Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 05 March 2014

Kampung Karuhun di Kaki Salak


foto: maki sumawijaya

Tradisi Sunda tua yang sudah lama punah kembali dihidupkan Achmad Mikami Sumawijaya. Harapannya, generasi saat ini bisa kembali mengenal kearifan para karuhun (nenek moyang).

Hujan rintik-rintik menombaki Kampung Sindangbarang senja itu. Airnya luruh di lahan-lahan pesawahan yang hijau. Angin bertiup agak kencang, menyibakan daun-daun. Dari balik pepohonan, atap-atap bangunan yang ditutupi ijuk (serat alami yang diambil dari pohon aren) dan daun kirai (sebangsa palm atau biasa disebut pohon rumbia) mencuat. Sekilas, bentuk atap-atap itu menyerupai atap-atap honai (rumah khas Papua). Namun setelah didekati, ternyata bangunan-bangunan tersebut adalah sederetan rumah kuno khas Sunda Bogor.

Di lahan seluas 8600 meter persegi itulah, Maki (panggilan akrab Achmad Mikami Sumawijaya) menjalankan proyek idealnya. Dari 2007, ia berupaya membangun kembali beberapa jenis bangunan khas adat Sunda Bogor yang keberadaannya nyaris punah. Nama-nama bangunan itu adalah imah gede, girang serat, saung taluh, saung lisung, leuit, pasanggrahan, imah kokolot, bale pangriungan, tampian dan saung sajen.

Tidak cukup dengan membangun rumah adat, di kampung yang masuk dalam wilayah Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor tersebut,  Maki pun berupaya menghidupkan tradisi lokal setempat. Seren taun, parebut seeng, maleum opatwelasan,rebo kasan dan angklung gubrag, adalah nama-nama kegiatan adat yang coba dipanggilnya kembali dari masa lalu. “Tentu saja upaya revitalisasi budaya ini takan terjadi tanpa adanya bantuan dari para sesepuh Bogor dan para inohong (pejabat) Jawa Barat,”ujar lelaki kelahiran Jakarta, 11 Mei 1970 itu.

Perhatian Maki terhadap budaya Sunda Bogor muncul pertama kali ketika ia sedang melakukan kunjungan kerja ke Manado, Sulawesi Utara pada 2004. Dari pesawat televisi kamar hotel tempatnya menginap, saat itu secara tak sengaja ia  menyaksikan tayangan sekelompok bule New York  bermain gamelan Sunda. Menyaksikan kemahiran dan kesungguhan bule-bule itu, diam-diam Maki merasa malu sendiri. “Ketika bangsa lain begitu mencintai budaya Sunda, lalu di mana orang-orang Sunda?”ujar pengusaha yang bergerak di bidang teknologi informasi tersebut.

Sepulang dari Manado, Maki lantas bergerak cepat. Dengan memanfaatkan lahan miliknya di Kampung Sindangbarang, ia lantas mendirikan Giri Sundapura. Di padepokan itu, ia membuat pelatihan gratis bagi anak-anak muda Sindangbarang yang ingin belajar tari-tarian adat Sunda Bogor. Upaya pertamanya itu tidak sia-sia. Dalam waktu yang tidak lama, Giri Sundapura dikenal sebagai sanggar tari yang disegani di kawasan Bogor dan sekitarnya.

Namun tidak selalu kegiatan Giri Sundapura berjaya.Ada kalanya, kegiatan padepokan ini berjalan tersendat-sendat. Maklum saja, dukungan finansial untuk operasional Giri Sundapura betul-betul tergantung hanya kepada Maki semata. Pernah suatu hari, saat  bisnis Maki tengah tak bagus, Giri Sundapura diundang manggung oleh Padepokan Giri Jaya dari Sukabumi. Karena tak ada beaya transportasi, 40 kru Giri Sundapura nyaris tak berangkat.

“Untunglah saya masih punya telepon genggam yang ternyata bisa laku dijual dengan harga Rp.750.000,- dan akhirnya kami pun bisa berangkat ke Sukabumi,”kenang Maki.

Bersama Giri Sundapura pula, Maki dibantu oleh Anis Djatisunda (sesepuh Sunda Bogor) berhasil menyelenggarakan lagi upacara seren taun pada 2006. Padahal sebelumnya sudah 36 tahun upacara penghormatan untuk Dewi Sri Pohaci (dewi padi) ini raib dari bumi Bogor. Terakhir dilakukan di Sindangbarang pada 1970 oleh kepala desanya: Etong Sumawidjaya, yang tak lain adalah kakek Maki.

“Pada saat itu kami melakukannya belum di Kampung Sindangbarang tapi di lapangan depan SDN Pasireurih,”kata Maki (Bersambung)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *