Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 20 July 2016

Kenang Sosok Guru Tua Pendiri Al Khairaat, Menag: Ulama Sejati Kian Langka di Zaman Ini


IslamIndonesia.id—Kenang Sosok Guru Tua Pendiri Al Khairaat, Menag: Ulama Sejati Kian Langka di Zaman Ini

 

Dalam acara peringatan hari wafat atau haul ke 48 tahun pendiri Alkhairaat Habib Idrus bin Salim Aljufri di Palu, Minggu (17/7/2016), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa sosok ulama sejati seperti almarhum Habib Idrus, sudah kian jarang dapat kita temui saat ini.

“Beliau tidak sekadar alim dalam ilmu-ilmu keislaman, melainkan juga seorang organisatoris mumpuni dan Nasionalis sejati,” kata Menag lalu membacakan salah satu syair karya ulama yang biasa dipanggil Guru Tua itu. Syair yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:

“Berkibarlah bendera kemuliaan di angkasa. Daratan dan gunungnya hijau. Hari kebangkitannya adalah hari kebanggaan. Setiap bangsa memiliki lambang kebangsaan dan kebanggaan. Lambang kebangsaan untuk Indonesia adalah merah dan putih.”

Menurutnya, meski Guru Tua tidak mewariskan buku atau kitab sebagai karya intelektualnya, namun sesungguhnya jutaan orang telah berhasil menjadi orang-orang sukses karena sentuhan tangan Guru Tua melalui Alkhairaat.

“Tak sedikit orang yang dididik melalui lembaga Alkhairaat mampu tampil menjadi pribadi saleh dan saleha. Guru Tua telah mewariskan sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak-anak yang saleh,” tambahnya.

Menag berharap para keturunan Guru Tua menjadi jangkar moral dan intelektual. baik di dalam Alkhairaat maupun di luar Alkhairaat.

Menurut Lukman, jika di tanah Jawa ada KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim As’ari, di Nusa Tenggara Barat ada tuan guru KH Zainudin Almadjid, di Sumtera ada Syeh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, di Kalimantan ada Syeh Muhammad Arsyad Albanjari, maka di Sulawesi ada Habib Idrus bin Salim Aljufri.

“Para ulama itu adalah paku bumi yang dipancangkan Allah untuk menegakkan ajaran agama Islam di Nusantara ini,” katanya.

Dia mengatakan banyak orang yang menjadi kuat keislaman dan keimanannya karena ilmu yang diberikan Guru Tua. Selain itu, ilmu yang diwariskan terus menyebar melalui lisan para murid-muridnya dari dulu hingga sekarang.

“Saya tak bisa membayangkan suasana keislaman di kawasan timur Indonesia tanpa almarhum,” tegas Menag.

Haul Guru Tua ke 48

Habib Idrus dilahirkan di Taris, sebuah kota kecil yang letaknya kurang lebih 5 km dari Kota Saiwun, Ibu Kota Provinsi Hadramaut (Yaman Selatan) pada hari Senin 14 Sya`ban 1309 H yang bersamaan dengan 14 Maret 1889 M dan kembali ke rahmatullah juga pada hari Senin 12 Syawal 1389 H (22 Desember 1969 M) di Palu, Sulawesi Tengah, pada usia 80 tahun.

Beliau dilahirkan sebagai anak kedua dari pasangan Habib Salim bin Alwi bin Saggaf Aljufri (seorang mufti di Hadhramaut) dengan Syarifah Nur binti Muhammad Aljufri (seorang puteri keturunan salah seorang Raja di Sulawesi Selatan yang bergelar Arung Matoa Wajo), dan sebagai anak ke empat dari enam bersaudara.

Menag Lukman pun menyebut bahwa momentum haul Guru Tua merupakan wadah yang tepat untuk meneladani semua karya dan hasil perjuangan beliau.

“Tak terasa, rasanya seperti baru kemarin beliau pergi. Namun kini sudah 48 tahun kita kehilangan sosok ulama yang sangat berpengaruh di kawasan timur Indonesia ini,” ujarnya. “Sekalipun fisik berpisah tapi roh beliau selalu bersama para pengikut beliau yang selalu melanjutkan perjuangannya,” tambah Menag lalu mengingatkan bahwa orang yang wafat dalam perjuangan, sesungguhnya tetap mendapatkan rezeki dari Allah SWT.

Dalam kesempatan itu pula, Menag menyebutkan adanya tiga hal yang patut diteladani dari Guru Tua.

“Ada tiga hal yang perlu diteladani dari beliau, yakni memperluas areal dakwah, memperluas pengertian jihad dan berjuang tidak sendirian.”

Lukman menjelaskan dalam memperluas areal dakwah, Habib Idrus berdakwah tidak hanya di sekitarnya saja, tetapi bersifat lintas pulau bahkan lintas negara. Guru Tua, kata Menag, dalam berdakwah selalu bertumpu pada ayat Al-Qur’an dengan menekankan pada pendekatan hikmah.

Dalam hal memperluas pengertian jihad, menurut Menag, Habib Idrus menekankan bahwa jihad bukan hanya dalam bentuk perang fisik, tetapi membuka lembaga pendidikan juga masuk dalam kategori jihad.

“Beliau mendirikan semua tingkatan pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, maka seharusnya kita sebagai penerusnya berjihad pula di jalur pendidikan. Ini merupakan bentuk kecintaan beliau kepada Indonesia yang patut kita teladani,” puji Lukman.

Selain itu, Habib Idrus dalam berjuang, menurut Menag, tidak pernah bergerak sendirian tetapi dengan manajeman yang sangat baik. Manajemen tersebut dibuktikan dengan karya beliau dengan menciptakan perguruan Alkhairaat.

Di akhir sambutannya Menag berharap Alkhairaat sebagai jejak peninggalan Guru Tua akan terus memberi manfaat kepada umat Islam khususnya dan bagi bangsa Indonesia pada umumnya.

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *