), – maka ia tidak punya arah lagi.

“Ke setiap sudut, ia sama saja. Ia pusing atau bingung, oleh karena itu tingkatan tertinggi dalam pandangan sufi adalah bingung. Dia tidak punya klaim cinta, tahu, tidak punya klaim apa-apa. Oleh karena itu juga tidak ada subjek, tidak ada objek,” katanya

Hal yang menarik bagi Ammar, justru  ketika ‘rasa’ itu yang dianggap sebagai hal yang musyrik, katanya sambil menjelaskan bahwa sebetulnya kita semua ini “musyrik”.

Mengapa? tanyanya retoris. Karena kita sebagai makhluk berasal dari cahaya, dan cahaya adalah percikan Tuhan. Maka sesungguhnya manusia harus menyerupai Tuhan. Dan menyerupai Tuhan adalah ikatan manusia yang menyempurna.

“Selama ia belum menyerupai Tuhan, ia tak akan pernah sempurna. Dan cinta yang paling sempurna, ketika ia sampai pada Yang Mutlak.”

Dalam ayat ‘syirik’ di atas, lanjut Ammar, juga tidak disebut menyekutukan Allah dengan siapa. Oleh Ibn Arabi ditambahkan, “menyekutukan Allah dengan dirimu sendiri”. Karena dalam sebuah hadis, Allah menciptakan Adam dalam forma Tuhan, yang berarti ‘sesuai’.

Ammar lalu mengajak hadirin kembali meninjau kata ‘rasa’ dalam khazanah Islam-Jawa. Ternyata asal katanya dari ‘Arasy’. “Kalau saya teliti rasa itu juga berasal dari kata rassa (doble ‘s’). Kata ini diambil dari suatu hadis untuk menjelaskan posisi manusia di hadapan Tuhan dalam pandangan Ibn Arabi.”

Ammar melanjutkan, “ketika Allah menciptakan manusia, manusia berada dalam kegelapan. Kemudian Allah mempercikkan cahaya dari diri-Nya, percikan ini dalam bahasa Arab disebut ‘rassa’. Yang dipercikkan ialah cahaya. Percikan cahaya inilah yang disebut dengan cinta.”

Ada banyak lagi istilah-istilah dalam Islam Jawa yang jika dikaji lebih lanjut ditemukan benang merahnya dalam kitab-kitab sufi klasik.

“Lalu apa bedanya Ibn Taymiyah yang mengkafirkan Ibn Arabi, jika keduanya sama-sama menggunakan pola bayani?” tanya salah satu peserta seminar yang diadakan di gedung Pasca-Sarjana UGM Yogyakarta itu (5/7).

Tidak sama, kata Ammar bahkan Ibn Arabi lebih ekstrem dalam literalisme dibanding Ibn Taymiyah. Pria kelahiran Purwakarta ini lalu menjelaskan ajaran bathiniah yang pernah dikafirkan oleh Imam Al Ghazali. “Sebelum Imam Al Ghazali menjadi sufi, ia menulis buku tentang batiniyah untuk dihadiahkan kepada khalifah saat itu. Karena pesanan dari khalifah. Kemudian ia melakukan taubat dan menganulir apa yang ia sampaikan.”

Imam Al Ghazali menulis buku tentang bathiniah, tapi justru ia mengkafirkan bathiniah. Namun buku-buku itu justru menjadi referensi utama bagi Ibn Arabi. “Jadi Ibn Arabi (yang dikatakan) korbannya Ibn Taimiyah (justru) sangat menghormati Imam Al Ghazali,”

Sebetulnya, Ibn Arabi melakukan penelitian dengan sangat literal dalam rangka menjangkau batin. Jadi tidak berhenti di lapisan literal, yang masuk ke dalaman batin. Hal ini disebabkan karena Ibn Arabi percaya setiap ayat memliki kedalaman batin.

“Berbeda dengan Ibn Taimiyah, ia hanya mengandalkan apa yang muncul di permukaan teks. Bagi Ibn Taimiyah yang tidak percaya pada hal yang batin tadi, maka hal itu ‘dhalal’ (sesat).”

Dalam hal ini, kata Ammar,  kita bisa memahami perkataan Ibn Arabi, “orang yang berkata-kata sesungguhnya ia tidak tahu. Dan orang yang tahu, tidak akan berkata-kata.”

“Karena tidak semua hakikat yang dijangkau, bisa diterima oleh kalangan umum tapi terbatas. Yang kita temukan di kalangan ilmuan esoterik Islam, yang syahid  itu ada dua,  satu di tanah Arab, satu lagi di tanah Jawa. Yang pertama, Al Hallaj dan kedua Syekh Siti Jenar. Kalau pun ada yang ketiga, itu dalam ada kalangan filsuf yang sebetulnya identitasnya seorang sufi yaitu, Suhrawardi,” katanya sambil menjelaskan bahwa Al Hallaj dan Siti Jenar sama-sama meyakini konsep ‘meniru Tuhan’.

Lalu apakah pendekatan semantik ini bisa dilakukan sembarangan atau ‘cocokologi’? Apakah legal atau dibenarkan tafsir-tafsir sufistik terhadap ayat Al-Qur’an seperti dijelaskan di atas? Ada dua kriteria yang perlu diamati menurut Ibn Arabi.

“Pertama, adanya ruh makna. Seperti kita menafsirkan rasa dengan ‘rassa’ dalam bahasa Arab, apakah kita dapat menemukan ruh maknanya atau tidak. Kedua, dibantu dengan orang yang diajak langsung berbicara oleh Sang Pemilik teks, yaitu Nabi Muhammad.”

Mengapa ‘musyrik’ atau ‘syirik’ punya makna positif? karena, kata Ammar, ada penjelasan dari orang yang diajak bicara langsung oleh Pemilik Teks. “Bahwa Tuhan menciptakan Adam persis dengan forma-Nya sendiri.

“Berarti (kata) ‘syirik’ di sini dibenarkan untuk ditafsirkan atau disamakan antara diri kita dengan Tuhan,” katanya sambil menyinggung “Becoming Like God” dalam tradisi Platonik.

Kembali ke kitab karya KPH Cakraningrat atau yang dikenal Adipati Danureja VI, Ki Herman mengungkap sejumlah istilah yang juga ditemukan dalam khazanah Ibn Arabi seperti “tajalli” (pengejawantahan Tuhan). Pemahaman selanjutnya menjelaskan bahwa sebab segala yang ada di alam semesta ini adalah pengejawantahan-Nya maka manusia Jawa yang paripurna mestilah menjaga prinsip “hamemayu karyenak tyasing sasama” atau senantiasa menjaga perasaan orang lain dengan kata-kata dan perilaku yang benar. Prinsip ini juga sebagai wujud menjaga keselarasan alam (hamemayu hayuning bawana) yang tak lain merupakan wadak pengejawantahan Tuhan.

 

YS/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *