Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 20 March 2014

Kampung Kristiani di Kota Santri (3): Mereka Tak Ikhlas Damai Lepas


foto:hendijo

Dikenal sebagai kota santri, Cianjur menyisakan satu komunitas Kristen yang sudah ada sejak lebih dari seratus tahun lalu. Bagaimana sejarah  keberadaan mereka dan interaksi antara dua komunitas berbeda keyakinan di sana? Hendi Jo dari Islam Indonesia melaporkannya dalam  tiga bagian tulisan. Tulisan ini merupakan bagian yang terakhir.

 

SEORANG anak muda  keluar dari gereja sore  itu. Ia melangkah ke arah warung kelontongan yang terletak persis di samping gereja tersebut. Seorang perempuan tua berjilbab warna merah muda menyambutnya dengan ramah: ” Mau beli apa, Nak?” sapanya dalam nada ramah.

Sang anak muda tersenyum. Ia lantas menyebut barang-barang  yang akan dibeli. Transaksi pun berlangsung dengan diiringi selingan ngobrol ngalor ngidul. Beberapa menit kemudian, sang anak muda tersebut pamit.

Bagi Dedeh Karyati bertetangga dengan gereja tidaklah menjadi soal. Kendati ia merupakan seorang Muslim yang taat, keberadaan rumah ibadah kaum Kristiani di samping tempat tinggalnya tidak  berpengaruh apa-apa terhadap keyakinannya.          ” Soal agama itu, masing-masing sajalah. Apalagi selama ini orang-orang gereja tersebut rukun-rukun saja dengan lingkungan kami,”ungkap perempuan kelahiran Garut 58 tahun lalu tersebut.

Situasi rukun ini diakui oleh Pendeta I Putu Suwintana S.Th. Sebagai pribumi, warga Kristen di kawasan Desa Kertajaya menyambut baik para pendatang Muslim laiknya saudara mereka. ” Di sini kami baik-baik saja. Tak pernah ada sedikitpun konflik. Kalaupun ada cepat kami selesaikan secara bersama,”ujar pimpinan Gereja Kristen Pasundan di Kampung Palalangon itu.

Beberapa tahun yang lalu memang sempat ada bergulir isu kristenisasi di wilayah tersebut. Sebegitu kencangnya isu itu bertiup hingga kawasan Kampung Palalangon “diserbu” oleh ratusan orang berjubah. ” Tapi orang-orang itu bukan orang sini. Mereka datangnya dari kota Cianjur,”ujar Pendeta Putu.

Yudi Setiawan, sang koster gereja Palalangon masih ingat bagaimana provokatifnya orang-orang tersebut  saat datang ke kampungnya. Dengan menggunakan beberapa truk kecil, mereka berkeliling kampung Kristen itu sembari meneriakan takbir berkali-kali. ” Tapi kami tidak mau terpancing. Orang-orang sini diam saja dan tetap melakukan aktivitas seperti biasa saja,” ujar lelaki asal Sukabumi tersebut.

Ustadz Ismail (32) mengamini  tentang terjadinya peristiwa itu. Ia yang tidak  merasa  tahu menahu dengan kedatangan “orang-orang kota” tersebut langsung saja mengklarifikasi kepada para sesepuh kampung Palalangon bahwa orang-orang Muslim setempat tidak terlibat dalam arak-arakan provokatif itu. ” Terusterang saya sempat malu dengan kejadian itu. Kalaupun ingin berdakwah, seharusnya orang Islam melakukannya dengan penuh hikmah dan santun,”kata pengelola Pesantren Nurul Hidayah tersebut.

Isu kristenisasi sendiri ditampik secara keras oleh Pendeta Putu. Menurutnya, sejak pendirian kampung Palalangon hingga sekarang, tak ada sedikitpun niat pihak gereja setempat  untuk menjadikan tetangga-tetangga Muslimnya sebagai Kristen. ” Buat apa? Selain agama masalah hak seseorang, upaya itu kan seperti cari musuh secara sengaja saja. Apa untungnya kami mempertaruhkan kedamaian yang sudah ada ini,”ujarnya.

Alih-alih ada kristenisasi, malah banyak warga Palalangon yang pindah menjadi Islam dan itu sama sekali tidak dipermasalahkan oleh mereka. ” Saudara-saudara saya juga ada yang Muslim dan itu biasa saja bagi kami,” ujar Dajat Sudardjat.

Bisa jadi karena masih adanya hubungan keluarga ini, suasana di Desa Kertajaya dan kawasan lain di Gunung Halu aman-aman saja. Kalaupun ada isu sensitif terkait soal SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan) selalu langsung dibicarakan secara musayawarah. ” Kami tak jarang selalu melakukan ronda bersama kalau ada isu macam-macam bertiup ke kawasan kami,” kata Yudi.

Langit biru terlihat menaungi gereja di Kampung Palalangon saat kumandang adzan ashar bergema dari masjid Nurul Hidayah. Beberapa gadis Kristen terlihat berjalan santai mengiringi seorang gadis lain yang berjilbab. Laiknya anak-anak muda di mana pun mereka selalu terlihat ceria dan gembira. Apakah orang-orang Gunung Halu ikhlas melepaskan suasana damai ini?  Seperti apa yang dikatakan Pendeta Putu dan Ustadz Ismail: jawabannya tentu tidak.

 

Sumber: Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *