Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 19 February 2013

Islam dan Kehidupan Sekulerisme Prancis


Bagaimana kekeringan spiritual menjadikan orang-orang Prancis melirik Islam

Di tengah kesenjangan spiritual akibat  gaya hidup sekuler, saat ini banyak orang Prancis  berbalik kepada Islam sekaligus menentang  kebijakan pemerintah  yang  merugikan Islam dan mengecam sikap bermusuhan sebagian  masyarakat Prancis terhadap agama Islam.

“Fenomena perpindahan keyakinan sangat signifikan, terutama sejak tahun 2000,” kata Bernard Godard, salah seorang  yang dianggap bertanggung jawab atas isu-isu agama di Kementerian Dalam Negeri kepada  The New York Times pada Senin, 4 Februari.

Sebagai contoh, estimasi memperlihatkan bahwa sekitar 150 proses perpindahan keyakinan ke Islam  terjadi setiap tahunnya di Masjid Sahabat, Créteil. Kendati jumlah itu masih terbilang kecil,  ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Perancis, karena dalam perhitungan mereka, jumlah ini meningkat dua kali lipat dalam 25 tahun terakhir.

Menurut Godard, dari enam juta Muslim yang diperkirakan hidup di Perancis, sekitar 100.000 diantaranya adalah mualaf. Bandingkan dengan tahun 1986, yang jumlahnya baru sekitar 50.000 orang.

Menyoroti  peningkatan jumlah mualaf ini, para ahli menyebutnya sebagai perubahan yang sangat luar biasa dan mengejutkan. Di Marseille, di kawasan pantai selatan, “konversi telah meningkat dengan kecepatan yang luar biasa dalam tiga tahun terakhir,” kata Ghoul Abderrahmane, Imam Masjid Marseille dan Presiden cabang lokal dari French Council of the Muslim Faith (FCMF).

Hampir senada dengan Ghoul, Imam Muslim yang lain  menyatakan bahwa perpindahan keyakinan  terjadi karena sekularisme  yang secara resmi dianut Perancis telah melahirkan kekosongan spiritual.

“Sekularisme tumbuh menjadi yang antireligius,” kata Hassen Chalghoumi, seorang imam moderat dari Drancy,  suatu tempat yang terletak di pinggiran Paris,

“Situasi ini memunculkan sebuah fenomena yang berlawanan dan menjadikan banyak orang berpaling kepada Islam,”ujarnya.  Fenomena perpindahan keyakinan yang paling menghebohkan terjadi  pada para selebritis sepak bola seperti Nicolas Anelka, menjadi mualaf pada  2004, dan Franck Ribéry, masuk Islam  pada 2006.

Alasan Sosial

Karena dianggap memberikan alternatif yang lebih dan disiplin dibanding agama-agama lain, Islam mendapat sambutan yang luar biasa  di lingkungan miskin perkotaan  sekitar Paris.

“Di distrik yang termasuk kawasan miskin, telah terjadi  integrasi terbalik,” kata Gilles Kepel, seorang ahli tentang Islam. Lebih lanjut Kepel mengatakan saat ini semakin banyak anak muda  terdorong  untuk mengubah lebih baik lingkungan sosialnya dengan mengintegrasi dalam lingkungan yang mana Islam dominan di dalamnya.

Charlie-Loup, 21, seorang mahasiswa dari  St-Maur-des-Fossés,  mengaku berpindah ke Islam ketika ia berusia 19 tahun. Itu dilakukannya setelah remaja tersebut, terbelit soal keluarga  saat memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan sang ibu.

“Konversi telah menjadi fenomena sosial di sini,” kata Charlie-Loup, yang dibesarkan dalam  tradisi Katolik Roma, namun mengaku memiliki teman-teman Muslim di sekolahnya.

Di beberapa daerah yang penududuknya mayoritas Muslim, kalangan non-Muslim malah menjalankan puasa ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Mereka melakukan itu semata-mata karena menyukai  “Suasana  dari situasi tersebut…” kata Samir Amghar, seorang sosiolog dan ahli Islam radikal di Eropa.

Di lingkungan miskin, peneliti dan mualaf menemukan kenyataan bahwa Islam menjadi semacam perlindungan dan alternatif untuk penderitaan ambien.Ini adalah cara lain untuk “menolak modernisme,”  dan kembali ke masyarakat dengan nilai-nilai keluarga  yang lebih kental dan perbedaan jelas antara pria dan wanita,ujar  Amghar.

“Dunia terlihat lebih jelas setelah mereka berpindah keyakinan ke Islam,” tambahnya.

Adanya situasi tersebut,  memunculkan ketakutan di kalangan politisi. Namun demikian, mereka menjadikan fenomena ini sebagai amunisi untuk meraih suara dengan dengan mengkritik penyebaran tradisi yang dilakukan para Muslim ke ranah publik. Seperti soal makanan halal atau pemisahan perempuan dan laki-laki di di kolam renang  milik umum.

Alih-alih disambut hangat, cara-cara politis itu sontak  ditolak masyarakat Prancis lainnya. Mereka justru menginginkan integrasi damai antara budaya Perancis dan Islam.

“Kita harus menunjukkan bahwa budaya Perancis dan Islam dapat hidup bersama dalam damai.”kata Rafaello Sillitti, pemilik dari Averroes toko buku, yang menempati ruang kecil di Masjid Créteil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *