Satu Islam Untuk Semua

Monday, 08 October 2018

Ketika Syeikh Siti Jenar Melawan Sistem Sosial Diskriminatif


Islamindonesia.id – Ketika Syeikh Siti Jenar Melawan Sistem Sosial Diskriminatif

 

 

Pada masa kehidupan Syeikh Siti Jenar, sistem sosial setidaknya terbagi dua tingkat. Pertama, kalangan gusti di dalam lingkaran istana dan kedua, kalangan kaula di luar istana.

“Gusti artinya tuan, sedangkan kaula itu budak,” kata sejarawan KH. Agus Sunyoto dalam wawancara di kanal Youtube Lensa Srikandi.

Karena itu, kata Agus, orang Jawa menyebut dirinya kulo yang berasal dari kata kaula. Orang Sunda pun menyebut dirinya abdi dengan makna yang sama. Sementara orang melayu menyebut dirinya sahaya atau saya yang juga memiliki arti sama.

Pandangan Siti Jenar tidak dapat menerima sistem sosial ini. Apalagi, ia pernah hidup 17 tahun di Bagdad, Irak, yang  dikenal dengan peradabannya.

Di sana ia menyaksikan orang-orang biasa bertemu dengan sultannya. “Cara orang menghadap sultanya ya biasa saja,” kata Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia PBNU ini.

Namun ketika kembali ke Jawa, Siti Jenar mendapatkan orang-orang biasa menghadap sultan dengan cara menyembah. Menurutnya, hal ini berlebihan dan tidak diperbolehkan karena pada dasarnya makhluk Allah itu setara di mata-Nya. Hanya ketakwaan yang membedakan derajat manusia satu dengan lainnya.

Ia pun meminta pengikutnya tidak melakukan peyembahan kepada raja. Di kampungnya, Lemah Abang, ia lalu memperkenalkan kata masyarakat sebagai komunitas saling bergotongroyong untuk mencapai kemajuan bersama. “Masyarakat diambil dari bahasa Arab musyarakah yang berarti orang yang bekerjasama,” katanya

Tak hanya itu, ia juga mengenalkan kata insun atau aku untuk dipakai masyarakat padahal kata ini hanya boleh digunakan oleh para raja ketika itu. Siti Jenar beserta pengikutnya pun akhirnya dituding sebagai kelompok pembangkang terhadap penguasa.

***

Sebagian catatan sejarah mengatakan, Syeikh yang memiliki nama Raden Abdul Jalil atau Hasan Ali ini tewas di masa Kesultanan Demak. Peristiwanya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Sementara tentang apa dan siapa di balik kematiannya, sejarawan pun berbeda pandangan.

Versi Pertama, misalnya, mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” Ki Sosrowidjojo, disebutkan bahwa Siti Jenar mangkat akibat dihukum mati oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Bertindak sebagai algojo atau pelaksana hukuman pancung itu adalah Sunan Kalijaga. Eksekusi berlangsung di alun-alun kesultanan Demak.

Menurut versi Kedua, sebagaimana tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan Emon Suryaatmana dan T.D Sudjana (alih bahasa pada tahun 1994), Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati. Pelaksana hukuman atau algojonya tak lain adalah Sunan Gunung Jati sendiri, dengan tempat eksekusi di Masjid Ciptarasa Cirebon. Jenasah Siti Jenar dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudian dimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten.[]

 

Baca juga:  Menguak Misteri Kematian Syekh Siti Jenar

 

 

 

YS/Islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *