Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 29 August 2015

ISIS Membutakan Jurnalis dengan Kebrutalannya, Tapi Seluruh Cerita Harus Tetap Disampaikan


oleh: Robert Fisk

Melihat foto saru tanpa kepala arkeolog Khaled al-Asaad yang diikat pada lampu pos di Palmyra—satu gambar dari koleksi porno ISIS yang diproduksi tiap minggu—saya terpukul dengan kenyataan “khilafah Islam” cukup menikam dunia jurnalistik. Saya tidak hanya bicara soal reporter yang mereka bunuh atau John Cantlie yang malang; yang video-videonya, berjudul Seribu Satu Malam dengan gaya cerita Scherezade diambil dalam “kawasan khilafah”, memberinya waktu hidup lebih lama. Nyatanya, kemarahan Cantlie pada penolakan pemerintah Inggris dan Amerika untuk bicara pada ISIS demi keselamatan tawanan adalah benar. Sedikit pun Amerika tidak melakukannya padahal mereka  bisa membebaskan tawanan Taliban.

Tidak, saya bicara tentang betapa ISIS dan industri perfileman khilafahnya—juga majalahnya; Dabiq—yang tak terdeteksi dan berbahaya itu telah menghapus salah satu tugas terpenting jurnalisme; menceritakan sisi lain sebuah kejadian. Sejak Perang Dunia Kedua, kami para jurnalis secara umum telah mencoba menjelaskan “kenapa”, juga “siapa”, di balik kejadian itu. Jika kita gagal setelah 9/11—ketika alasan politik di balik tindak kriminal melawan kemanusiaan mengharuskan kita mengesahkan kebijakan Amerika terhadap Timur Tengah dan dukungan lebih terhadap Israel dan diktator Arab—kita cenderung kembali ke peristiwa itu ketika membahas “teror”.

Setiap kita mendengar orang Palestina disebut teroris, kita coba menjelaskan pada pembaca bahwa Palestina adalah korban “pembersihan etnis”, yang 750.000 jiwanya telah dibantai—termasuk anak cucunya—oleh sebuah negara baru bernama Israel. Dalam pemberitaan militan Kurdi PKK beraliran Marxis, yang mereka semua dicap teroris oleh pemerintahan Turki, kita wajib melaporkan kegagalan Amerika menciptakan negara Kurdi pasca perang dunia pertama serta kematian 40.000 jiwa dalam perang sia-sia Turki dengan orang-orang Kurdi. Juga dalam memberitakan Saddam, yang disebut Hitler oleh George W. Bush, kita juga mempertanyakan kenapa Amerika mendukung Saddam yang sama dalam perang Iran-Irak.

ISIS telah merubah semua ini. The Express telah mengeluarkan semua kamus kemuakannya pada ISIS. “Haus darah”, “Sakit”, “Sinting”, “Bejat”, “Sadis”, “Keji”—kita tinggal berharap tidak ada kata yang lebih buruk muncul di kertas-kertas. ISIS—dalam video dan internet—secara bangga mempublikasikan penyembelihan dan pembantaian. Mereka bergembira dengan penembakan massal para tahanan, merekam seorang pilot yang mereka bakar hidup-hidup dalam kandang, dan tahanan yang diikat dalam mobil lalu dijadikan target latihan menembak roket. Disitu terlihat tahanan yang kepalanya meledak atau terjebak di kandang yang tenggelam perlahan. ISIS lalu beralih para dunia jurnalistik dan berkata, “Kami tidak haus darah, sakit, dan bejat, kami lebih daripada itu!”

Bagaimana mungkin jurnalis tidak menulis cerita horor ketika Dabiq menuliskan, “Setelah penangkapan, perempuan dan anak-anak Yazidi dibagi berdasarkan hukum syariah di antara para pejuang ISIS… perbudakan skala besar dalam keluarga ini adalah yang pertama sejak hukum syariah ditinggalkan”. Majalah yang sama bahkan menggunakan kata “pembantaian” ketika ISIS membunuh musuhnya. Kutipan berlebihan dari paderi Muslim yang telah lama mati dijadikan pembenaran atas kekejaman mereka. Dan ya, para pendahulu kita juga mengatakan hal yang sama soal musuh kita ratusan tahun lalu.

Lalu sekarang bagaimana kita menyampaikan sisi lain cerita ini? Tentu saja, kita bisa melacak sumber kekejaman ini dari tahun-tahun kekejaman yang ditemui para penguasa Timur Tengah lalu—biasanya dengan dukungan penuh pemerintahan Barat. Atau ratusan ribu korban Muslim yang kematiannya menjadi tanggung jawab kita selama dan setelah invasi Irak tahun 2003 yang menakutkan.
Dan kita harus menyediakan lebih banyak waktu melacak garis merah antara ISIS dengan sekondan lainnya (Nusrah, Jaish al-Islam, bahkan Free Syria Army), juga dengan Saudi, Qatar, dan Turki, dan pada tingkatan di mana senjata Amerika bisa disebar luas di perbatasan Suriah hampir secara langsung sampai di tangan ISIS. Kenapa ISIS tidak pernah menyerang Israel– dan kenapa pasukan udara Israel selalu menarget pemerintah Suriah dan pasukan Iran pendukung Suriah tapi tidak sampai pada ISIS? Juga kenapa serangan udara Turki terhadap ISIS—yang dengan senang hati disokong NATO—kalah banyak dari serangan udaranya terhadap PKK Kurdi, yang sebagiannya memerangi ISIS di Suriah? Dan bagaimana bisa media Turki memberitakan jatuhnya konfoi senjata di perbatasan Suriah ke tangan ISIS oleh agen intelejen Turki? Apakah insinyur Turki yang mengoperasikan sumur minyak ISIS, sebagaimana dikatakan insinyur minyak Suriah? Dan kenapa bocah propaganda ISIS menunggu sampai bulan ini untuk mengumumkan—lewat pejabat rendahan khilafah—menyebut Presiden Turki Erdogan “Setan” dan menyeru rakyat Turki bangkit melawan pemerintahnya?

Kecurigaan dan perhatian utama kita bukanlah pada kekerasan dan kekejaman ISIS dalam video dan Dabiq, tapi apa yang ISIS tidak bicarakan, tidak mereka kutuk, dan tidak maubmereka sebutkan. Ini juga berarti mengkritisi Turki, Arab Saudi, Qatar, Amerika, dan Israel. Apa kita akan melakukannya? Atau kita akan membiarkan ISIS menghentikan kita dalam melaksanan tugas utama dalam bisnis ini; menyampaikan sisi lain dari cerita?

Andi/The Independent

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *