Satu Islam Untuk Semua

Monday, 18 August 2014

Jilbab-Jilbab Bali


Islam Indonesia

BALI (Islam Indonesia) – “Saat negara-negara Eropa yang mayoritasnya non-Muslim justru mulai mengakui hijab, Indonesia, khususnya Bali, malah memasalahkan?” Itu kata Felix Yanwar Siauw di akun twitternya, Jum’at (15/8). Pernyataan penceramah muda keturunan Tionghoa itu menyulut kontroversi di jagad maya. Di satu sisi, mereka yang tersulut, utamanya kalangan follower Felix di Twitter dan Facebook, menumpahkan kekecewaan dan kecaman, menuding ada diskriminasi di Bali. Tapi di sisi lain, mereka yang kontra melesakkan salvo kritik dan kecaman: Felix dituding mengipasi keadaan, berbicara tanpa fakta.

Sejak awal 2014, sebuah kasus ‘pelarangan berjilbab’ di sekolah menengah negeri di Bali jadi santapan ramai banyak kalangan. Media riuh memberitakannya. Di Jakarta, Majelis Ulama Indonesia sampai perlu mengeluarkan kecaman. Dengan nada yang sama, seorang pejabat Kementrian Pendidikan di Jakarta angkat suara. Tapi belakangan, kasus ini reda dengan sendirinya setelah pejabat dinas pendidikan di Bali melempar sanggahan.

Faktanya larangan memakai atribut agama, termasuk jilbab, sudah dicabut di sekolah-sekolah negeri di Bali. Kendati, hingga saat ini, masih sangat jarang siswi muslim yang berjilbab di sekolah negeri. Yang ingin berjilbab umumnya lebih memilih sekolah swasta ataupun, pilihan lainnya bila ingin tetap masuk sekolah negeri, meninggalkan Bali dan mencari sekolah yang pas. Yang memilih jalur terakhir biasanya lebih karena tak mau ambil resiko ‘dikucilkan’ karena berjilbab di sekolah.

 

Keteduhan Muni

Tapi seorang siswi kelas 11 SMK Negeri 4 Denpasar, Muni Yasmien (16), memilih jalan yang lain. Dia adalah satu-satunya siswi di angkatannya yang berjilbab. Menurut Muni, hijab bukan halangan untuk belajar di salah satu sekolah favorit di Bali, dengan jilbab pun muni bisa diterima dan dihargai oleh teman-temannya

Berawal dari kunjungan ke SMK Negeri 4 pada saat muni SMP, ia melihat ada siswi yang berjilbab disana, Muni pun tergerak untuk mendaftar menjadi salah satu siswi SMK Negeri tersebut. Di hari kedua masa orientasi siswa, katanya mengenang, seorang guru dengan bahasa yang sangat santun dan lemah lembut mananyakan apakah bisa jika muni melepaskan jilbabnya untuk keseragaman siswa? Muni menjelaskan bahwa ia memohon maaf untuk tidak melepas jilbabnya dan dengan jilbab pun ia bisa mempertahankan budaya bali, misalnya tetap berhijab saat mengenakan kebaya pada acara-acara keagamaan hindhu. Sekolah menghargai keputusan muni, segera sekolah mengundang orang tuanya dan merundingkan soal keputusan Muni untuk tetap berjilbab. Pertemuan itu, kata Muni dalam wawancara per telepon dengan Islam  Indonesia akhir pekan lalu, berujung dengan kesepakatan dia tetap boleh berjilbab. Tapi sekolah pasang aturan: modelnya harus seperti ‘pengibar bendera’, ujung-ujung kain jilbab dimasukkan ke dalam baju.

Muni bisa menerima dan menjalankan aturan itu. Sejak itu, dia bilang dia tak ada kendala berjilbab ke sekolah. Dia bilang rekan-rekan kelasnya banyak yang menaruh hormat. Beberapa di antaranya,  katanya, bahkan memberi semangat untuk mempertahankan pilihannya berjilbab. Guru guru dan kepala sekolah juga sangat baik tanpa membeda-bedakan siswa-siswinya “Yang terpenting percaya diri dan tidak mengajak-ngajak orang lain untuk menjadi seperti diri kita,” katanya berpesan ke muslimah remaja di Bali yang kerap merasa menjadi minoritas di lingkungannya.

“Just be yourself,” katanya.

Kisah Muni membawa keteduhan, sesuatu yang luput dari mereka yang cakar-cakaran di jagad maya hanya karena merasa lebih tahu tentang jilbab di Bali. (A/Islam Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *