Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 04 September 2016

KHAS–Cak Nun: Surga Itu Tidak Penting


IslamIndonesia.id –  Cak Nun: Surga Itu Tidak Penting

 

Emha Ainun Najib menggambarkan bagaimana benak masyarakat secara umum telah berpandangan bahwa bekerja itu pasti disertai dengan pamrih. Di setiap balik batu, pasti ada udang. Sangat sulit dipercaya bahwa ada  orang bekerja itu benar-benar ikhlas, murni, tanpa pamrih.

“Orang tidak percaya (dengan tanpa pamrih). Yang dipopulerkan sekarang ialah orang yang punya pamrih,” katanya dalam acara Maiyah di Yogyakarta beberapa waktu silam.

Cak Nun mencotohkan kampanye politik yang meskipun berbicara tentang kerakyatan, keadilan tapi masyarakat umum sudah memahami bahwa sejatinya para politikus itu sedang bertujuan mencari uang di balik retorika ‘demi rakyat’ itu.

“Orang sudah terbiasa mencari udang. Kalau dibertahu ‘batu’, ia tidak akan menerimanya sebagai ‘batu’ karena ia selalu cari ‘udang’. Karena setiap pengalaman bangsa Indonesia itu ‘ada udang di balik batu’.”

Dari partai politik sampai agama, jika menolong orang kelaparan misalnya dianggap ‘ada udang di balik batu’. Sedemikian sehingga orang yang telah berpandangan dunia ‘pamrih’ tidak akan memahami orang-orang yang bekerja tanpa pamrih. Pada tataran global, Cak Nun menyinggung orang-orang yang berjuang tanpa pamrih sedemikian sehingga tidak dipahami oleh kelompok yang tidak pecaya dengan keikhlasan.

“Dunia sedang bergolak, Hizbullah memberi pelajaran yang besar bagi Amerika dan Israel. Israel lupa bahwa Hizbullah itu ‘tidak tampak’,” katanya menyinggung musuh bubuyutan Israel di kawasan itu.

Salah satu dimensi perang kata Cak Nun, seseorang bisa menang kalau musuh yang ia bisa identifikasi secara jelas . Tapi ketika ia tidak bisa mengidentifikasi musuhnya, disitulah mulainya kekalahan. Pasti salah perhitungan. Orang yang ‘murni’ sesungguhnya tidak akan bisa ‘ditembak’ musuh yang berpandangan dunia pamrih.

“Mereka tidak mengerti, wong mereka mengertinya udang ko. Padahal ini batu.”

Kemurnian menurut Cak Nun, berkata jujur pada diri sendiri, misalnya dengan “Saya ini orang yang tidak baik, maka pekerjaan yang terpenting ialah membuat kebaikan. Atas dasar apa? Karena saya ini bukan orang baik.”

Jika seseorang menyadari ketidakmurniannya, ketidaksuciannya, maka orang itu akan berjuang untuk memurnikan dan mensucikan dirinya. Sebaliknya, jika seseorang merasa alim, telah berakhlak baik,  khusyu dalam ibadah malah bahaya.

“Karena dengan itu, Anda tidak lagi memiliki motivasi untuk menciptakan  kebaikan.  Sebagian ulama, kiai, habaib, yang sudah yakin dia pasti benar dan pasti masuk surga sehingga ia tidak terdorong berakhlak baik dalam sehari-hari. Wong jelas, sudah (merasa) pasti masuk surga  ko,” katanya

Adapun surga, yang secara umum dijadikan tujuan beramal atau beribadah, menurut Cak Nun bukanlah puncak pencapaian orang yang berbuat baik. Manusia lebih tinggi dari surga karena ia adalah ‘ahsanu takwim’ (sebaik-baiknya ciptaan).

Masterpiece-nya Allah itu manusia. Jadi sebenarnya tidak mungkin manusia mengejar-ngejar sesuatu yang tidak lebih tinggi dari dia.”

Pencapaian manusia seharusnya lebih dari sekedar surga. Dan untuk mencapai itu, – Yang Maha Sempurna lagi Mahasuci- , seseorang harus menabung kesucian. Menabung kesucian seperti seorang yang membantu modal dana usaha kepada orang yang tidak mampu. Namun pemberi modal itu tidak meminta dananya dikembalikan lagi, tidak juga mengharapkan pembagian untung dll.

“Tidak minta pembagian untung karena hanya ingin menabung kesucian sedikit demi sedikit. Karena ia tahu sejatinya dirinya bukan orang suci, maka ia harus punya tabungan kesucian sedikit demi sedikit.”

Contoh lain, si A yang membantu orang lain medorong mobilnya yang mogok di jalan. Ia membantu tanpa minta pamrih apapun dari pemilik mobil. Ia melakukan semua itu karena ingin menabung kesucian dengan cara “saya benar-benar ingin menolong.”

“Apa rahasia menabung kesucian? Bukan Surga. Surga tidak penting.”

Mengutip sebuah hadis, Cak Nun menjelaskan tiga faktor dalam diri manusia yang saling berkaitan. Ibadah (mahdhah), mencari ilmu dan bekerja keras. Jika orang mendapatkan surga karena rajin ibadah, maka surganya itu kelas ekonomi. Kelas yang lebih tinggi lagi ialah beribadah dengan disertai mencari ilmu. Seperti berusaha untuk menemukan makna dari apa yang ia lihat dan lakukan termasuk ibadahnya.  Di atas semua itu, bekerja keras tanpa melupakan ibadah dan mencari ilmu,  membuat seseorang mencapai derajat “di atas surga” atau ‘liqaullah’ — perjumpaan dengan Sang Kekasih yang ia rindukan selama ini.  “Orang yang sudah berjumpa dengan Allah, masa masih butuh surga?” []

 

YS/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *