Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 12 February 2014

Ketika Agama Minoritas Berjuang dan Bertahan di Republik Islam Pakistan


Foto: Pakistan for All

Hidup di tengah-tengah agama mayoritas bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini pula yang dialami oleh berbagai kelompok agama minoritas di Republik Islam Pakistan, yang terus berusaha memperjuangkan hak-hak agama mereka untuk dapat bertahan di tanah airnya tersebut.

Huffington Post memberikan laporan terkait hubungan antaragama yang dilakukan oleh International Center for Journalists dan didanai oleh Henry Luce Foundation pada Senin (10/02) lalu.

Laporan ini di antaranya berisi tentang kondisi keberagamaan di Pakistan, perkembangannya, juga inisiatif masyarakat untuk saling menguatkan, memperhatikan nilai-nilai toleransi dalam beragama dan memperjuangkan hak mereka sembari tetap menjaga perdamaian.

Keprihatinan Umat Kristen-Katolik

Keprihatinan antar umat beragama bergema di antara pemimpin Katolik yang mengatakan kekerasan yang mereka hadapi adalah kemarahan terhadap Barat yang salah arah. Umat Kristen disalahkan atas serangan pesawat tak berawak dan invasi militer ke Afganistan dan Irak.

Setelah serangan bulan September di Peshawar, Uskup Joseph Coutts, tokoh Katolik di Karachi yang mengawasi gereja St. Peter, menuntut pemerintah untuk serius menangani intoleransi yang telah mengkhawatirkan.

Beberapa minggu setelahnya, selama kunjungan ke salah satu konferensi Vatikan, Coutts menyebarkan seruannya ke pemimpin Kristen internasional agar menekan pemerintah untuk menjamin HAM kelompok minoritas.

“Bahkan tindakan-tindakan kecil seperti salam pribadi Paus Fransiskus kepada umat Islam di seluruh dunia saat Ramadan dapat membantu menghilangkan citra Kristen Barat sebagai musuh Islam,” ujar Uskup dan memperbaiki kesan buruk yang tumbuh selama pemerintahan Paus Benediktus XVI.

Ungkapan Benediktus pada 2006 yang mengutip kaisar Bizantium yang mengatakan Islam “jahat dan tidak manusiawi” itu telah memicu kemarahan di antara umat Islam.

Pada 2011, ketika Vatikan berada di bawah Benediktus meminta Pakistan untuk mencabut UU antipenghujatan, protes terhadap umat Kristen meledak lagi.

“Fransiskus, yang berhasil merangkul umat non-Kristen, dapat memberikan dampak positif pada status Katolik di Pakistan,” ujar Rev. Fransiskus Gulzar, pastor di Gereja Katolik St. John di Youhanabad.

Sekitar 100.000 umat Kristen berada di luar ibukota budaya Lahore, kota di mana ketegangan Kristen-Islam semakin meningkat.

Gulzar mengatakan sikap dunia internasional bukanlah solusi untuk masalah yang terjadi di kelompok minoritas Pakistan, “jika (Paus Fransiskus) tetap mengucapkan hal-hal yang baik tentang Islam, ini akan membuat umat Islam memiliki pandangan yang lebih baik tentang umat Kristen di negara mereka sendiri.”

Sementara itu, dibangunnya gereja Katolik terbesar dan termahal di Pakistan, yakni dengan menghabiskan dana $3.8 juta (setara Rp. 46 miliar) itu tidak menjamin keamanan mereka dalam beribadah. Pasalnya, mereka masih mengalami berbagai ancaman.

Misalnya, bangunan dengan tiga lantai dan memiliki ukuran 6.400 meter persegi yang dianggap sebagai simbol kemajuan kekristenan dan agama minoritas di Pakistan tersebut harus rela melakukan ibadah dengan penjagaan yang ketat di luar gedung. Hal ini bertujuan guna melindungi umat dari kemungkinan adanya bom bunuh diri atau penyerangan lainnya.

Ini sama seperti halnya yang dihadapi oleh rumah ibadah non-Islam lainnya di negara Islam itu. Selain itu, para pemimpin ibadah juga harus berusaha menyelaraskan kebiasaan umat mayoritas, dengan salah satunya menggunakan anggur yang tidak mengandung alkohol atau sirup anggur selama Perjamuan Kudus. Alasannya bukan hanya karena anggur tanpa alkohol atau sirup anggur itu lebih murah, tetapi juga untuk menghindari amarah umat Islam yang meyakini bahwa meminum minuman beralkohol adalah dosa.

Perkembangan Kelompok Minoritas

Kisah tentang penguatan kelompok minoritas kini mulai bertumbuh, dari gemerlap rumah ibadah baru seperti St. Peter yang semakin berkembang, hingga usaha pertahanan diri yang terorganisasi dengan baik di antara umat non-Islam.

Sejumlah aktivis gerakan lintas agama kini juga berkembang. Mereka mendorong pendidikan multiagama dan usaha mengurangi kekerasan. Mereka juga meraih dukungan dari para pendeta dan kampus-kampus.

Sebagian pemimpin kelompok agama minoritas kini berbicara di dunia internasional melalui media dan organisasi HAM. Mereka mengharapkan tekanan diplomatis dari Amerika Serikat (AS), sekutu politik dan sumber bantuan untuk negara itu. Mereka juga mengharapkan pemimpin agama di dunia dapat memperkuat keadaan bagi kelompok minoritas di Pakistan.

Kelompok toleran Pakistan mengatakan akan mewujudkan target selanjutnya, yaitu sedikit toleransi bagi teroris.

“Orang-orang yang menyatakan Barat sebagai musuh adalah orang-orang yang sama yang menyatakan non-Islam dan bahkan Islam Syiah di sini harus sama,” ujar Michelle Chaudry, pendiri Cecil and Iris Chaudry Foundation, lembaga nirlaba Pakistan yang memusatkan perhatian pada usaha mendorong kerja sama lintas agama dan pendidikan bagi non-Islam.

“Semakin buruk terorisme sejak peristiwa 11 September, maka semakin buruk pula situasi di antara kelompok minoritas,” tambahnya.

Inisiatif Masyarakat untuk Menjaga Toleransi

Untuk menjaga nilai-nilai torelansi antar agama di Pakistan, sebagian masyarakat berinisiatif menciptakan berbagai pelatihan atau kursus. Seperti kursus gratis pertahanan diri yang diadakan di perkampungan miskin dengan anggotanya mayoritas beragama Kristen.

Dibentuknya kursus tersebut, lebih khusus bertujuan untuk menjaga keamanan gereja sejak awal musim gugur.

Menurut pendirinya, Munawar Chouhan, yang juga seorang pensiunan perwira angkatan laut Pakistan itu mengatakan bahwa sekolah tersebut, secara eksklusif didirkan guna menjaga keamanan gereja.

Para anggota yang berusia sekitar 20-an itu direkrut melalui iklan di surat kabar, kemudian ia latih dari kantor.

Chouhan melatih relawan mengenai teknik operasi keamanan, menggunakan diagram dan memukul patung manekin untuk menunjukkan bagaimana mendeteksi adanya bom dan senjata api. Mereka belajar untuk bisa mengenali pakaian besar yang kerap digunakan kelompok teroris, wajah-wajah asing, dan tas atau karung yang tidak diakui.

Ia memulai kelas kursusnya setelah Taliban Pakistan terlibat dalam bom bunuh diri yang membunuh 78 orang umat dan melukai 130 orang lainnya pada bulan September di gereja Katolik Peshawar, ibukota provinsi di bagian barat laut, dekat Afganistan.

“Untuk setiap kisah yang baik, ada satu kisah buruk. Kami harus melindungi milik kami, atau tidak ada seorang pun yang akan melakukannya,” tegas Chouhan.

Chouhan, yang merupakan seorang Katolik dan anggota jemaat St. Peter, seperti kebanyakan anggota minoritas lainnya telah mengadopsi ucapan salam dalam tradisi Islam, yaitu “assalamualaikum” yang berarti “damai besertamu”.

Ia telah melatih sedikitnya 75 anggota keamanan, dan mengutus mereka ke gereja-gereja di sekitar kota. Ia yakin bahwa program pelatihannya itu telah menjauhkan karakter-karakter mencurigakan dari rumah-rumah ibadah, namun murid-muridnya masih belum menangkap orang yang disinyalir akan melakukan penyerangan.

“Bagi orang-orang yang merasa tak berdaya untuk mengambil bagian dalam perjuangan agama mereka, kami memberi mereka suatu cara untuk berperan kembali,” ujar Chouhan.

Selain sekolah Chouhan, di Peshawar dan Lahore para pemimpin agama Kristen juga telah memberi instruksi agar gereja-gereja melatih relawan keamanannya; beberapa di antaranya telah menambah pagar keamanan dan detektor metal.

Gereja Katolik, yaitu denominasi Kristen terbesar di Pakistan, telah memulai sedikitnya 15 “kelompok perlindungan masyarakat”. Kelompok ini merupakan jaringan ekumenisme yang bertugas memantau ancaman-ancaman yang mungkin dihadapi oleh gereja-gereja lokal dan pelanggaran HAM di antara umat Kristen, seperti kawin paksa dengan Islam.

Sementara itu, Pakistan Ex-Servicemen Association, sekelompok mantan anggota militer, kini menyediakan jasa keamanan di puluhan gereja di seluruh negeri setiap Minggu.

“Kami berjuang untuk kelangsungan hidup kami,” ujar William Sadiq, aktivis Protestan yang bekerja dengan Chouhan dan menjalankan Action Committee for Human Rights, yaitu organisasi pelayanan sosial di Karachi.

“Jika para ekstremis lebih banyak yang mempertahankan diri, mereka mungkin akan mulai mundur,” ujarnya optimis.

Sumber: Huffington Post/satuharapan.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *