Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 23 January 2014

Islam Menyikapi Perbedaan


Wahid Institute dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa intoleransi atau pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih tinggi. Sepanjang 2013 tercatat sebanyak 245 kasus dengan melibatkan 43 persen atau 106 dari aktor Negara. Sisanya, 59 persen atau 139 persen intoleransi dilakukan oleh aktor non Negara.

Wacana toleransi dan intoleransi telah menjadi wacana keislaman di Indonesia sejak lama. Masyarakatnya yang heterogen dengan banyak agama dan keyakinan mendorong perlunya kerukunan antar agama. Begitupun dalam tubuh Islam, toleransi tidak hanya dibutuhkan antar agama, tetapi juga antara golongan keislaman yang beragam.

Toleransi dalam Islam terlihat berbahaya sebab selama ini toleran terhubung dengan makna relativis. Seorang reltivis dapat membenarkan sesuatu hal bergantung pada situasi dan kondisi. Sifat inilah yang tidak dikehendaki sebab Islam memiliki kebenaran yang mutlak dengan ketunggalan kebenaran dari Islam yang sejati dan hanya Allah yang tahu. Umatnya dituntun melihat kebenaran Allah lewat petunjuk Alquran, Hadits, dan fatwa para ulama.

Dalam khazanah tradisi Islam klasik, sikap toleransi terangkum dalam sikap moderat para ulama. Imam Syafii dalam ucapannya yang terkenal, “ pendapatku benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat orang lain salah tetapi mungkin benar.” Dengan prinsip tersebut Imam Syafii tidak memberikan kebenaran tunggal pada pendapatnya dan menutup kebenaran selain dari dirinya. Di satu sisi Imam Syafii juga menghindari sikap relativisme dengan membenarkan semua pendapat tergantung dari perpsektif masing-masing.

Semangat toleransi itu erat erat dengan ajaran rasulullah, “Seorang hakim yang berusaha mencari kebenaran kemudian benar, makan mendapatkan pahala dua, sedangkan jika salah makan mendapatkan pahala satu.” Sabda beliau mengajarkan umatnya agar menghormati hasil ijtihad para ulama. Umat pun dalam menangkap fatwa tersebut diharuskan mengarti sebab musabab beserta alasan lahirnya fatwa tersebut agar terhindar dari taklid buta.

Malik bin Anas, pendiri mazhab malikiyah, juga termasuk ulama klasik yang mengusung semangat toleransi. Baginya, kebebasan berpendapat dan perbedaan harus dihargai dan tidak boleh diberangus dengan upaya penyeragaman melalui kebijakan penguasa. Kebijaksaan Imam Malik terlihat ketika khalifah Harun Al Rasyid berniat menggantung Al-Muwatta, karya besar Imam Malik, di atas Kabah agar semua orang mengikuti kita tersebut. Imam Malik pun menolak, beliau berkata “Wahai pemimpin kaum mukminin, janganlah Anda gantung kita itu di atas Kabah, sebab para sahabat Nabi telah berbeda pendapat.” Sikap dari Imam Malik jelas menghindari pembenaran mutlak dari karyanya sehingga menghilangkan rahmat perbedaan pendapat sebagai kekayaan umat Islam.

Toleransi adalah sikap yang didukung ilmu dan penghormatan. Sikap yang menekankan rasa hormat, penerimaan, dan apresiasi keragaman budaya. Toleransi menjadi indah sebagai harmoni dalam perbedaan yang ada, yang membuat cita-cita perdamaian tidaklah mustahil.

Toleransi dalam Islam jelas menolak kebenaran absolut seperti yang telah dilakukan Imam Maliki. Islam pun menghindari pembenaran semua seperti terlihat pada ucapan Imam Syafii. Rasa paling benar atau absolut menjadi sikap yang dihindari Islam sebab membawa pada sikap tidak toleran. Oleh sebab itu, para ulama membedakan antara pemikiran keislaman dengan “Islam”. Pemikiran kesilama sangatlah beragam dan relatif dengan argumentasi ulama dalam menafsirkan kekayaan Islam dengan tetap menjaga akidah. Dan kebenaran Islam hanya satu, tunggal dan hanya Allah yang tahu.

Toleransi dalam Islam dibangung atas dasar budaya kritis dan budaya menasihati. Perbedaan pendapat perlu rasa toleransi yang berpokok pada empati. Empati mengajarkan seorang muslim turut merasakan yang dirasakan saudaranya.

Maka ketika terjadi perbedaan pendapat, Al Ghazali mengingatkan agar tidak main hakim sendiri dengan menggunakan kekerasan meski dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Al Ghazali menuliskan, “Telah saya jelaskan tingkatan-tingkatan amar ma;ruf nahi munkar. Pertama,  memberi tahu; kedua, menasihati; ketiga,  menegur dengan kata-kata keras; dan keempat, mencegah secara paksa dengan sanksi hukuman. Tingkatan pertama dan kedua boleh dilakukan oleh warga sipil maupun pemerintah. Tingkatan ketiga dengan teguran keras—seperti kata-kata ‘wahai orang zalim dan wahai orang yang tak takut Tuhan’—boleh dilakukan warga sipil dan pemerintah apabila tidak menyebabkan fitnah kepada orang lain. Adapun tingkatan yang keempat hanya boleh dilakukan oleh pemerintah.”

Oleh karenanya, sesama umat muslim marilah lakukan nasihat Imam Ghazali bila melihat perbedaan pendapat yang dirasa menyimpang dari ajaran pokok Islam. Islam adalah agama damai, dengan toleransi dan empati, Islam memberikan kenyamanan serta keamanan untuk alam.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *