Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 28 May 2017

Ketum PBNU Tegaskan Ramadan Bukan Bulan Bermalas-malasan


islamindonesia.id – Ketum PBNU Tegaskan Ramadan Bukan Bulan Bermalas-malasan

 

Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan bahwa Ramadan adalah bulan amal, jihad, ijtihad, dan mujahadah. Ramadan, bukan bulan bermalas-malasan.

“Semuanya mesti ditingkatkan. Baik aktivitas lahir, ketika dipersembahkan untuk Allah SWT itu disebut jihad. Aktivitas intelektual atau ijtihad, juga aktivitas ruhani atau spiritual dengan istilah mujahadah,” ujar pria yang akrab disapa Kang Said ini, Sabtu (27/5/2017).

Bagi dunia pesantren, Ramadan menjadi ladang berpacu dalam kebaikan. Rangkaian kegiatan kian diramaikan dengan banyaknya aktivitas dan penambahan jadwal pembelajaran.

Beberapa mata pelajaran yang tidak termaktub dalam kurikulum reguler, bisa didapat ketika Ramadan. Pembacaan kitab kuning yang biasanya dilakukan di setiap usai salat lima waktu itu lazim disebut Ngaji Pasaran Ramadan atau Posonan.

“Saya membaca kitab Tafsir Yasin usai Subuh. Ditargetkan rampung selama 20 hari,” tutur Kang Said mencontohkan kegiatannya di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan.

Melalui Ramadan, santri digenjot dari sisi spiritual dan intelektualitas. Sebagaimana tujuan yang umum diberlakukan dalam sistem pendidikan tua itu, pesantren mencita-citakan lulusan yang tidak cuma cakap dalam bidang keagamaan. Tapi juga unggul di bidang akhlak dan keilmuan.

Lebih lanjut Kang Said menjelaskan, pesantren adalah salah satu institusi pendidikan yang mengedepankan pengajaran Islam secara lebih komprehensif. Dalam arti, Islam ditekankan bukan cuma untuk keluhuran pribadi, tetapi juga sebagai tata laku dalam sosial.

“Terutama NU, mengadopsi dua prinsip utama, tawasuth (moderat) dan tasamuh (toleran). Moderat, tidak mungkin tanpa pengetahuan. Juga toleran, tidak mungkin tanpa budi pekerti luhur atau berakhlak,” urainya.

Pesantren dan NU tidak menghadap-hadapkan antara agama dan kearifan lokal. Menurut dia, budaya justru patut dijadikan sebagai insfrastruktur agama. Dengan syarat, selama tradisi itu tidak bertabrakan dengan syariat.

Dalam NU, prinsip ini masyhur disebut pandangan Islam Nusantara. “Contohnya, batik, kopiah, sarung, itu hasil dari budaya lokal. Baik juga jika dipakai untuk ibadah, salat misalnya.”

Islam Nusantara bukan mazhab tersendiri, tegas Kang Said. Melainkan cuma ciri khas yang menjadi keunggulan umat Islam di Indonesia.

Satu lagi Kang Said mencontohkan, di banyak daerah ada masjid yang cenderung berdampingan dengan kantor pemerintahan. Yang menarik, lapangan atau halaman yang digunakan cuma satu. Keduanya berbagi, bergantian.

“Ini adalah simbol persatuan. Tentu, antara pemerintah, agama, dan rakyat. Di negara lain, Timur Tengah misalnya, tidak ada tradisi itu,” ujarnya sembari menekankan bahwa secara mendalam tradisi-tradisi seperti itu akan meresap ke dalam sikap keberagamaan dan sosial. Islam, bisa menghadirkan fungsi dan manfaatnya secara menyeluruh.

Itulah pemahaman Islam yang komprehensif. Jika sudah diartikan seperti itu, maka agama akan mendorong manusia untuk maju, berperadaban, berbudaya dan produktif. Tujuannya, membangun masyarakat yang sehat dan cerdas. “Islam mendorong masyarakat solid dan guyub,” kata dia.

Islam tidak boleh diatasnamakan untuk saling benci. Pun Ramadan, kata dia, semestinya dimanfaatkan sebagai momentum untuk berbuat baik. Ramadan jadi waktu yang baik untuk saling memaafkan dan menguatkan.

“Jika pernah berselisih akibat dinamika politik, melalui Ramadan, kita tinggalkan,” pesan Kang Said.

Ramadan bukan bulan bermalasan, termasuk untuk membuang sikap-sikap buruk yang tidak diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Dia mengajak umat Islam agar sekuat tenaga menghindari kesombongan, iri, dengki, dan fitnah melalui kebaikan Ramadan.

“Mari kita menjadi ibadillahi as salihin. Saleh yang mengedepankan akhlak,” imbaunya.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *