Satu Islam Untuk Semua

Monday, 13 January 2014

Kala Dunia Terjajah Budaya Komentar


Tamanismailmarzuki.com/BBC

“Kita punya cita-cita yang sangat besar, tetapi kalau perilaku sehari-hari yang menggelisahkan itu tadi masih tetap sama, kita seperti mau membangun istana, tetapi perilaku di dalamnya tidak berubah”–Karlina Supelli

 

Seiring berkembangnya zaman yang kian maju, nyatanya dunia ini belum sepenuhnya terlepas dari budaya jajah-menjajah. Bukan hanya penjajahan berupa saling mengangkat senjata. Juga, penjajahan lain yang hadir dalam bentuknya yang lebih halus, tapi dapat menghancurkan.

Mulai dari budaya korupsi, konsumerisme, minimnya komitmen dan tanggungjawab, juga maraknya budaya komentar di media sosial atau elektronik.

Karlina Supelli, perempuan Indonesia yang gemar mendalami filsafat ini, dalam pidatonya di Taman Ismail Marzuki, beberapa waktu lalu menyoroti persoalan utama yang menjangkiti masyarakat kita saat ini, yakni budaya komentar.

Menurutnya, sebagian anggota masyarakat sudah merasa hebat dengan berkomentar pendek melalui media sosial, seperti dikutip BBC Indonesia (13/01/14).

“Ada problem yang sangat serius, tapi ditanggapi dengan cara yang sekadar komentar-komentar pendek, tidak ada kedalaman. Belum lagi tayangan di media elektronik tentang komentar sejumlah politisi yang terjerat kasus korupsi” katanya, memberikan contoh kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi melalui media sosial Facebook atau Twitter.

“Artinya masih (tersangka korupsi) bisa tersenyum, bisa berdandan cantik ketika ditangkap KPK. Banyak orang mengeluhkan itu. Kok tidak malu. Ada problem yang sangat serius, tapi ditanggapi dengan cara yang sekadar komentar-komentar pendek, tidak ada kedalaman.” kata Karlina.

Padahal, menurutnya, di sisi lain ada kenyataan lain yang lebih penting, tetapi tenggelam dalam hiruk-pikuk budaya komentar seperti itu.

Karlina mengakui bahwa kehadiran teknologi itu penting, tapi semua itu ada batasnya, “Saya bertanya pada diri sendiri: when enough is enough, kapan cukup adakah cukup, itu persoalannya.”

“Kalau dulu teknologi itu sekadar alat, sekarang teknologi itu menjadi tempat seluruh kegiatan hidup sehari-hari itu meletak, dan itu membentuk cara pikir, cara tindak kita,” katanya, memberikan contoh.

Karlina melihat bahwa, “kita punya cita-cita yang sangat besar, tetapi kalau perilaku sehari-hari yang menggelisahkan itu tadi masih tetap sama, kita seperti mau membangun istana, tetapi perilaku di dalamnya tidak berubah.”

Oleh karena itu, menurutnya, “kita harus mulai dari siasat sehari-hari, bahwa kebudayaan itu juga menyangkut hal yang kecil-kecil, kebiasaan kita sehari-hari. Kebiasaan kita mengantri, kebiasaan menyerobot lampu merah, kebiasan menonton televisi, kebiasaan menganggap serius dan tidak serius,” demikian Karlina memberikan contoh.

Ya, budaya komentar yang dianggap lumrah dan ringan ini, sesungguhnya bisa menjadi boomerang dan bom waktu bagi kelangsungan hidup manusia, baik secara disadari maupun tidak. Dari komentar pendek yang tampak sekilas dan tak bermakna sebetulanya bisa kapan saja meledak bila sampai pada puncaknya.

Suatu komentar dalam berbagai media sosial, jika tidak ditelisik dan dimaknai secara mendalam justru hanya akan menimbulkan berbagai perselisihan. Bahkan, saking banyaknya kabar yang kita temui di media sosial kadang kita dibuat bingung, mana hoax dan mana kabar yang benar.

Di sini, sangat penting bagi kita semua untuk waspada terhadap beragam informasi yang kita terima. Juga seperti apa yang diungkapkan Karlina, bahwa penting bagi kita untuk menelisik lebih dalam atas info yang kita dapatkan.

Apa yang diungkapkan Karlina ini sejatinya selaras dengan apa yang tertuang dalam kitab-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat: 6)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *