Satu Islam Untuk Semua

Monday, 17 March 2014

Jakatarub, Satu Wadah untuk Semua Iman


Wawan Gunawan, Ketua Jakatarub saat ini.

Kami percaya, perubahan cara berpikir seseorang itu bukan karena teori-teori pluralisme yang berat, tapi karena berinteraksi—Wawan Gunawan.

 

Jika kita mengenal Jakatarub sebagai sosok pendekar tanah Jawa, yang mengintip dan kemudian mencuri selendang salah satu bidadari yang sedang mandi di sungai, kini ada Jakatarub yang juga ingin sama-sama “mengintip” dan “mencuri”.

Bedanya, Jakatarub abad ini merupakan sebuah wadah, yang berarti dalam melakukan aksinya tidak sendirian.

Wadah ini berusaha mengakomodir semua agama, yakni Jaringan Kerja Antar Umat Beragama atau disingkat Jakatarub—yang memiliki visi misi untuk mewujudkan nilai-nilai pluralisme dan toleransi di Indonesia. Siapa pun boleh masuk menjadi bagian dari Jakatarub, bahkan bagi mereka yang agamanya tidak diakui pemerintah, seperti agama Sikh, Yahudi, Kristen Ortodoks Rusia, dsb.

Menurut Wawan Gunawan, ketua umum Jakatarub saat ini, nama Jakatarub bermula dari kegelisahan para pemuda Nusantara, seperti Nahdatul Ulama, khusunya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan sejumlah tokoh dari berbagai perwakilan agama-agama yang ada di Indonesia–pasca peristiwa reformasi 1998. Kala itu, agama menjadi jubah dari sekian banyak konflik. Padahal, agama sejatinya diciptakan untuk menebarkan kasih sayang.

“Teman-teman menganggap ini tidak betul. Sejak itu, kita bikin workshop. Fasilitatornya Madia (Masyarakat Dialog Agama), lembaga dialog di Jakarta yang saat itu diketuai Trisno Sutanto. Tokoh-tokoh lintas agama bertemu, dan terbentuklah Jakatarub,” Wawan menjelaskan pada Minggu, (16/03), saat dikunjungi redaksi Islam Indonesia di Komplek Permata Biru, blok X-214, Bandung.

“Yang memberi nama Jakatarub adalah Jackob Sumardjo. Dinamai Jakatarub mungkin dalam persfektifnya sebagai budayawan. Karena masing-masing kelompok agama butuh secara “nakal” untuk saling mengintip ajaran di agama lain,” tambah Wawan.

“Dan ternyata, setelah mengintip, konflik itu bukan karena agama tapi karena kepentingan-kepentingan lain. Satu sama lain, yang berbeda agama menaruh curiga. Nah dengan Jakatarub ini, silakan saling mencuri kearifan dari tiap-tiap agama.”

Untuk mengawali aksinya, para pemuda ini kemudian melakukan berbagai kegiatan, dari yang bermuatan berat, hingga yang ringan, seperti diskusi terkait advokasi, perundang-undangan, kampanye untuk memperingati hari toleransi internasional, workshop, bedah film, bedah buku, interfaith, menerbitkan catatan kecil semacam brosur, majalah bianglala, buku, dll.

“Di awal tahun 2000-an, Jakatarub membahas bagaimana merekontruksi paham keagamaan. Bahwa semua agama itu oke dan mengajarkan kasih sayang. Jakatarub berusaha mengubah cara pandang orang tentang bagaimana beragama sehat. Menjadi ruang kultural agar masing-masing orang bisa saling bertemu, saling belajar, membuat catatan-catatan kritis kita pada kondisi sosial yang terjadi saat ini,” katanya.

Agama sehat itu tidak mengobarkan kebencian. Agama harus menumbuhkan spiritualitas. Sehingga, lanjut Wawan, orang yang sering terjebak adalah mereka yang tidak memiliki tingkat penghargaan kepada orang lain. Sebab jika spiritualitasnya tinggi seharusnya tingkat penghargaanya juga semakin tinggi.

“Pluralisme itu ajaran untuk menyikapi pluralitas. Dan, pluralitas merupakan sebuah keniscayaan di Indonesia. Saya pakai baju, itu hasil pluralitas. Mungkin yang nanam kapas agamanya apa, yang jahit agamanya apa, dll. Kita sendiri ini produk pluralitas. Entah ada berapa ratus orang yang terlibat dan agamanya apa dalam pembuatan potong  baju yang kita pakai,” tambah peneliti di ARaSS [Academia for Religion and Social Studies] ini.

Selain itu, interfaith dilakukan untuk membuka stereotip. Karena, menurut Wawan, setiap orang punya stereotip tentang agama lain, “Seperti orang-orang Kristen misalkan memandang Islam itu teroris, poligami, galak. Orang Islam memandang kalau Kristen itu kesenjangan sosial, apatis, rentenir, punya anjing, dll. Di acara itu, teman-teman dipersilakan untuk saling “mengintip”, yang berbeda agama itu untuk saling belajar, saling tahu. Sehingga, stigma yang buruk tentang orang lain itu hilang perlahan.”

Dalam interfaith itu, lanjutnya, yang dibutuhkan bukan hanya sekadar materi, tapi juga diskusi ringan, tukar pengalaman, dan yang penting pembauran agar tercipta sikap saling menghormati dan menghargai orang lain.

Untuk kegiatan workshop, Jakatarub juga kerjasama dengan para jurnalis yang pro keberagaman, seperti Sejuk (Serikat Jurnalisme Keberagaman), dll.

Sementara itu, untuk lebih mengenalkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme, Jakatarub juga menulis buku semacam chiken soup yang berjudul Dialog Seratus, dan ditulis dari berbagai agama, seperti, Kristen, Hindu, Budha, Islam, juga Ahmadiyah–yang dipandang Jakatarub sebagai bagian dari Islam, bukan agama tersendiri, dll. dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan ada juga juga yang tinggal di luar negeri.

Diterbitkannya buku ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Bandung Lautan Damai, dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional.

“Buku ini berisi kisah-kisah pluralisme yang ada di daerah masing-masing, yang keseharian. Misalnya idul fitri, makanan khasnya ketupat, ketupat itu dari bacang. Bacang itu dari tradisi keberagamaan Kong Hu Cu. Masyarakat kita sudah punya mekanisme harmonisasi yang luar biasa,” kata Wawan.

“Di Betawi kalau lebaran makanan khasnya dodol cina, bukan dodol muslim.  Di Indonesia timur mayoritas Katolik, tapi kebiasaan mereka kalau bulan puasa makan tidak pakai garpu dan sendok karena takut suaranya kedengaran umat muslim. Padahal kita tahu bahwa di sana tidak ada umat muslim. Di Ambon ada tradisi pelgandong, antara satu desa dan satu desa lainnya gak boleh nikah. Satu desa umat Islam dan satu desa Kristen,” Wawan mencontohkan.

“Kami percaya perubahan pikiran itu bukan karena teori-teori pluralisme yang berat. Orang jadi pluralis gara-gara baca John Hick, dan lainnya. Orang jadi pluralis, jadi berubah cara berpikir setelah berinteraksi,”

“Nah kami ingin menghadirkan interaksi keseharian itu dalam bentuk buku, agar bisa dibaca semua orang. Kami membuktikan itu lewat buku.”

“Juga dengan orasi budaya. Sebab pluralisme itu hal-hal keseharian di Indonesia. Di desa Waru, Parung, Bogor ada komplek pemakaman Tionghoa. Kalau bulan-bulan tertentu mereka mau nadran/ziarah, yang membersihkan makam itu para santri.”

Untuk saat ini, selain diskusi terkait agama, Jakatarub juga fokus pada aksi-aksi riil, seperti penanaman pohon bersama, mengentaskan kemiskinan. “Isunya lebih meluas. Menagih kontribusi agama untuk persoalan-persoalan di masyarakat. Karena ada banyak ideologi luar yang mempengaruhi mekanisme pluralisme yang sebetulnya keseharian kita.”

Saat ditanya tentang apakah tidak takut mempengaruhi iman seseorang, Wawan mengatakan, “Oh enggak, nah itu juga yang selalu ditegaskan dalam Jakatarub. Bahwa yang namanya pluraslisme itu justru menegaskan adanya-adanya perbedaan. Karena namanya juga plural, majemuk, jamak, beragam. Bentuk majemuk itu berarti terdiri dari entitas yang berbeda. Kalau semuanya sama berarti singularisme,” tegasnya.

“Seperti di suatu wilayah, kita dipisahkan sungai. Di sebrang sungai itu ada rumah sakit. Apa pun agamanya, kalau mau sampai ke rumah sakit butuh jembatan, maka agenda kita membangun bagaimana kita bisa menyebrangi jembatan itu,” Wawan mengumpamakan.


Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *