Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 07 October 2015

Jejak Neraka di Kunduz


Sabtu pekan lalu, para perawat di rumah sakit yang dikelola Doctor Without Borders melayani pasien seperti biasa. Lajos Zoltan Jecs ikut bertugas hari itu. Tapi entah mimpi apa yang mewarnai tidur Jecs malam sebelumnya. Tiba-tiba bom menghantam rumah sakit pukul 2.15 waktu setempat. Satu, dua… Dia tak bisa lagi menghitungnya. Lidah api raksasa langsung menjelma, menari dan melahap apa-apa yang berada dalam jangkauannya. Jecs kaget setengah mati. Dengan mata kepala sendiri, dia melihat bagaimana enam pasien menggelepar terbakar di tempat tidur mereka.

“Tak ada kata-kata yang dapat menggambarkan betapa mengerikan peristiwa itu,” katanya.

Serangan di area rumah sakit, menurut kelompok yang juga dikenal dengan nama Medical San Frontiers (MSF) itu, terus berlangsung sampai setengah jam meski militer Amerika dan Afghanistan sudah diberitahu lewat telepon bahwa rumah sakitlah yang tengah menghadapi pengeboman.

“Semua pihak terlibat dalam konflik termasuk Kabul dan Washington sudah diberitahu dengan baik lokasi (koordinat GPS) fasilitas MSF, rumah sakit, wisma dan kantornya,” kata MSF dalam sebuah pernyataan.

Tercatat 12 staff rumah sakit dan tujuh pasien – termasuk tiga anak kecil – tewas dan 37 lainnya terluka dalam serangan.

Dunia pun gaduh. Sekjen PBB, Ban Ki-moon, bahkan angkat suara dan meminta sebuah penyelidikan yang “menyeluruh dan tidak berpihak”.

Seperti bisa diduga, militer Amerika kemudian mengonfirmasi serangan udara dan “menjelaskan” bahwa pihaknya tengah memburu orang-orang “yang mengancam pasukan Amerika”. Karena itu, “mungkin ada collateral damage di sebuah fasilitas kesehatan terdekat”, istilah yang berarti jatuhnya korban atau terjadinya kerusakan tak diinginkan dalam sebuah operasi militer.

Ini menambah panjang daftar kecaman terhadap Amerika karena dinilai gagal meminimalisir jumlah korban tak berdosa dalam pertempuran melawan kelompok teroris Taliban. Kelompok Islam garis keras ini dibentuk oleh Mullah Omar awal 90-an di Pakistan utara lepas tentara Uni Soviet mundur dari Afghanistan. Bibit Taliban lalu bertumbuh kembang di Afghanistan pada 1994 dengan suku Pashtun mendominasi keanggotaannya. Hanya berselang dua tahun, Taliban berhasil membentuk pemerintahan Islamic Emirate of Afghanistan dengan Kandahar sebagai ibukota. Tapi pemerintahan ini hanya seumur jagung. Pada Desember 2001, pemerintahan Taliban bubar kala Amerika menginvasi Afghanistan dalam upaya yang diklaim sebagai “perang melawan terror”.

Kelompok yang dinakhodai Mullah Akhtar Mansoor sejak dua tahun lalu itu menerapkan pemahaman Islam yang sangat cetek. Mereka mengharamkan anak perempuan pergi sekolah, melarang warga menonton televisi, mendengar musik atau pergi ke bioskop. Kaum pria diwajibkan memanjangkan janggut sedang yang wanita memakai pakaian hitam panjang plus penutup muka. Mereka juga berupaya menerapkan hukum Islam (hududd) sesuai interpretasi sendiri.

Taliban berhasil menaklukkan kota Kunduz pada 28 September lalu. Penaklukan Kunduz, yang merupakan salah satu benteng utama Taliban saat berkuasa, sangat berarti bagi Taliban. Media Barat menyebut kemenangan Taliban sebagai kemenangan terbesar sejak invasi AS dan menunjukkan keberadaan Taliban sebagai sebuah kekuatan yang patut diperhitungkan. Selain itu, kemenangan itu merupakan pukulan telak bagi pemerintah Afghansitan. Ini menunjukkan kelemahan pasukan Afghanistan yang dilatih oleh NATO sekaligus bakal mempersulit Amerika dalam mengambil langkah baru di negara itu.

Sampai kemarin, Kunduz masih berada dalam genggaman Taliban meski dilaporkan tentara Afghanistan telah “memperoleh kemajuan signifikan” dalam upaya merebut kembali kota itu. Bukan tidak mungkin, insiden rumah sakit Kunduz akan terulang lagi jika Amerika masih keukeuh dengan prinsip bahwa di setiap operasi militer akan ada sebuah collateral damage.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *